Feature

Wadon, Wanita Do Unlimited, Dibeberkan Oleh Empu Gampingan Di Benteng Vredeburg Yogyakarta, Hingga 23 April 2022

Wadon, Wanita Do Unlimited, Dibeberkan Oleh Empu Gampingan Di Benteng Vredeburg Yogyakarta, Hingga 23 April 2022

Wadon, Wanita Do Unlimited, Dibeberkan Oleh Empu Gampingan Di Benteng Vredeburg Yogyakarta, Hingga 23 April 2022

Impessa.id, Yogyakarta: Ada yang menarik dalam pameran seni rupa bertajuk “Wadon” yang dihelat oleh komunitas perupa perempuan alumni ISI Yogyakarta Kampus Gampingan, bernama Empu Gampingan, dan berlangsung di Benteng Vredeburg Yogyakarta, hingga 23 April 2022. Salah satu hal yang menarik yakni terjalinnya chemistry diantara anggota komunitas Empu tersebut, sehingga diantara mereka saling memberi semangat, saling mendukung satu-sama lain, selayaknya sebuah keluarga besar untuk tujuan bersama,

Ketua Pameran Endang Lestari kepada Impessa.id menjelaskan bahwa “Wadon” merupakan sebuah pengabdian tanpa batas, baik untuk keluarga, berkarya dan berkehidupan sosial di masyarakat. Lebih dari sekedar jargon untuk mendapatkan perhatian, 19 anggota Wadon bersamaan dengan momentum Hari Kartini, mewujudkan tindakan nyata keseharian mereka yang ditampilkan dengan semangat kebersamaan dan saling mengeluarkan kreativitas untuk berkarya. Wadon, singkatan dari Woman Do Unlimited, Wani Do Nglangkah Wani Do Nrabas.

Disela-sela pameran, dosen ISI Yogyakarta yang juga kurator pameran seni rupa Sujud Dartanto ketika dimintai pendapatnya menuturkan, “Pameran ini bagi saya memiliki makna menegaskan lagi karya yang dibuat oleh perempuan perupa, tidak bermaksud untuk membedakan mereka tetapi artikulasi mereka itu bagi saya penting di identitas, di masyarakat. Kemudian, secara internal ini bagus bagi mereka untuk menampilkan karya-karya baik dari gagasan, bentuk dan teknik, dan saya berharap lewat pameran ini mereka bisa saling memperkaya wawasan karena pendekatan, perspektif, cara melihat yang kritis, penting untuk mereka guna memperkaya pengetahuan. Saya berharap juga semakin mempertajam kualitas pesan melalui simbol-simbol, tanda-tanda atau ekspresi mereka. Selanjutnya Teknik, lewat pameran ini juga mudah-mudahan mereka saling memperkaya dalam ketrampilan membuat karya. Adapun pesan keluar buat masyarakat, mari kita apresiasi karena ini adalah persembahan dari para insan yang banyak concern terhadap perkembangan seni, ditengah-tengah kesibukan domestik dan keadaan yang membuat mereka tidak mungkin melakukan ekspresi seperti ini, jadi ini moment langka dan kita perlu apresiasi pameran seperti ini dan ini akan membuka kita mengenai pengetahuan atas berbagai pemikiran dibalik karya dan pengalaman rasa juga pengalaman estetis,” jelasnya.

Ketika disinggung terkait konsistensi mereka, Sujud Dartanto, menjawab, konsistensi komunitas Empu Gampingan cukup baik, karena karya kolektif mereka hadir di banyak forum-forum, pameran di ranah nasional dan juga di ranah internasional. Mereka berangkat dari unit sosial yang paling kecil yaitu keluarga, “Bagi saya ini menarik, tidak seperti kolektfitas yang seringkali menyampaikan suatu agenda penyadaran atas nama kolektif, atas nama jender. Bagi saya justru dari ruang-ruang domestik itu mereka membuat banyak artikulasi, dan bagi saya juga cukup menarik. Menariknya untuk memperkaya pengetahuan kita terhadap keberadaan karya-karya ini. Karena banyak di tempat-tempat lain, di kota-kota lain, pameran seperti ini jarang sekali, kita tahu ada banyak problem di kota-kota lain ketika perempuan bersuara, ketika perempuan berekspresi, masih ada stigma, masih ada pandangan minor, Nah, Yogyakarta ini sangat mewah, karena hal-hal yang seperti ini biasa-biasa saja, ini dirayakan oleh berbagai macam identitas termasuk mereka yang bisa bersuara dari jarak yang paling dekat yaitu keluarga,” ungkap Sujud Dartanto lebih jauh.

