Tiga Srikandi pelukis pameran bareng di Indieart House, Bekelan-Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul Yogyakarta

Tiga Srikandi pelukis pameran bareng di Indieart House, Bekelan-Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul Yogyakarta
Impessa.id, Yogyakarta: Tiga Srikandi pelukis Jogja masing-masing, Watie Respati, Erica Hestu Wahyuni dan Lully Tutus, menggelar pameran bersama dalam tajuk “Well Done” di Indieart House Jalan Samawaat No. 99 Bekelan-Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
Dalam pengantar kuratorial pameran “Well Done” tersebut Mikke Susanto, Dosen ISI Yogyakarta, menuliskan kata singkat MULTI, yakni Erica multi-fokus, Watie multi-efek, Lully multi-dimensi.
Dijelaskan, pada perupa Erica, gaya lukisannya dekoratif naïve, unsur visual yang dibangun merupakan bagian dari upaya untuk menghias ruang secara dominan. Semua objek dilukiskan secara datar dan tampil sebagai titik fokus, multi-fokus. Erica membagi kanvas dalam kotak-kotak bernarasi. Erica memakai cara pandang visualisasi anak-anak dan kanvas diperlakukan sebagai ‘taman bermain’.
“Memang aku seneng dunia anak-anak mas, sejak kecil sering ikut lomba melukis, yang ternyata sangat bagus untuk psikologi anak, karena selain disekolahkan, anak-anak bisa santai dengan melukis, lagipula dunia anak itu sampai kita dewasa tak pernah lupa,” ujar Erica, ketika dikonfirmasi Impessa.id terkait karya lukisannya yang berjudul “The Story of Adventurer 1 dan 2”.
Watie Respati, lebih menekankan pada gaya Abstraksi, terkadang realistik, dalam seni rupa proses abstraksi menjadi jalan untuk menangkap secara sederhana dari sebuah objek-peristiwa-gejala. Lukisan-lukisan Watie kaya warna, kaya goresan dan kaya akan eksplorasi makna.
“Saya beralih dari dekoratif ke ekspresif sesuai dengan jiwa saya yang selalu bergerak, jadi saya berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan rumah tangga dengan pekerjaan saya membuat pameran, ikut pameran, kemudian untuk menghadiri pameran temen, malem saya harus melukis, jadi saya sesuaikan saja, memang saya harus bener-bener pinter-pinter nih me-menej waktu,” tutur Watie Respati kepada Impessa.id disela-sela pameran.
Lully Tutus, menampilkan lukisan bergaya dekoratif naïve, yang memandang dunia dengan pikiran manusia dewasa. Melalui lukisannnya Lully menggambarkan objek hidup secara anatomis, seolah dunia terdiri dari aneka fantasi visual. Menurut Mikke, Lully mampu menggabungkan realitas anatomi dengan realitas non-inderawi secara koheren melalui gaya dekoratif-nya. Dibalik realitas, Lully merekam kehidupan non-real yang kaya warna, kaya dimensi, layak disebut multidimensi.
Usai pembukaan yang dibarengi turunnya hujan deras, Impessa.id meminta pendapat seniman pematung Dunadi terkait tampilnya ketiga Srikandi pelukis itu.
“Trio ladies ini sangat luar biasa, saya kagum, perempuan yang mempunyai karakter, mempunyai prinsip, mempunyai manajemen yang bisa mengatur waktu, penting itu. Bisa mengatur waktu tentang berkarya, tentang bermasyarakat, tentang karier-nya, tentang konsep-nya, tentang penjiwaan, karena saya sendiri seorang seni rupa, kalau sudah berkarya itu kan lupa segala-galanya, itu yang sangat menarik, mereka bisa mengatur, bisa me-menejemen, padahal punya anak, punya suami, itu yang luar biasa. Disisi lain, penjiwaannya itu luar biasa, coba, dari karakter mbak Watie, mbak Lully, mbak Erica, itu kan luar biasa. Mbak Erica itu yang melukis sejak anak-anak tetapi sampai sekarang dia punya konsep yang luar biasa. Disitu karakter-nya dan historis-nya dituangkan didalam karya yang begitu dinamis, komposisi yang pas, itu kan luar biasa. Nah itulah yang perlu kita contoh, melukis itu tak terbatas. Saya salut dan memberi apresiasi. Saya sempat tertegun melihat wanita pelukis berkarya, karena saya sendiri punya isteri, punya anak, isteri saya itu setiap hari waktunya sudah habis untuk ngurus anak, ngurus rumah tangga, ngurus suami, betapa repotnya, lha ini, bisa meluangkan waktu untuk berkarya seperti ini kan hebat, betapa sabar-nya suami-nya. Mungkin dengan adannya pandemi ini mereka punya waktu longgar sehingga dapat mengisi waktunya dengan berkarya,” ungkap Dunadi.
