Feature

FOMO, Berdiri Ditengah Ketakutan, Pameran Enam Perupa di Indie Art House Yogyakarta, 16-29 Oktober 2023

FOMO, Berdiri Ditengah Ketakutan, Pameran Enam Perupa di Indie Art House Yogyakarta, 16-29 Oktober 2023

FOMO, Berdiri Ditengah Ketakutan, Pameran Enam Perupa di Indie Art House Yogyakarta, 16-29 Oktober 2023

Impessa.id, Yogyakarta: Enam perupa muda masing-masing, Abdul Aziz, Badsyaw, Begok Oner, Don Bosco Laskar, Ilkhas Rayi Winuranto, dan Mikhael Yesyurun, menggelar pameran seni rupa bertajuk “FOMO: Berdiri di Tengah Ketakutan” di Indie Art House Jalan As Samawaat Barat Nomor 99, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, pada 16-29 Oktober 2023.

Lily Elserisa dalam tulisan kuratorial pameran itu menuturkan, seniman kini dihadapkan pada referensi subject matter, visual, dan kiat sukses yang melimpah bahkan melampauinya. Di hadapan masifnya pilihan yang ditawarkan oleh perkembangan dunia mesin, virtual, dan angka-angka, seniman dapat memperkaya pengetahuannya sekaligus menjadi rentan terhadap rasa aman.

Kerentanan itu mewujud dalam kekhawatiran besar yang mendorong ketakutan akan ketidakterlibatan dan ketertinggalan dari dunia. FOMO (Fear of Missing Out) bukan lagi sekadar fenomena psikologi, namun dapat dikatakan sebagai kultur masyarakat modern yang menggambarkan kerentanan diri manusia.

Walaupun akses menuju berbagai kesempatan telah terbuka luas, namun seniman, kini seolah dituntut mengikuti semua skena penuh kepentingan. Kepada mereka pula dorongan-dorongan untuk membuat karya yang epigonal berdasarkan validasi kesuksesan pasar kekinian, misalnya dengan menjadi bagian dari tren visual populer secara konstan.

Ke-enam perupa muda tersebut, adalah sebagian kecil dari melimpahnya seniman muda yang berkarya di Tengah kompetitifnya dunia seni rupa di Indonesia, khususnya Yogyakarta. Sebagai seniman-seniman yang bergumul dengan tema-tema terkait identitas diri, mereka mengakui bahwa ketakutan akan ketertinggalan itu benar dan nyata adanya. Pada sisi yang lain, mereka juga melihat kontribusi yang menarik dari ketakutan yang mereka rasakan dalam praktik seni rupanya.

Melalui FOMO, mereka menghadirkan sebuah pengalaman berdiri (in between) di antara baik dan buruknya suatu fenomena populer tentang ketakutan, seperti: tidak memiliki lingkaran, luput dari pembahasan atau daftar seniman undangan, menjadi tua dan dilupakan.

Enam seniman tersebut secara keseluruhan berupaya berdiri di antara ketakutan tersebut dengan merepresentasikannya melalui berbagai simbol yang diekspresikan dalam karya dengan medium dan material yang populer seperti: cat akrilik dan cat semprot pada kanvas.

Ilkhas Rayi melalui karyanya berjudul “Everything Will Be Better if I'm With You” tentang perayaan patah hati, dia turut memeluk ketakutan, kesedihan, dan sakit hati yang dialami melalui penciptaan karakter bernama Momo yang selalu muncul dalam karya-karyanya. Karakter Momo, menyerupai badut bertopeng dengan telinga kelinci, seolah menyembunyikan kesedihan, kesakitan, dan ketakutannya terhadap apapun di balik jenaka dan ekspresi riangnya. Membawa tema kesehatan mental, Rayi ingin mengambil bagian dari arus pembahasan terkini, dan mengemukakan isu personal yang dialami dan bagaimana berkarya menjadi mekanisme pertahanan dan pengelolaan dirinya.

Karya “Skenation” (Don Bosco Laskar, 2023) dan pasangan “Mr Control” dan “Mrs. Control” (Mikhael Yesyurun, 2023), mengungkapkan ketakutan dengan pendekatan mempraktikkan apropriasi pada karya-karya seniman yang sedang populer saat ini, menampilkan pula merek-merek mewah yang dikenakan oleh karakternya sebagai fashion item. Karakter pada karyanya seolah sedang bergumul dalam dunia ketakutan populer.

