Feature

Diskusi Jawa-Seni-Kesemestaan, Bersama Seniman HANGNO HARTONO

Diskusi Jawa-Seni-Kesemestaan, Bersama Seniman HANGNO HARTONO

Diskusi Jawa-Seni-Kesemestaan, Bersama Seniman HANGNO HARTONO

Impessa.id, Yogyakarta: Diskusi Santai Bersama Seniman Hangno Hartono, bertajuk “Jawa, Seni, dan Kesemestaan”, berlangsung pada Jum’at Sore sampai selesai,, 15 Maret 2024, ďi Studio Rumah Budaya Babaran Segara Gunung, Jl Pleret Raya Desa Dhuku, Jambidan, Banguntapan Bantul, 55195.

Hangno Hartono mengusung makalah dari pengantar dari buku berjudul “Ningrat” sebuah naratif 100 sketsa tematik budaya Jawa, dengan 11 tema, seperti Etika, Kesemestaan, Mitologi, Paralel Universe, Lingga Joni, Ekologi, Meditasi – Meditatif, Filsafat Jawa, Kepemimpinan dan Spiritualisme Jawa, sebuah eksplorasi yang sangat luas.

Untuk mengerucutkan pembahasan dibahas tentang relasi Jawa, Seni dan Kesemestaan sebagaimana tema diskusi. Disebutkan bahwa Jawa dalam kontek ini adalah cara pandang orang Jawa terhadap dunia –kosmologinya, dari eksplorasi sketsa diketemukan relasi yang kuat antara,religi,kosmologi,sosilogi hingga mitologi dengan Ekologi.

Pola pemujaan Lingga dan Joni adalah manifestasi penghayatan terhadap kekuatan energi maskulinitas dan feminitas yang diformasikan kedalam struktur Lingga dan Joni bersatunya Phalus dan Vagina sebagai sebuah proyeksi akan kesuburan, kesuburan dipandang sangat penting bagi masyarakat agraris karena dengan kesuburan kehidupan akan terus berlangsung, maka tidak mengherankan di Jawa sangat masif tebaran artefak lingga Joni penghayatan ekologi ini menghadirkan religi-pemujaan Siwa-Durga sebagai Istadewata-nya.

Kosmologi Bapa Angkoso Ibu Bumi, Ibu Bumi meletakan bumi sebagai pemujaan, karena penghayatan akan kehidupan,bumi memberikan segalanya untuk kehidupan. Sebagai masyarakat agraris sangat terasa intimitasnya dengan bumi,sampai terformulasikan menjadi sistem nilai sosial bermasyarakat dengan nama Mataram, yang secara harafiah bermakna pemujaan terhadap Ibu, Mataram dari akar kata sansekerta mtr, mother bahasa Inggrisnya.

Turunan pemujaan terhadap ibu masih terlihat dalam system pemerintahan dengan penyebutan pemimpin pemerintahan dengan sebutan Ratu bergender feminim, capitalnya dengan Keraton, kedaton, datu juga bergender feminim, gelar kesarjanaanpun bergender feminim yaitu empu, perempuan. Perempuan selalu dihayati dan dimaknai sebagai kesuburan dan kehidupan.

Toponimi desa, kota sampai kerajaanpun diambil nama tetumbuhan sebagai identitas wilayah, misalnya nama desa muja muju, sentol, joho, medang, mojo dan lain-lain, dalam ekspresi seni; batik, sungging wayang sangat kaya ragam hias ekologi, taripun banyak mengekplorasi unsur ekologi dalam gerakannya. Hingga mitos yang mempunyai korelasi anatara wanita dan kesuburan seperti dewi Sri. Lingga Joni dari unsur mitos seperti mitologi gunung Tengger yaitu perkawinannya Roro Anteng dan Joko Seger menjadi akronim Tengger berpola Lingga Joni, Pola Lingga Joni yang berupa alam seperti nama Tuk Bimo lukar di Dieng, Tuk dalam budaya identik perempuan dan Bimo identik laki-laki. Dan pola Lingga Joni dalam planologi kota seperti konsep sumbu imajiner kraton Jogyakarta.

Semua konsepsi tersebut berangkat dari penghayatan kesuburan atau ekologis yang di terjemahkan dalam sistem sosial budaya, jadi melihat budaya Jawa dimulai dari pemahaman ekologi ini sebagai pisau analisa memahami pola dan ekspresi budaya Jawa yang beragam bentuknya tersebut.

