JAFF Ke-16 Tayangkan 114 Judul Film, Di Empire XXI Yogyakarta, Hingga 4 Desember 2021
Impessa.id, Yogyakarta: Jogja-Netpac Asian Film Festival -JAFF Ke-16,2021 dengan tema “Tenacity” dihelat dalam berbagai ragam kegiatan secara hybrid, luring dan daring di beberapa lokasi di Yogyakarta, diantaranya Public Lecture, dan penayangan 114 judul film dengan 59 film pilihan di Empire XXI Jalan Laksda Adisucipto Yogyakarta, pada 27 November hingga 4 Desember 2021.
Garin Nugroho selaku Founder dari Festival menuturkan secara panjang lebar makna tema yang diangkat “Kegigihan Sinema Gerilya”; The Tenacity of Guerilla Cinema, istilah sinema gerilya muncul begitu saja dari Seno Gumira Ajidarma, kritikus film era tahun 1980-85, ketika saya masih menjadi mahasiswa film IKJ (Institut Kesenian Jakarta). Saat itu, mahasiswa IKJ aktif membuat film pendek serta melakukan kerja sinema ngamen, yakni berkeliling dengan membawa film-film mahasiswa dengan format 16 mm dan 8 mm. Salah satu yang harus mendapat catatan sendiri adalah film-film pendek karya Gatot Prakosa. Saya masih teringat, memutar dan mendiskusikan film di Jogja, di pinggir Kali Code, di tempat Romo Mangun yang menjadi rumah singgah anak jalanan. Diskusi cukup hanya dengan selembar tikar, bahkan mengingat listrik tidak mencukupi untuk proyektor, maka mencantol dari tiang listrik.
Bisa diduga, diskusi dengan Romo Mangun dan kawan-kawan menjadi sebuah ruang dialog yang mengasyikkan. Saya juga masih teringat, ketika awal mendirikan JAFF, berkantor di rumah yang tidak memiliki telepon. Alhasil, setiap selesai rapat seluruh team JAFF menghilang sebentar untuk ke warnet, mengakses segala sesuatunya berkaitan dengan pelaksanaan JAFF. Bahkan, sesungguhnya JAFF didirikan di saat gempa dan meletusnya gunung Merapi, sehingga Jogja menjadi kota dengan ruang publik yang nyaris mati. JAFF dijalankan dalam situasi keraguan membangun aktivitas di ruang publik di tengah bencana. Segalanya adalah soal kegigihan dalam kerja bergaya gerilya.
Jika kemudian kita menengok karya-karya terbaik film Indonesia yang mampu menembus sirkuit international, maka terbaca segalanya dijalankan dengan kegigihan serba bergerilya dalam situasi serba krisis. Simaklah film-film karya sineas dari Jogja dan berbagai daerah, mulai dari cara mereka mencari dana dan berproduksi hingga membangun jaringan. Di tengah Pandemi, JAFF 2001 terus dijalankan dengan cara-cara serba bergerilya serta situasi krisis.
Banyak pertanyaan, mengapa JAFF tidak membangun dirinya sebagai festival glamour? Saya selalu menjawab dengan canda: “JAFF didatangi oleh anak-anak muda penuh antusias, anak-anak muda yang tinggal di kost-kostan yang mengenakan baju santai kadang belum mandi atau mereka yang tengah mencari sesuatu yang bahkan mereka sendiri belum bisa menjawab. Namun JAFF juga didatangai pembuat film yang ingin bertemu dan berbagi dengan penonton muda yang serba ingin tahu, bukan untuk menghadiri sebuah pesta. Atau, programer festival international yang ingin berbagi program dengan anak-anak muda penuh antusias. Tentu saja, ini sebuah dunia yang jauh dari glamour.
Akan tetapi, jika ditanyakan, kebahagiaan dengan adanya JAFF? Jawaban saya sederhana: “Ia menggerakkan anak-anak muda yang gigih bergerilya meniti dirinya di dunia film, menggerakkan sebuah kota menjadi oasis kegigihan para gerilyawan film yang bekerja dengan cara masing-masing yang sering tak terbayangkan menggerakkan anak–anak muda dengan beragam akses informasi dunai film lokal dan internasional dengan terbuka “Jika kemudian, film-film baru Indonesia banyak premiere di JAFF sebagai salah satu tolok ukur kesuksesan.
