Pameran Seni Rupa Wadon, Karya 19 Perupa Perempuan, Berlangsung Di Benteng Vredeburg Yogyakarta, Hingga 23 April 2022
Pameran Seni Rupa Wadon Karya 19 Perupa Perempuan Berlangsung Di Benteng Vredeburg Yogyakarta, Hingga 23 April 2022
Impessa.id, Yogyakarta: Komunitas Empu Gampingan terdiri dari 19 perempuan perupa lulusan ISI Yogyakarta Gampingan sedang menggelar pameran seni rupa bertajuk “Wadon” di Benteng Vredeburg Yogyakarta hingga 23 April 2022. Ke-19 perempuan perupa masing-masing, Agni Tripratiwi, Ambar Kusuma Wardhani, Avina Candra, Anik Indrayani, Bekti Istiwayah, Caroline Rika, Endang Lestari, Feintje Likawati, Irene Agrivina, Justina T.S, KaNa Fuddy Prakoso Laila Tifah, Lashita Situmorang, Liesti Yanti Purnomo, Media Noverita, Nugra Kristi, Steph Moe, Tini Jameen dan Warsiyah.
Sebagian dari mereka telah kami tulis secara serial, dalam tayangan artikel seri-1 dan seri-2, dan kini untuk seri-3 sekaligus seri terakhir, memuat delapan perupa yang berhasil ditemui Impessa.id, yakni, Agni Tripratiwi, Justina TS, Nugra Kristi, Steph Moe, Anik Indrayani, Avina Candra, Bekti Istiwayah, dan Warsiyah.
Agni Tripratiwi, single mother dengan dua anak yang bermukim di Malang, Jawa Timur, lulusan Fakultas Seni Lukis ISI Yogyakarta Gampingan Angkatan 1993. Melalui karya intalasinya berjudul “Memories” dirinya ingin menyampaikan kenangan hidupnya kepada khalayak luas, “Biasanya perempuan itu senang dengan kain-kain, dan karya instalasi dari kain yang saya sambung-sambung ini merupakan warisan dari ibu saya almarhumah, ada yang berupa sulaman, ada yang dari baju yang telah dibuka jahitannya, ada bordiran, hasil karya kristik, jadi ini semua kenangan dari ibu saya yang juga dosen, tapi masih sempat menyulam, dan sebagainya,” ungkap Agni.
“Instalasi dari kain-kain perca, selain saya memanfaatkan barang-barang yang tak terpakai, sekaligus saya menjaga jangan ada limbah dari kain-kain tersebut, yang kemudian saya rangkai sedemikian rupa menjadi karya seni yang tentu saja tiada duanya,” imbuh Agni yang kini sehari-harinya sibuk menyulam, membuat dompet, tas dan kerajnan lainnya.
Menurutnya, dengan semangat Kartini, maka perempuan itu harus kuat, perempuan tidak dilarang menangis karena menangis itu hanya untuk mengeluarkan emosi, saya yakin dibalik itu perempuan pasti bisa mengatasi semua permasalahan yang dihadapinya. Pameran Wadon oleh Empu di Benteng Vredeburg Yogyakarta ini semakin menyemangati dirinya untuk terus aktif berkarya. “Saya ikuti pameran di Jogja serasa di rumah sendiri, apresiasi publiknya bagus, banyak galeri seni rupa tersebar diberbagai pelosok, sedangkan di kota tempat saya tinggal belum se-apresiatif seperti di Jogja,” akunya. Pesannya untuk generasi muda agar pandai-pandai memanfaatkan benda-benda atau barang-barang yang ada disekitarnya, untuk meminimalisir limbah rumah tangga sekaligus menjaga kebersihan lingkungan.
Kemudian perupa Yustina yang berdomisili di jalan Magelang Karangwaru Lor, karya lukisnya terinspirasi dari ketangguhan perempuan pedagang di pasar. Semangat mereka untuk menghidupi keluarga yang dicintai, dihadirkan dengan warna merah dengan lelehan cat seolah keringat yang mengalir. Disusun dalam beberapa panel yang bermakna seperti daun-daun pintu yang jika terbuka ada gambaran disebaliknya, seperti halnya hati perempuan yang selalu berubah. Bagi Yustina, komunitas Empu Gampingan sudah sebagai keluarganya sendiri, saling support diantara anggota-anggotanya.
Sedangkan Nugra Kristi dengan studio di Mulo Gunung Kidul, pada karya lukisnya berjudul “Jejak Sang Hujan”, Nugra merespon apa yang ada di sekitar tempatnya bermukim. Ketika musim penghujan, di Kawasan hutan Pohon Jati didekat rumahnya, banyak ditumbuhi ‘Jamur Barat’ yang memang dikonsumsi oleh penduduk setempat. Potensi alam yang belum diolah secara optimal dan fenomena itu dia abadikan kedalam kanvas.