Seni Jawa sebagaimana sudah disinggung diatas awalnya imitasi ekologi kemudian dinaikan kemakna makna filosofis, ini adalah khas narasi Jawa yang multi tafsir dan multi-layer atau bertingkat tingkat. misalnya motif batik motif kawung, kawung adalah jenis bebuahan menjadi motif batik dan pola batik tersebut ada yang menafsirkan bermakna kesuburan. Atau cerita taman Asoka sebagai tempat ditawannya Sinta oleh Rahwana, Asoka adalah varitas tanaman Soka, Soka sendiri berarti tiada kesedihan, narasi tersebut ditingkatkan dari ekologi ke narasi penjara menjadi sebuah semiotika taman terindah yang tiada kesedihan, taman tersebut dan ditingkatkan lagi sebagai tempat pemujaan terhadap Sinta sebagai penjelmaan Dewi Sri, Dewi Kesuburan kembali lagi kenilai ekologi akan arti kehidupan. Dalam dunia perwayangan dikenal istilah dasanama, misalnya Arjuna mempunyai banyak nama seperti Lelenanging Jagad, Begawan Sucipta Wening, Janaka dan setrusnya, adalah sistem operasi sastra bertingkat. Artinya proses proses kreatif dunia tradisi meletakan seni berangkat dari ekologi sebagai sarana sistem nilai dan ritual untuk mengingatkan eksistensi sangkan paraning dumadi.

Sangkan paraning dumadi membawa kekonsep filosofis manusia Jawa, dari sketsa tersebut mencoba mencari sumber referensi yang terkait dengan konsepsi manusia dari literatur tradisi yang terlihat menonjol dalam warisan aristokrasi Jawa seperti nomenklatur kebangsawanan yaitu nama Hamangku Buwono, Paku Buwana, Pakualam, Cakraningrat, Tribuwana, Songgo Buwana. Dari penyematan gelar sebagai idealisasi kesempurnakaan manusia sebagai visi dan misi eksistensialnya, yang menarik adalah penyematan nama seperti Buwono,Rat,Alam merujuk ke nilai nilai kesemestaan belum lagi idiom kekuasaan Jawa seperti kuluk Kanigoro, kanigoro adalah Bunga Matahari, Matahari sumber kehidupan, atau Trengono adalah gugusan bintang, tarian sakralpun dinamakan bedaya Ketawang yaitu angkasa.

Konsep-konsep idealita tersebut bertemu batu rosetanya dengan memahami Ningrat sebagai pisau analisa, Ningrat sendiri secara umum dimaknai sebagai sebutan klas bangsawan dan tersemat secara warisan turun temurun tetapi jarang yang membedah makna Ningrat secara simiotika, Ningrat berasal dari dua suku kata, Ning dan Rat. Ning artinya Keheningan dan Rat adalah Alam Semesta. Keheningan secara umum diperoleh dengan praktek meditasi apapun metodenya, Rat adalah alam semesta. Dalam dunia tradisi membahas alam otomatis beserta dimensinya yang populer dengan tiga alam –tridatu, artinya jagad raya tidak hanya yang mampu dipindai oleh teleskop Hubble semata, tetapi juga dimensi matrix-nya, pengetahuan tentang relasi kesemestaan melalui Yoga sebuah istilah praktek meditasi yang tepat untuk menerangkan relasi tersebut, Yoga ada yang mengartikan dengan Hubungan dari akar kata Yog, artinya segala materi dan eksistensi di alam semesta ini saling terhubung, hubungan manusia dengan yang terdekat sampai yang terjauh, dari materi sampai non materi, juga hubungan materi – non materi didalam diri manusia sendiri, satu sel dan sel lain saling terhubung,I nterkoneksitas yang ada dalam diri manusia sama relasinya dengan hubungan alam semesta, dari pola relasi ini jagad alit dan jagad gede, mikro kosmos dan makro kosmos terkonsepkan.

Clue Ningrat menjadi mudah memahami toponimi yang disandang oleh aristokrasi Jawa, karena aristokrasi Jawa masa lalu selalu melalui proses pendidikan Pasraman, padepokan yang di bimbing oleh para Brahmana, dari dunia Parahyangan tersebut konsep filosofis terpolakan dan terdistribusikan. Kebangsawanan bukan produk politik semata tetapi produk intelektual para Brahmana, Parahyangan. Nilai idealita tersebut bebas nilai, tidak monopoli dan genealogi para bangsawan semata.

Dari semua urian melihat budaya Jawa berpola Ekologi dan Kosmosentris, ketika mendekati dengan pendekatan teologi yang ditemukan sebatas paham manunggaling kawulo gusti, siti jenar, sinkritisme kejawen, yang akan sulit untuk memahami idiom-idiom budaya Jawa utama. (Hangno Hartono/Antok Wesman-Impessa.id)