Sesungguhnya, anak-anak muda pecinta JAFF tidaklah banyak orang-orang Jogja asli, melainkan anak-anak muda yang berkuliah atau beraktivitas di Jogja dan berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Bisa diduga, ketika mereka mencintai sebuah film, mereka akan menyebarluaskan dengan HP-nya ke berbagai wilayah Indonesia. Inilah para influencer gerilyawan yang gigih tanpa bayaran. Oleh karena itu, ketika JAFF edisi ke-16, mengangkat tema ‘Tenacity’ alias ‘kegigihan,’ saya mengucapkan kepada penyelenggara dan pecinta JAFF: “Selamat datang para tamu, para gerilyawan film, bergembira dan menciptalah serta tumbuhkan jaringan dalam kegigihan dengan keunikan cara bergerilya masing-masing.
Penghargaan bagi film terbaik dikategorikan kedalam GOLDEN HANOMAN Awards yakni Penghargaan untuk film Asia terbaik pertama melalui penjurian dalam program Main Competition. Kemudian SILVER HANOMAN Awards untuk film Asia terbaik kedua dari program Main Competition. Kedua kategori tersebut dengan tim Juri masing-masing, Lorna Tee, produser dan kurator film yang membagi waktunya di Asia dan Eropa. Ia pernah bekerja untuk Focus Films (Hong Kong), Variety (USA), Irresistible Films (Hong Kong/ Jepang), dan festival film seperti Berlinale dan CinemaAsia Film Festival. Ia mencetuskan Asian Film Awards yang pertama di tahun 2007. Ia adalah salah satu pendiri dan Kepala Manajemen Festival untuk International Film Festival & Awards Macao hingga 2020. Saat ini Lorna Tee menjadi Konsultan Program untuk Cinematheque Passion di Makau. Ia pernah diundang menjadi juri di berbagai festival film termasuk London, Tokyo, Semaine de la Critique Cannes, Sarajevo, Durban, dan Sydney.
Kemudian Thaiddhi, pembuat film, produser, dan Programmer Film. Ia menempuh pendidikan Pembuatan Film di FAMU di Republik Ceko selama 3 tahun dan membawa pulang gelar master jurusan Cinema and Digital Media. Dia ikut mendirikan Wathann Film Festival pada 2011 dan bekerja sebagai Programmer untuk festival tersebut. Pada tahun 2013 ia mendirikan Third Floor Film Production untuk mewadahi kegiatan produksi film pendek dan film dokumenter independent di Myanmar. Selanjutnya, Dr Bijukumar Damodaran, pembuat film yang memenangkan penghargaan nasional India tiga kali. Ia dianggap sebagai salah satu suara kontemporer terpenting dalam sinema India. Dr.Biju sudah membuat 12 film sejauh ini dan semua filmnya telah diputar di banyak festival film internasional dan memenangkan banyak penghargaan antara lain di Cannes, Montreal, Shanghai, Telluride, Kairo, Iran (Fajr), JOGJA – NETPAC Indonesia, Eurasia Almaty, Jeonju, Tallinn, Oporto, Dhaka, IFFK, dan IFFI. Ia pernah menjadi salah seorang anggota juri di India’s National Film Awards 2012 dan komite pemilihan Oscar India tahun 2015.
