Sosok Penerjemah Karya Sastra Layak Diapresiasi

Bincang-Bincang Sastra tentang Seni Menyulih Bahasa, bersama Saut Pasaribu dan Nurul Hanafi, Sabtu malam, 25 Agustus 2018, di Balai Bahasa DIY jalan I Dewa Nyoman Oka nomor 34 Kotabaru, Yogyakarta.
Impessa.id, Jogja : Studio Pertunjukan Sastra menggelar acara rutin bulanan, Bincang-Bincang Sastra edisi 155, bertajuk “Ruang-Ruang Sunyi: Tentang Seni Menyulih Bahasa”, menghadirkan Saut Pasaribu dan Nurul Hanafi pada Sabtu, 25 Agustus 2018, pukul 20.00 WIB di Ruang Sutan Takdir Alisjahbana Balai Bahasa DIY jalan I Dewa Nyoman Oka nomor 34 Kotabaru, Yogyakarta.
Murnita Dian Kartini, koordinator acara menuturkan, “Bincang-Bincang Sastra kali ini mencoba mengemukakan serba-serbi dunia penerjemahan buku-buku sastra dan filsafat di Yogyakarta, dipandu oleh Wijaya Kusuma Eka Putra dari Penerbit OAK. Umar Farq dan Amanda Putri Amalia membacakan cerita pendek “The Poet” karya Herman Hesse dalam dua bahasa, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia,” tutur Murnita.
Ketika seseorang membaca buku hasil terjemahan, bisa jadi sang pembaca hanya tertarik dengan nama besar sang penulis, namun tidak mengindahkan siapa yang telah menerjemahkannya. Sejauh ini perhatian terhadap kerja para penerjemah pun bisa dibilang tidak ada. Kategori penghargaan kepada para penerjemah dari lembaga-lembaga, misalnya Balai/Kantor Bahasa atau Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa juga tidak pernah dijumpai. Nama-nama para penerjemah seperti berhenti di sampul buku atau halaman identitas buku semata. Landung Simatupang, penyair dan aktor kawakan yang juga seorang penerjamah senior di Yogyakarta, merasakan kegelisahan mengenai hal tersebut.
“Dalam sebuah kesempatan, An.Ismanto menceritakan suka dukanya penjadi penerjemah buku-buku sastra. Menurutnya, untuk menghasilkan karya sastra terjemahan yang baik, dibutuhkan penerjemah yang sama baiknya dengan pengarang aslinya. Idealnya, tata bahasa dan idiom bahasa sasarannya lebih diutamakan ketimbang konversi bahasa sumber. Penerjemahan puisi sesungguhnya sangat sulit, dibanding menerjemahkan prosa. Puisi lebih ketat dan bahkan mustahil karena sulit mentransfer musikalitas bunyi bahasa. Satu hal lagi, penerjemah teknik akan pusing jikalau harus menggarap penerjemahan sastra, begitu pula sebaliknya,” ujar Murnita Dian Kartini.
Murnita menambahkan, “Siapa yang menyangka kalau Saut Pasaribu ternyata sudah menerjemahkan lebih dari 80 buku, dan lebih-kurang 70 buku hasil terjemahannya sudah terbit. Melihat hasil itu, tentulah dia layak dikatakan sebagai penerjemah sungguhan. Namun, apakah ‘balas jasa’ kepada para penerjemah seperti Saut Pasaribu, Nurul Hanafi, An.Ismanto, hingga Landung Simatupang sudah memadai? Diakui Saut Pasaribu, penerjemahan merupakan seruas jalan berliku dan terjal. Hal senada juga diakui oleh Nurul Hanafi. Kegemarannya terhadap sastra Inggris era Elizabethan hingga Restorasi, drama klasik Yunani-Romawi, dan penulis-penulis modern membawanya benar-benar berada di ruang sunyi.”
“Kita tahu bahwa kerja penerjemahan penting untuk memperkenalkan karya dari mancanegara ke Indonesia, juga sebaliknya. Masyarakat sastra Indonesia tentu sangat berterima kasih kepada Chairil Anwar yang telah menerjemahkan puisi “Huesca” karya John Conford. Mahbub Djunaidi yang telah menerjemahkan novel “Animal Farm” karya George Orwell. Bakdi Soemanto yang telah menerjemahkan naskah drama “Waiting for Godot” karya Samuel Becket yang kemudian diterjemahkan ulang oleh Rendra. Pertanyaannya, apakah kita hanya cukup berterima kasih saja? Hal itulah yang melandasi Studio Pertunjukan Sastra menghadirkan para penerjemah dalam edisi Bincang-Bincang Sastra kali ini," ungkap Murnita.
Menurutnya, semoga ada perhatian lebih dari lembaga-lembaga terkait dan penerbit-penerbit terhadap para penerjemah, setidaknya para pembaca lebih dapat menghargai karya-karya terjemahan. "Satu hal yang juga penting ialah, selain semakin banyaknya karya sastra dan pemikiran dari mancanegara yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, penting kiranya melakukan penerjemahan-penerjemahan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa asing sehingga Sastra Indonesia dapat dinikmati oleh masyarakat di berbagai penjuru dunia,” pungkas Murnita. (Latief/Tok)