Perupa yang terlibat yaitu Caroline Rika mengusung karya instalasi bertajuk “Ubet” yang bermakna multitasking, bisa apa saja, “Perempuan itu multi-tasking, apa saja bisa, dan untuk dimasa-masa pandemi yang sulit ini banyak hal-hal yang menurut aku seperti kebisa-an perempuan, terutama ibu-ibu rumah tangga, untuk Ubet. Dia mengusahakan dapurnya di rumah tetap bisa ngebul, dengan berbagai cara, misalnya nandur dirumahnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan keluarga. Itu saya simbolkan dengan wujud kostum kepala yang menyatu dengan tangan. kepala dan tangan menjadi satu,” tutur Caroline Rika.

Bagi Caroline Rika, bergabung kedalam komunitas Empu ada banyak manfaatnya, antara lain, sebagai satu pergerakan yang bagus karena dengan berkumpul bersama otomatis kita bisa membuat banyak kegiatan, untuk ke kitanya sendiri kita masing-masing jadi bisa belajar, terus bisa pameran bareng, jadi membuka kesempatan yang lebih luas. Spirit RA Kartini terwujud dengan adanya komunitas Empu ini, mengingat ada beberapa anggota yang vakum lama karena urusan domestik masing-masing, namun melalui Empu, semangat mereka untuk tampil lagi muncul karena dorongan kuat dari anggota yang lain.

Sedangkan perupa Lashita Situmorang dengan studio di kawasan Nitiprayan, lewat karya instalasi bertajuk “Repeating Pattern”, berbicara tentang domestik, “Kalau ngomongin jender laki-laki dan perempuan ada pattern yang sama, jadi kalau kembali ke tema Perempuan Wani Do Nglangkah, Wani Do Nrabas, itu tuh sesuatu yang baru. Menurut saya judul ‘Repeating Pattern’ ini kayak baju-baju laki-laki itu kotak-kotak, kalau perempuan itu daster, kemudian saya mengistilahkan dunia ini ya dunia maskulin, kalau ngomongin ketimpangan jender saya mau menunjukkan bahwa memang ada repeating pattern, kalau mau mengalami perubahan itu ya harus bekerja bersama laki-laki dan perempuan, Jadi saya mencoba menunjukkan bagaimana pattern-pattern itu di repeat, itu pada dasarnya, kecuali hanya satu perempuan yang ada divideo yang berbicara dengan dasternya,” ujarnya.

Menurut Lashita, Komunitas Empu sangat penting bagi woman support woman, “Saya merasa bahwa pertemuan kami di Empu ini saling men-support satu sama lain untuk tetep berkarya, dan bersemangat, dan berbagi. Semisal ada yang tidak bersemangat akan kita ajak untuk bersemangat, ayo berkarya..di sisi lain meskipun mereka ada juga beberapa dari kami itu masih baru mulai lagi berkesenian, karena sibuk dengan rumah tangga dan sebagainya, kami pikir mereka juga banyak pengetahuan yang luar biasa, bagaimana kehidupan perempuan itu, jadi saya merasa bahwa ini kolektif yang menarik, bersama perempuan-perempuan yang menurut saya berbeda, ini tidak hanya reunian, lebih dari itu, sudah kayak keluarga, kami saling support untuk berkarya, karena enggak ada limited-nya untuk berkarya itu, mau umur berapa? mau angkatan berapa? Bisa bersama-sama,” akunya.

Perupa lain yang ditemui Impessa.id, adalah Tini Jameen dengan studio di kawasan Gedongan-Kasongan, melalui karya lukisnya berupa sosok perempuan nan dinamis berambut panjang tergerai, bertopeng, berbaju merah dikelilingi topeng-topeng, berjudul “The Power of Woman” Tini Jameen menyebutkan bahwa peran wanita tak tergantikan, “Seperti yang dikatakan Agus perwakilan dari Benteng Vredeburg, saat memberikan sambutan pada pembukaan pameran, bahwa ketika dirinya ditinggal pergi tiga hari oleh isterinya dikarenakan tugas kelain kota, dirinya mengaku KO menggantikan tugas sehari-hari isteri di rumah. Memang betul itu apa yang dikatakan pak Agus. Adapun topeng-topeng ini saya gambarkan tentang peran wanita terutama yang single parent, perjuangan seorang wanita perupa yang menghidupi anak-anak dari hasil karya seni rupa-nya yang diapresiasi kolektor, topeng-topeng tersebut menggambarkan ketika diri si wanita menjadi sosok ayah, mencari nafkah, mengurusi semua yang biasanya dilakukan oleh seorang ayah, ada topeng yang pada saat tertentu kita menjadi teman bermain anak-anak, sekaligus pengawal anak-anak tatkala mereka pergi bermain, kemudian topeng ketika betul-betul menjadi sosok ibu. Tema ini sudah sering kita lihat dalam realita kehidupan, terkadang diabaikan padahal sangat penting,” ungkapnya. (Feature of Impessa.id by Antok Wesman, Seri 2)