Badsyaw, street artist yang mendekati ketakutan populer dengan menelisik fenomena lewat karakter ikonik monyet mengenakan kostum Batman. Pada karya berjudul “Klithih”, Badsyaw mengangkat ketakutan akan ketertinggalan, tidak memiliki kelompok pertemanan, hingga kurangnya ruang publik yang sehat bagi anak muda di Yogyakarta.

Begok Oner, street artist yang mengambil pendekatan jalanan dan ruang publik sebagai tema karyanya. Begok sering merespons tembok jalanan dan bangunan-bangunan bekas menjadi medium alternatif bagi ekspresi visualnya. Karya berjudul 7°46'23.8"S 110°22'32.5"E (2023), menampilkan mayat-mayat arsitektur kota di mana Begok menorehkan karya graffitinya, kemudian karya tersebut dipindahkan ke medium kanvas dengan penambahan visual jalanan yang lainnya. Tertera “JOY” pada dinding bangunan yang nampak cembung seolah menegaskan kebahagiaan atas berbagai kegagalan cara bertahan di tengah peradaban manusia. Bisa melewatkan sesuatu sekaligus bahagia karenanya.

Abdul Aziz (Dull) menampilkan karya nonrepresentatif (abstrak). Karya berjudul “Clonazepam Effect” (2023) dan “Don’t Hurt Me” (2023) merupakan ekspresi dirinya dalam merespons kecemasan dan kesakitan yang dirasakan dalam tubuhnya. Dull memiliki cara tersendiri yang berbeda untuk merayakan rasa sakit dan ketakutannya dengan menorehkan warna-warna ceria melalui goresan yang ekspresif, namun terasa disertai intensi tertentu untuk membuat suatu perasaan menjadi lebih mengemuka melalui garis-garis lengkung membentuk teks dalam lukisannya.

Nana Teja, perupa senior yang hadir di pembukaan pameran FOMO, kepada Impessa.id mengungkapkan rasa senangnya melihat karya anak muda sekarang, “Menurutku lebih cerah, warnanya vibrant, dan pop art, OK sich, tinggal pengembangannya saja, untuk dibawa ke pemasaran yang lebih baik, ke ruang kesenian yang lebih menjanjikan dan lebih banyak dilihat lagi oleh pecinta seni,” tuturnya singkat.

I Gede Arya Sucitra, perupa senior yang juga dosen ISI Yogyakarta berpendapat bahwa pameran FOMO tersebut menarik. “Bagi saya pameran Fomo ini menarik, karena beberapa karakter yang dimunculkan menghadirkan antusias anak muda yang memang dekat dan aktif dengan media sosial, yang jelas karya yang dipamerkan memberikan identitas anak muda populer hari ini. Ketakutan yang mereka hadapi yaitu pada aspek ketertinggalan atau aspek ingatan terhadap proses kreatif mereka yang akan dinikmati oleh para apresiator,” ujarnya.

Aldridge dari Galeri di Surabaya disela-sela pameran kepada Impessa.id menuturkan bahwa pameran FOMO itu menyegarkan. “Bagi saya ini fresh, saya tertarik dengan hal yang baru, saya melihat ada perkembangan yang dahulu simple kini mulai kompleks, kerapiannya, variasinya sangat menarik,” akunya.

Menurut Lily Elserisa, sang penulis, pameran FOMO menghadirkan karya-karya dari berbagai pengalaman berdiri di tengah atau di antara (in between) baik dan buruknya ketakutan. Mereka mengakui, memeluk, merayakan dan mengelola berbagai ragam ketakutan, ditinggalkan, bahkan kekhawatiran menjadi tua dan dilupakan. Pameran ini secara keseluruhan merepresentasikan ketakutan melalui berbagai simbol yang diekspresikan dalam karya, semisal popularitas yang melekat hingga kegagalan peradaban manusia yang direkam pada dinding jalanan dengan medium yang juga popular. (Feature of Impessa.id by Antok Wesman)