“Bergabung dan ikut pameran bersama komunitas Empu buat saya spesial, seperti kembali ke rumah setelah sekian lama hibernasi,” aku Nugra. Untuk karya berjudul “My Mom” sebagai kenangan kepada Ibundanya yang telah wafat di usia 63 tahun, “Memori kecil saya saat di Cilacap, kami sering ke pantai, kemudian setiap pagi ada Tukang Sayur keliling yang berhenti di depan rumah dan ibu saya belanja, saya lihat dari jendela rumah, dan disaat ibu sibuk memasak saya bersama teman-teman bermain-main di halaman, di kebun, karir ibu saya sebagai Make Up Artism” tuturnya. Karya lukisnya berjudul “The Last Wild Flower” dimaksudkan sebagai perempuan dengan background apapun yang dimiliki tetap harus tampil indah, cantik, lahir batin.
Sementara itu, Step Moe, yang kini menggeluti dunia garment berdomisili di Kwarasan, Griya Arga Permai Sedayu, menyajikan karya lukis monokrom berjudul “Tradition” menggambarkan sosok perempuan Abdi Dalem Keraton yang sedang membuat kue Apem. “Abdi Dalem itu kan bekerja di Keraton dengan tulus ikhlas tanpa pamrih dan setia, hal itu serupa dengan figur seorang ibu pada keluarganya,” ungkapnya.
Keikutsertaannya di komunitas Empu membuatnya tetap bersemangat “Kami saling mengoreksi sebelum karya dibuat, saat masih dalam bentuk sketsa yang dikirim ke komunitas kami saling menyarankan agar begini begitu, setelah dirasa cukup OK, baru karya diselesaikan dan siap dipamerkan, jadi diantara kami saling mengkurasi,” aku Vivi sapaan akrabnya.
Perupa berikutnya, Anik Indrayani, dengan studio di kawasan Piyungan Jalan Wonosari KM 14, dengan karya judul “Kita Bisa” yang diartikan bahwa perempuan itu bisa mengerjakan apapun.
Selanjutnya perupa Avina Candra yang bermukim di Bogor, memajang karya lukis bunga, ada bunga Tulip, bunga Matahari, bunga Kembang Sepatu, bunga Kamboja, yang dia maknai bunga itu identik dengan wanita. Lewat bunga tersembul energi yang mencerahkan seperti ketulusan. Singkatnya katakanlah dengan bunga, Say It With Flower.
Perupa Bekti Istiwayah yang kini menjadi ANS di Museum Benteng Vredeburg berasal dari Fakultas Seni Patung Angkatan 1990 ISI Yogyakarta Gampingan yang berdomisili di jalan Paris depan gerbang Kampus ISI Sewon, dalam pameran bersama komunitas Empu, bertajuk “Wadon” dirinya mengusung karya instalasi berupa Jarum Melengkung gigantic dilengkapi tambang seolah benang jarum suntik, terbuat dari Kayu Jati berjudul “Lantip”, bahasa Jawa bermakna cerdas. “Seorang perempuan dituntut untuk cerdas mengurai suatu masalah, layaknya ketajaman sebatang ujung jarum,” tuturnya.
Perupa terakhir Bernama Warsiyah yang kini berkarir bersama suami berdagang material bangunan TB Gangsar di jalan Kabupaten, menampilkan karya berjudul “Among Tamu” yang dia artikan seperti perempuan tampil cantik ketika ada hajatan.
Dyan Anggraini Rais dalam sambutan pembukaan pameran bertajuk “Wadon” di Benteng Vredeburg Yogyakarta, Sabtu (9/4/2022) menuturkan, bahwa kita bersyukur tinggal di Jogja karena Jogja adalah lahan subur untuk tumbuhnya komunitas ataupun kreativitas seni budaya yang tidak pernah berhenti melahirkan karya-karya kreatif.
Terkait tema pameran “Wadon” tersebut, Dyan Anggraini Rasi mengatakan, bahwa perempuan memiliki kedudukan yang tinggi karena perempuan adalah ‘ibu’nya keturunan manusia, jadi atas kodratnya sebagai pemangku keturunan, mengandung, melahirkan, menyusui, dan seterusnya, yang mengisyaratkan gugusan nilai-nilai tentang kelembutan, ketulusan, pengorbanan, yang tidak banyak mendapatkan perhatian, karena hal itu dianggap sudah alamiah, ativitas wilayah domestik, justru karenanya hal itu menjadi pengalaman yang sempurna yang tidak dimiliki oleh kaum pria sehingga menjadi hal yang penting yang mesti kita sadari. (Feature of Impessa.id by Antok Wesman)