Feature

Hangno Hartono Gelar Ruwatan Buto Angkoro Di Kampus AKN Seni Budaya Yogyakarta

Hangno Hartono Gelar Ruwatan Buto Angkoro Di Kampus AKN Seni Budaya Yogyakarta

Hangno Hartono Gelar Ruwatan Buto Angkoro Di Kampus AKN Seni Budaya Yogyakarta

Impessa.id, Yogyakarta: Alumnus AKNSBY –Akademi Kesenian Negeri Seni Budaya Yogyakarta, yang berlokasi di Jalan Parangtritis Sewon, ternyata mampu berkiprah, dibuktikan tampilnya Hangno Hartono, alumnus AK4 yang dalam “Sarasehan dan Temu Kangen, Unjuk Kreativitas” Malem Jum’at Legi, di kampus setempat, Kamis sore (3/2/2022), yang menggelar pertunjukan bertajuk “Ruwatan Buto Angkoro” dan pameran karya wayangnya, berupa lukisan dan tatah sungging Gaya Jogja.

Ketika dikonformasi Impessa.id terkait pementasan “Ruwatan Buto Angkoro” tersebut, Hangno, sapaan akrabnya menuturkan, “Ruwatan Buto Angkoro - saya membayangkan seorang Ksatria tetapi tanpa dia sadari itu menjadi Buto, Menjadi Buto itu karena faktor struktural yang menjadikan dia tidak bisa lepas dari sistem Buto. Orang yang dulunya baik tetapi masuk sistem mau tidak mau ikut kebawa sistem itu,” ungkapnya.

Menurut Hangno, konsep Buto Angkoro itu meruwat, “Kalau dalam narasinya supaya ada alur kejut-nya, Buto Angkoro diwujudkan seorang perempuan berwajah manis, baik, membantu ketika ada puput, membantu melawan Buto, tetapi sang Dalang itu tau bahwa dia itu sesungguhnya Buto, terus disadarkan dengan meruwat itu. Diruwat dengan cara dibakar sifat ke-Buto-annya, sehingga sadar dan menjadi Ksatria kembali,” ujarnya.

“Artinya, memang perlu ada mekanisme moral, untuk menyadarkan para ksatria itu kembali ke jati-diri nya, kembali ke habitatnya. Kekuatan moral itu yang perlu kita unggulkan. Kalau dalam dunia narasi, kekuatan moral itu Ruwatan. Kalau dalam dunia modern ini peru dibicarakan lebih lanjut,” imbuh Hangno.

Dalam performance semi teater tari, tanpa kata-kata namun lebih kepada gerak tarian ber-durasi 30 menit tersebut Hangno bertindak selaku penulis naskah sekaligus pemeran utama. Dibantu oleh Teater Bumi Muntilan dan Mendut Institut (Ninditio) sebagai tim produksi.

Direktur AKN Seni-Budaya Yogyakarta, Dr Supadmo MHum didampingi Drs Andono MSn selaku Ketua Prodi D-1 Kriya Kulit, dalam kesempatan itu menyatakan bahwa wayang, bagi orang Jawa, itu dapat ditemukan dan dikenali dalam kehidupan masyarakat Jawa, alat makan sendok gagangnya wayang, yang paling mutakhir gambar bus TransJogja itu juga wayang,

“Wayang sebagai media belajar orang Jawa, ternyata hinggap dan ada disetiap keluarga. Saya percaya dalam hal ini bahwa masyarakat Jawa mengambil esensi substantif nilai yang ada dibalik wayang. Sekarang yang terjadi, ada stagnasi generasi terhadap pemahaman wayang, oleh karena itu bagaimana kita mencari solusinya, salah satunya adalah apa yang disajikan mas Hangno, tetapi bagaimana kita bisa menerima message agar tersampaikan oleh kita, itu juga sebuah masalah, karena kita ada dalam ranah simbol, apa yang disajikan lewat tayangan oleh mas Hangno, kita tidak bisa mengartikan yang tampak visual, karena kalau kita mengambil unsur visualnya saja, makna itu bisa dipelintir, bahwa mas Hangno membakar wayang yang sudah diagungkan masyarakat Jawa, dapat disalah tafsirkan, makanya penting dialog semacam ini. Melalui medsos yang begitu canggih, upaya pemelintiran esensial dari substansi nilai itu bisa terjadi. Perlu pemberian pemahaman akan nilai wayang di kalangan generasi milenial, penyampaian message mengubah pola pikir yang keliru, perlu dicari solusinya,” ungkap Direktur Dr Supadmo MHum.

