NAFA Singapura dan ISI Yogyakarta Gelar Kolaborasi Internasional Tata Kelola Seni
Impessa.id, Yogyakarta: Kolaborasi internasional bertajuk "The Overseas Immersion Program #2" antara dua Jurusan Tata Kelola Seni dari Nanyang Academy of Fine Arts -NAFA Singapura dan ISI Yogyakarta, berlangsung di Departemen Tata Kelola Seni, Gedung Fakultas Seni Rupa -FSR ISI Institut Seni Indonesia -ISI Yogyakarta, pada 16 dan 19 Juli 2024.
Kegiatan "Overseas Immersion Program" yang dibuka oleh Ketua Jurusan Dr. Mikke Susanto M.A. dan sambutan dari dosen NAFA, menawarkan kesempatan unik bagi para mahasiswa untuk memperluas cakrawala artistik dan memperdalam pemahaman mereka tentang keragaman budaya. Program itu memfasilitasi pertukaran ide dan teknik yang dinamis antara kedua institusi bergengsi tersebut, sekaligus memupuk kolaborasi dan kreativitas di antara para mahasiswa dan pengajar.
Dr Mikke Susanto MA ketika ditemui Impessa.id menjelaskan, program kolaborasi internasional antara Jurusan Tata Kelola Seni -TKS dan Departemen Manajemen Seni di NAFA Singapura, yang sudah terjadi dua kali, tahun 2023 dan 2024. Tahun 2024 digelar dua agenda, yakni sharing session, melibatkan pembicara dosen dan mahasiswa, dan workshop woodcard, bersama seniman Syahrizal Pahlevi dari Yogyakarta untuk mahasiswa dari NAFA.
Interntsional Lecturer Panel atau Panel Kuliah Internasional berlangsung pada Selasa, 16 Juli 2024 pukul 12.30-15.00 WIB, bertempat di Gedung TKS, Fakultas Seni Rupa dan Desain, ISI Yogyakarta, menampilkan beberapa speakers, antara lain, Dian Ajeng dan Rr. Vegasari Adya (dosen ISI Yogyakarta), Shafa Salsabila dan Luna Chantiaya (mahasiswa ISI Yogyakarta). Kemudian, mahasiswa NAFA Singapura yakni, Desiree Low, Stephanie Lem Zin Jie, Althaea Grace Wangko, Paige Nicole Low (Liu Peisi), Finna Kwang, dan Abby Qistina Binte Yusra. Adapun selaku moderator adalah A. Sudjud Dartanto, Dosen Jurusan Tata Kelola Seni FSR ISI Yogyakarta.
Dr Mikke mengatakan, didalam panel tersebut mereka mengeksplorasi kegiatan riset maupun project-project kuliah mereka untuk di share ke forum, antara lain membahas pengelolaan seni di media sosial, media edukasi museum Affandi, proyek kuratorial para mahasiswa NAFA, seni untuk inklusi, dan mural di Yogyakarta. Setiap panelis menyajikan presentasi yang beragam dan menarik, secara audiovisual, sehingga durasi tiga jam tak terasa, berlalu begitu cepat.
“Ini menjadi salah satu bentuk yang paling utama dari kerjasama kami, sehingga dimasa-masa mendatang, mahasiswa bisa langsung melihat bagaimana perkembangan pemikiran mereka di Singapura, maupun yang ada di Jogja bagi teman-teman mahasiswa di Singapura. Ini penting untuk masa depan karena event-event yang akan dikerjakan di dua negara ini kan juga akan terus-menerus bersambung, dan terkait dengan banyaknya kegitan yang nanti akan berkutat pada persoalan mahasiswa dan generasi muda, itu yang paling utama,” ungkap Dr Mikke.
“Dari pengalaman tahun sebelumnya, mereka, mahasiswa Singapura dapat merasakan kebudayaan yang ada di Indonesia, mereka, bahkan beberapa diantara mereka baru pertama kali di Indonesia, sehingga mereka bisa menjadi Duta Indonesia di Singapura,” imbuh Dr Mikke Susanto MA.
Panel Kuliah Internasional juga dihadiri oleh Prof. Gunalan Nadarajan, Professor pada Penny W. Stamps School of Art and Design University of Michigan, USA, juga Popi Primadevi, Dosen ISI Surakarta, serta perwakilan dari Unit Internasional ISI Yogyakarta.
Dalam kesempatan itu, A Sujud Dartanto, Staf Pengajar Jurusan Tata Kelola Seni FSR ISI Yogyakarta, yang telah mengikuti berbagai program di banyak negara, kepada Impessa.id menambahkan bahwa “Kerjasama antara Manajemen ISI Yogyakarta dan Manajemen NAFA Singapura, untuk meyakinkan antar institusi ini pentingnya membuat kolaborasi pertukaran dan juga kerjasama di bidang Manajemen Seni, dimana kita memandang seni dan budaya adalah suatu asset dilihat dari perspesktif modal, karena kita tahu, kita harus belajar banyak dari Singapura terutama dalam oengelolaan seni dan budaya, dimana Singapura sangat advanced dalam hal tata kelolanya itu unggul, dalam bidang tata kelola seni budaya,” akunya.