Penghargaan berikutnya NETPAC Awards, yang diberikan oleh Network for the Promotion of Asian Cinema (NETPAC) sebagai bentuk apresiasi terhadap karya sutradara Asia yang memberikan kontribusi sinematik yang dinilai penting bagi gerakan sinema baru Asia. Adapun para juri yakni, Chalida Uabumrungjit, tamatan pendidikan jurusan Film di Thammasat University dan Pengarsipan Film dari University of East Anglia, Inggris. Ia adalah salah satu anggota pendiri Thai Short Film and Video Festival yang menjabat sebagai Sutradara Festival sejak 1997. Dia pernah terlibat dalam pembuatan sejumlah film eksperimental dan dokumenter. Saat ini ia menjabat sebagai Direktur Film Archive Thailand. Selanjutnya, Dr Gulnara Abikeyeva, kritikus film dari Kazakhstan yang juga menulis beberapa buku tentang film dan proses perfilman. Buku keduanya, Cinema of Central Asia: 1990-2001 dianugerahi penghargaan “White Elephant” dari serikat kritikus film Rusia sebagai buku terbaik tentang sinema tahun itu yang diterbitkan di CIS. Ia adalah anggota dari FIPRESCI, NETPAC dan APSA film Academy. Pada tahun 2016 ia menerima penghargaan French L’Ordre des Arts et des Lettres.
Anggota tim juri lainnya yakni, Patrick Campos, Associate Professor di University of the Philippines Film Institute di mana dia baru-baru ini menjabat sebagai Direktur, Patrick F. Campos adalah seorang sarjana film, programmer, dan kritikus. Ia mengedit banyak jurnal edisi khusus, termasuk “Southeast Asian Horror Cinemas” untuk Plaridel, “The Politics of Religion in Southeast Asian Cinemas” untuk Situations, dan “Contemporary Philippine Cinema” untuk Art Archive. Ia pernah menyusun program untuk Guanajuato International Film Festival, Image Forum Tokyo, Minikino, dan Cinema Rehiyon, dan akan menyusun program untuk Tingin ASEAN Film Festival yang diselenggarakan setiap tahun di Manila.
Penghargaan berikutnya adalah BLENCONG Award, untuk film pendek Asia terbaik dari program Light of Asia, dengan tim juri yakni, Lee Chatametikool, editor, sutradara, dan post-produser film pemenang penghargaan. Dia telah mengedit lebih dari 30 film layar lebar dan film pendek untuk banyak sutradara terkemuka Asia Tenggara. Karyanya telah diputar di semua festival film besar termasuk Cannes, Venice, Berlin dan Sundance. Ia tiga kali memenangkan Best Editor di Asian Film Awards, pertama pada tahun 2007 dengan “Syndromes and a Century” arahan Apichatpong, tahun 2010 dengan film dari Malaysia yang berjudul “Karaoke”, dan pada tahun 2017 dengan “Apprentice” arahan Boo Joon Feng, sutradara dari Singapura. Saat ini ia memimpin White Light Post, rumah pasca produksi untuk pengeditan, colour grading dan finishing film panjang terkemuka di Thailand.
Anggota juri berikutnya, Elvert Bañares, pembuat film independen pemenang penghargaan, seniman multidisiplin dari Filipina, Produser Film dan Pendidik. Film-filmnya dipamerkan & diputar di lima benua, 30 negara dan lebih dari 75 festival internasional. Dia adalah Direktur Festival dan Programmer ASEAN Film Festival ke 1 & 2; Selama masa pandemi, ia telah memenangkan Best Screenplay di Cyber Shorts: AVR Film Festival (USA) dan Special Mention Award di One Reeler Film Competition (USA) untuk filmnya “Dreams Aren’t Made by the Wind” sementara film mikronya “Ang May Akda: Ikatlong Yugto” (Penulis: Bab Tiga) memenangkan Extreme Scream Award di Berlin Flash Film Festival 2021 dan Best in Category (Get To The Point) di Copenhagen WebFest 2021.
Selanjutnya, Há»Â Thanh Thảo dari Vietnam. Há»Â Thanh Thảo lahir pada tahun 1995 dan tinggal di Hanoi, pembuat film dokumenter pendek pertamanya saat berusia 14 tahun yang memenangkan Golden Lotus untuk film dokumenter pendek terbaik di Golden Lotus Bud (Vietnam). Ia adalah salah satu pembuat film muda yang belajar di The Center for Assistance and Development of Movie Talents. Ia juga mengikuti kelas penyutradaraan yang dibimbing oleh Tran Anh Hung di Autumn Meeting. Film fiksi pendek pertamanya, “Ephemera”, terpilih untuk diputar di Singapore International Film Festival (2017) dan diputar di berbagai acara sinema internasional.