Secara terpisah, seniman pelukis Klowor Waldiyono berpendapat, “Ini ide yang cemerlang dan cerdas untuk kolaborasi tiga srikandi ini. Erica yang satu Angkatan dengan saya di ISI tahun 89, dengan naif-nya Watie juga kakak kelas saya dulu di SMSR, dan Lully Tutus sebagai pendatang baru di Jogja, dari Salatiga, illustrator dan murid terbaik dari Arswendo Atmowiloto waktu itu. Ini kolaborasi assik, semoga terus berlanjut dengan pemikiran-pemikiran yang tidak puas untuk saat ini. Berkarya itu sebuah pilihan, ini wanita-wanita pilihan, Wanita-wanita hebat, sebagai pelukis sekaligus sebagai ibu yang baik, bisa membagi waktunya sesuai dengan profesinya sebagai pelukis wanita,” tutur Klowor kepada Impessa.id.
Kedatangan pelukis senior Nasirun di ruang pamer Indieart House malam itu, Sabtu (26/2/2022), semakin menambah kehangatan suasana yang memang dingin berhubung hujan masih deras mengguyur. Ketika dimintai pendapatnya terkait karya pelukis perempuan tersebut Nasirun mengatakan, “Mimpi Emira Sunarsa, ada wanita melukis, kini menjadi kenyataan, karena selama ini seolah-olah dominasi seniman yang ambil bagian adalah seniman laki-laki. Saya kira pandemi ini melahirkan satu generasi wanita-wanita perkasa yang memberikan warna lain. Ada warna naif-nya seperti Erica, ada warna monocrom-nya Watie, ada feminim-nya Lully Tutus yang sangat coloris. Alam Jogja sangat pas, gotong-royong, arisan, kolaborasi, supaya disitu menemukan ide-ide baru, kalau meeting malah gak ada pameran (wkwkw..gelaknya..). Dari ketiga pelukis ini personality-nya muncul, masing-masing punya karakter sendiri-sendiri. Ancaman lho buat saya ini…(canda Nasirun).
Menurut Nasirun, pameran ini perwujudan mimpi Emira Sunarsa untuk melahirkan generasi wanita yang melukis, setelah pendahulunya seperti, Tri Joko Abdulah, Nunung WS, Sudarmi Zakaria, Umi Dahlan dan Kartika Affandi. “Seyogyanya disetiap pameran seperti ini melibatkan beliau-beliau itu setidakanya rekam jejaknya bisa diwariskan. Aku seneng ada pameran, bayangkan kalau semuanya on-line, lha saya kan ‘mati gaya’ dan ‘mati kutu’ tak tahu apa-apa, gak punya grup WA lagi,” selorohnya.
Kaitannya dengan konsistensi, Nasirun membeberkan, itu yang paling mahal. “Sebenarnya kalau lukisan sekarang semuanya gak ada yang jelek (sorry ya, sambil nahan ketawa) cuman untuk kontinyuitasnya ini disadari terjaga. Jadi ini, nanti alam yang akan menilai. Jangan ambisi popular, jangan ambisi kaya-raya tetapi ambisi-lah dalam proses, proses dan proses. Hasil proses ini tentu sebuah archive, ataupun karya ataupun artefak, lha syukur-syukur punya bias efek yaiktu ekonomi dan popular, itu bonus lha ya, tapi kalau itu yang dikedepankan kadang-kadang kalau gak hati-hati point up yang sudah kita miliki tanpa sadar kita warnai yang nanti akan tercermin dalam sebuah karya gitu. Kontinyuitas itulah yang saya kira terpenting, dan mencintai karya dengan kesadaran bahwa bakat itu anugerah, karunia. Karunia ini yang menang itu konsisten,” ungkap Nasirun kepada Impessa.id.
“Kita beruntung punya tokoh-tokoh besar, yang artinya apa mimpi mereka, kerinduan mereka, adalah generasi yang tetap berkesenian dibidangnya masing-masing,” imbuhnya lebih kanjut.
Lully Tutus melalui Impessa.id lantas merespon kehadiran Nasirun. “Mas Nasirun itu salah satu sosok yang saya idolakan, banyak petuahnya yang ‘mak jleb’, setelah pelukis pak Affandi, ketika saya masih kanak-kanak,” aku Lully.
Informasi detail tentang Indieart House dapat di klik di: www.indiearthouse.com, http://www.facebook.com/profile.php?id=100009466550633, https://instagram.com/indiearthouse?utm_medium=copy_link, https://vt.tiktok.com/ZSefBTaJX/ (Feature of Impessa.id by Antok Wesman)