Menurut Sujud Dartanto, “Meski sumber daya budaya Singapura terbatas, seni budaya juga terbatas, tetapi mereka sangat unggul dalam tata kelola seni budaya. Kita menyadari kekurangan itu dan karenanya kita belajar banyak dalam pertukaran dan dialog, juga perspektif bersama ini, dimana kita ingin belajar mengenai tata kelola, sebaliknya Singapura juga mengagumi dan melihat betapa kaya-nya sumber daya manusia kreatif kita termasuk sumber daya budaya kita yang tentu bagi mereka menjadi inspirasi yang snngat memotivasi mereka semakin menjangkarkan diri pada pengalaman bersama, atau yang disebut a common experience,” jelasnya.
“Karena persamaan perspektif itulah mereka datang ke Jogja diharapkan kita belajar dari mereka, dan kemudian perkembangan tata kelola seni di wilayah Asia Tenggara semakin memperkuat posisi kita dalam percaturan global,” ujar Sujud Dartanto..
“Kita mungkin kalah dalam ekonomi secara makro, tetapi kita unggul dalam seni dan budaya, dan tata kelola seni sebagai suatu investasi kebudayaan yang luar biasa dan terutama keberadaan dalam hal ini adalah peran dan fungsi ISI Yogyakarta dalam hal ini Jurusan TKS di tengah Yogyakarta sebagai salah satu pusat seni budaya terutama seni rupa di Indonesia,” sambunganya.
Apa ketajaman kerjasama ini? “Kerjasama ini akan mencari kesamaan fokus riset yang terbentang antara praktik penelitian, perancangan, penciptaan tata kelola seni yang terbentang dari konteks tradisi, konteks modern dan konteks kontemporer, kemudian wilayah fokusnya pada kuratorial, seni riupa dan pertunjukan, dimana kontennya bisa berupa praktik kuratoial, praktik produksi seni pertunjukan, praktik produksi pameran seni rupa, dan penelitian yang terbentangn dari seni popular, seni tradisi, seni modern, sampai dengan kontemporer,” jawabnya.
Ketika Impessa.id menanyakan kaitan dengan lemahnya penguasaan bahasa internasional di kalangan mahasiswa TKS ISI Yogyakarta, Sujud Dartanto meresponnya sebagai berikut; “Kalau dalam perspektif bahasa, kita tetap mengakui kekurangan kita dalam menjadikan diri kita sebagai story teller, menyitir pernyataan mantan Menteri Perdagangan RI Gita Wirawan, bahwa unggulnya Singapura, karena setiap orangnya menjadi story teller atas bangsa dan negaranya. Indonesia kurang mengembangkan potensi menjadi story teller atas asset seni dan budaya bangsa, mulai dari tangible sampai intangible, seni juga, kita kurang menjadi duta atas karya-karya kita sendiri yang tersebar luas luar biasa tetapi kita kurang kesadaran untuk menjadi seorang story teller. Untuk menjadi seorang good story teller seseorang harus mempunyai ketrampilan menguasai bahasa internasional, bukan bahasa asing, Bahasa Inggris kita maknai sebagai bahasa internasional yang semua negara memakai itu. Itu realistis. Mudah-mudahan semakin kita banyak berinteraksi, berlatih menjadi duta maka setiap individu di Indonesia bisa menjadi good story teller,” imbuh Sujud Dartanto lebih lanjut.
Prof. Gunalan Nadarajan, Professor pada Penny W. Stamps School of Art and Design University of Michigan, USA, dalam kesempatan ditemui Impessa.id usai menghadiri acara, dirinya menuturkan, karena dirinya berasal dari Singapura, dia tahu banyak tentang NAFA, dan meski tidak sepenuhnya mengikuti jalannya Panel Presentasi dan Diskusi, dia menilai kolaborasi antara ISI Yogyakarta dengan NAFA Singapura tersebut sangat ;positif, “Ditengah-tengah perhelatan ARTJOG, maka kerjasama dibidang tata kelola seni ini sangat penting untuk menjadi seorang art profesional baik itu sebagai art manager, kurator, penting untuk mengetahui bidangnya, dan forum ini merupakan kesempatan bagus bagi kedua pihak untuk saling mengenal, dan saling mendalami budaya masing-masing, bahkan dunia seni,” ujar Prof Gunalan Nadarajan. (Feature of Impessa.id by Antok Wesman)