SULTAN HB X Dalam Pidato Kebudayaan Di UGM Mengenalkan Konsep Kebudayaan Indonesia Baru
Impessa.id, Yogyakarta: Gerakan kolektif seniman dan budayawan di Jogja berhasil menggelar simposium berjudul “Arkipelagis: Refleksi Kebudayaan” pada Selasa (28 januari 2025) bertempat di Pendopo Gelanggang Inovasi dan Kreativitas -GIK UGM, Yogyakarta. Simposium yang diikuti banyak peserta yang memenuhi Pendopo GIK UGM, diawali dengan Pidato Utama oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Pidato Kebudayaan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X. Beliau dikenal publik luas sebagai simbol kebudayaan dan representasi kebudayaan Nusantara. Sebagai pemimpin budaya dan representasi nilai-nilai kearifan lokal, pidato beliau akan memberikan pandangan luas terhadap kerja pemajuan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan Indonesia untuk masa depan.
Dalam pada itu, Sultan HB X menyampaikan urgensi membangun budaya yang visioner melalui konsep Kebudayaan Indonesia Baru, yang menurut Sultan berkelindan dengan konsep Arkipelagis.
“Sebuah gagasan yang merangkai akar tradisi dengan enerji pembaharuan untuk masa depan bangsa. Sebuah visi yang memadukan kearifan lokal dengan dinamika jaman demi kemaslahatan rakyat Indonesia. Dalam hal ini hendaknya Bhineka Tunggal Ika bukan hanya digunakan sebagai slogan tetapi sebagai strategi kebudayaan yang dituangkan kedalam kebijakan publik,” tutur Sultan HB X.
Dikatakan, “Sejarah telah memberikan pelajaran bahwa hidup dalam multikulturalis yang penuh toleransi dan saling menghargai dapat menjadi sumber kemajuan. Alangkah besarnya manfaat jika pluralitas budaya menjadi serat-serat yang saling memperkuat sehingga suatu resip pluralitas budaya yang sangat kaya, akan tercipta,” ujar Sultan.
Menurut Sultan, Kebudayaan Indonesia Baru adalah peng-andaian Indonesia yang maju dan beradab. Indonesia haruslah mampu memakmurkan, memajujkan dan memberi rasa keadilan bagi seluruh rakyatnya, dari generasi ke generasi. Tentu saja semua itu harus dikembangkan dari nilai-nilai yang mengalir di pembuluh darah masyarakatnya sendiri. Melupakan nilai-nilai budaya etnik dan masyarakat adat, hanya akan menciptakan Indonesia tumbuh tanpa jiwa dan identitas, yang pada akhirnya kita tidak akan memperoleh hasil pembangunan kebudayaan yang konstruktif, visioner, antisipatif, progress, kritis dan berkelanjutan.
Dalam kesempatan itu, Sultan HB X memberikan apresiasi tinggi kepada Hilmar Farid, mantan Direktur Jenderal Kebudayaan RI periode 2015–2024, atas dedikasinya terhadap upaya-upaya sehingga Sumbu Filosofi Yogyakarta resmi diakui UNESCO, pada Sidang Umum Anggota UNESCO di Arab Saudi, 18 September 2023. Sultan berharap Hilmar Farid tetap terus men-support keberadaan Sumbu Filosofi tersebut dalam perspektif global.
Simposium refleksi kebudayaan bertajuk “ARKIPELAGIS: Refleksi Kebudayaan” sebagai kesempatan untuk merefleksikan perjalanan kerja kebudayaan selama kepemimpinan Hilmar Farid, sekaligus mengevaluasi langkah-langkah menuju kemandirian bangsa dalam membangun identitas kebudayaan nasional. Kegiatan ini bertujuan untuk mendiskusikan identitas kebudayaan yang mandiri, berkarakter kebangsaan, serta berlandaskan kepulauan dan kelautan, sembari memetakan arah strategis kerja kebudayaan Indonesia ke depan.
Kata “arkipelagis” dipilih sebagai tema utama simposium ini, merujuk pada istilah yang dipopulerkan oleh Hilmar Farid untuk menggambarkan kondisi geografis dan kebudayaan Indonesia yang berkarakter kepulauan dan kelautan. Arkipelagis diusung sebagai konsep baru untuk me-reimajinasi identitas kebudayaan nasional yang mengakui pentingnya kesadaran akan sifat kepulauan dan kelautan Indonesia.
Laut yang dulu dianggap sebagai pemisah, kini dipandang sebagai penghubung dan pemersatu. Kepulauan yang tersebar luas direngkuh dalam semangat keberagaman. Praktik kerja produksi kebudayaan ditumpukan pada pengetahuan Kebudayaan Nusantara, melibatkan masyarakat sebagai pemilik sekaligus penggerak pemajuan kebudayaan. Konsep arkipelagis, dengan kontur kepulauan dan kelautannya, mencerminkan keberagaman pengetahuan kebudayaan Indonesia yang terjalin erat dari daratan hingga lautan. Ke depan, karakter kebudayaan arkipelagis harus menjadi dasar utama dalam membangun kebudayaan Indonesia yang mengedepankan “keterhubungan” dan “kesatuan”.
Simposium sehari tersebut juga disi dengan pidato pembuka oleh Hilmar Farid, dan pidato penutup oleh Nirwan Dewanto, menyertakan sejumlah pembicara antara lain, Charles Toto, Titah AW, Premana W. Premadi, Farah Wardani, dan Nia Dinata, serta sekitar 70 panelis terdiiri dari seniman dan budayawan dari seluruh Indonesia, diantaranya Butet Kartarejasa, Garin Nugroho, Ade Darmawan, Alissa Wahid dan Arie Sujito. (Bayu Kristiawan/Antok Wesman-Impessa.id)