Jadwal Tayangan Hari Rabu, 1 Desember 2021 di Empire XXI Yogyakarta:
Penghargaan berikutnya yakni, JAFF INDONESIAN SCREEN Award, untuk film panjang Indonesia dari para sutradara mapan serta talenta muda yang tengah naik daun–mereka yang menjadi masa depan sinema Indonesia. Film terpilih adalah karya dengan negara asal produksi Indonesia. Film-film tersebut berkompetisi dalam nominasi Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Penulis Naskah Terbaik, Pemeran Terbaik, dan Sinematografi Terbaik. Selaku tim juri masing-masing, Linda Gozali, produser film dari MAGMA Entertainment. Dia mengikuti jejak ayahnya, pendiri Garuda Film, Hendrick Gozali yang legendaris. Dedikasi Linda untuk mengembangkan proyek berbasis IP-nya mendapat pengakuan dari Motion Picture Association (MPA) karena Linda adalah penerima Penghargaan 2019 Asia-Pacific Copyright Educator (ACE) Award yang dianugerahkan di acara CineAsia. Filmnya berjudul “Sobat Ambyar (“The Heartbreak Club”) pada Januari 2021, berhasil menjadi film Indonesia pertama yang dirilis di seluruh dunia di Netflix. Dan sebelum tahun 2020 berakhir, memulai film “Qodrat”, sebagai generasi baru film fantasi supernatural Indonesia, sambil mempersiapkan produksi berikutnya: film superhero wanita Indonesia “Srikandi” sebagai awal untuk waralaba yang lebih besar.
Kemudian ada Faozan Rizal, I.C.S, akrab disapa Pao, sinematografer kelahiran Tegal tahun 1973, ia mendapatkan sejumlah nominasi Piala Citra sebagai Penata Sinematografi Terbaik, melalui film Salawaku (2016). Berikutnya, ada Verdi Solaiman, lulusan Bachelor of Fine Arts, di Chicago, Amerika Serikat. Verdi Solaiman telah terlibat lebih dari 60 judul film nasional maupun internasional seperti: “The Raid”, “Message Man”, “Java Heat”, “Foxtrot Six”, “Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur”, “HBO: Halfworlds” dan “27 Steps of May”. Yang mengantarnya mengantungi lebih dari 10 nominasi dari berbagai ajang penghargaan termasuk FFI, FFB, IMMA, Piala Maya dan ASEAN Int’l Film Festival Awards. Verdi merupakan Wakil Ketua dari asosiasi seni peran Rumah Aktor Indonesia (RAI) yang memulai “5 Hari Kelas Akting Online Intensif” setiap bulan selama setahun terakhir melatih lebih dari 100 aktor-aktor muda.
Jadwal Penayangan Hari Kamis, 2 Desember 2021 di Empire XXI Yogyakarta:
Anggota tim juri selanjutnya Agung Sentausa, lulusan arsitektur yang lebih dari 20 tahun Agung terlibat dalam produksi film layar lebar, video musik, iklan, dokumenter, lokakarya pembuatan film. Film debutnya sebagai sutradara: Garasi, diputar di banyak festival film internasional. Road to Ied, sebuah cerita untuk film, ditulis olehnya, memenangkan pitching dengan undangan; dibeli dan direncanakan diproduksi oleh 21st Century Fox. Agung menjadi pengurus Badan Perfilman Indonesia sebagai Ketua Fasilitasi Pembiayaan Film dan menjadi Co-Founder dari Program Akatara: Film Business Forum dan Project Market. Sekarang Agung sedang merintis usaha Kayun Films dan Salaka.Credu sebagai entitas yang mengakselerasi ekosistem film di Indonesia. Kemudian ada Perdana Kartawiyudha, dosen tetap di Program Studi Film, Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Aktif membuat film dan direktur dari Serunya, sebuah perusahaan film dan agensi penulisan skenario yang berdiri sejak tahun 2007. Sejak tahun 2013, Perdana menjadi anggota dari asosiasi Penulis Indonesia untuk Layar Lebar (PILAR). (Tim Humas JAFF 16/Antok Wesman-Impessa.id)