Terkait pembakaran wayang, Hangno menjabarkan, “Konsep saya itu Buto Angkoro Obong, pen-suci-an dalam tradisi itu salah satunya adalah dibakar, itu proses pen-suci-an, makanya dalam Buto Angkoro Obong, setelah dibakar, maka sifat ksatrianya muncul, memang pemikiran-pemikiran filosofis itu kurang popular, sehingga kalau wayang dibakar itu konotasinya jelek, padahal konotasi pen-suci-an itu melalui proses pembakaran," jelasnya.

Dalam bukunya “Trilogi Mencari Arjuna”, Hangno menyebutkan bahwa Buto itu dalam tradisi bukanlah sosok yang jahat, Buto yang dengan nama lain Raks atau Raksasa adalah penjaga dunia, penjaga alam bawah, dan itu dibutuhkan dalam konstalasi kosmis Jawa bahwa Buto itu Penjaga, dalam narasi cerita memang dinarasikan jahat, tetapi secara filosofisnya Buto itu baik.

Semisal, Kumbokarno, itu tokoh luar biasa baik, dia Buto. Rahwana pun juga hebat, dia mencintai Sinta sampai 12 tahun tidak menjamahnya, malah Rama sendiri meragukan kesucian Sinta. “Buto itu menarik, sangat artisitik,” akunya.

Lebih lanjut Hangno menyebutkan, “Kalau saya amati style-lisasi wayang itu lebih cenderung ke ekologi, banyak mengeksplorasi kasanah flora dan fauna, memahami alan semesta itu basic-nya ekologi,” jelasnya. Kini Hangno sedang mempersiapkan dua buku lagi masing-masing berjudul “Ekofilosofi” suatu konsep pimpinitas perempuan sebagai konsep peradaban, dan “Cokropanggilingan” tentang konsep Jawa masa lalu, masa sekarang dan masa depan, dengan pola yang sama yaitu disertai pembuatan karya yang dipresentasikan.  “Ketika kita bicara Jawa, biasanya romantisme, hanya masa lalu saja, tidak membayangkan Jawa masa depan itu kayak apa sih, Orang Jawa itu menurut saya perlu berpikir kedepan tetapi ber-basic tradisi,” tuturnya.

Konsep “Tirta Yatra” perjalanan keliling ke kantong-kantong kebudayaan yang dilakukan Hangno, diantaranya untuk mengabarkan arti pentingnya kepemimpinan “Arjuna” yang sebetulnya kekayaan tradisi kita yang dilupakan, atau mereka belum tau. Merujuk lakon “Arjuna, Begawan Sucipta Wening” jadi pemimpin itu pemimpin dulu baru nglakoni atau nglakoni dulu baru jadi pemimpin? “Nglakoni lebih diutamakan terlebih dahulu untuk menjadi seorang pemimpin, mengingat kecenderungan sekarang yang terjadi, waton duwe duwit wani, padahal dalam proses pembentukan diri itu perlu laku-laku yang ketat, itulah nilai-nilai yang hilang dalam tradisi kepemimpinan kita," jelasnya.

(Kampus Akademi Kesenian Negeri Seni Budaya Yogyakarta, yang berlokasi di Jalan Parangtritis Sewon, Bantul)

Ada stereotype dikalangan masyarakat bahwa Arjuna itu “playboy”, “beristerikan” banyak, tanpa mengulik makna filosofi disebaliknya yang tak lain yakni, “banyak tanggungjawabnya”. Melalui presentasinya Hangno menemukan naskah-naskah bahwa Arjuna itu seorang Cakrawatin, gelar yang juga menjadi rujukan pemimpin di Jawa, suatu konsep ideal yang bisa disandang oleh setiap pemimpin. Pemimpin yang pro rakyat, Pemimpin yang tidak merusak bumi. Khasanah kepemimpinan dari tradisi Jawa. (Feature of Impessa.id by Antok Wesman)