Festival Ahli Gambar Para Sungging Di Galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta, Hingga 5 Desember 2021
Impessa.id, Yogyakarta: Merayakan Hari Wayang yang tepatnya pada 7 November, memang seyogyanya tak melulu hanya di tanggal 7 November saja, melainkan sepanjang waktu mengingat didalam wayang itu tedapat banyak makna dan ajaran akhlak yang memang harus terus-menerus disebar-luaskan ke sebanyak mungkin warga masyarakat.
Terkait dengan hal itu, beberapa tokoh seniman Jogja yang sangat perduli dengan dunia perwayangan, baik itu wayang klasik maupun wayang kontemporer, diantaranya Nanang Garuda, Hangno dan Nano Warsono, bersepakat menggagas festival wayang, terjadilah pertemuan-pertemuan untuk mengeksekusi pameran yang ternyata mendapat dukungan dari banyak pihak dan diberi nama “Festival Ahli Gambar #2 Para Sungging”.
foto:Impessa.id
“Festival Ahli Gambar #2 Para Sungging” diikuti 48 seniman, berlangsung di Galeri RJ Katamsi Kampus Institut Seni Indonesia -ISI Yogyakarta, mulai 25 November hingga 5 Desember 2021. Terbuka untuk publik mulai pukul 10 pagi sampai jam 4 sore, dengan Prokes secara ketat.
Dalam sambutan pembukaan Wakil Bupati Bantul Joko B Purnomo menyatakan Pemkab Bantul memiliki komitmen bahwa kebudayaan itu menjadi alat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di kabupaten Bantul. Visi-Misi Bantul Projotamansari Sejahtera Demokratis dan Agamis, hari ini ditambah satu poin sehingga menjadi Bantul Projotamansari, Berbudaya, Sejahtera, Demokratis dan Agamis.
foto:Impessa.id
Menurut Joko B Purnomo, kebudayaan itu menjadi pilar yang bisa menyatukan bangsa. “Komitmen kami terkait dengan budaya terutama wayang, karena di Bantul terdapat museum Wayang Beber yang usianya sudah sangat tua berpuluh-puluh tahun, di wilayah Bambanglipuro, buk astiap hari. Kami sudah melakukan edukasi termasuk pendampingan dan memfasilitasinya,” ungkapnya.
Pengenalan wayang dimulai dari pendidikan paling dasar, atau Pendidikan Anak Usia Dini -PAUD. “Kami sudah mencoba membuat Pilot Project, di tujuh sekolah PAUD di Bantul, kami fasilitasi, secara minimalis, Kelir kecil, wayangnya kecil-kecil, gamelannya sederhana, kemudian kami ajarkan metodologi tentang pengenalan wayang. Disitu pelajaran yang dimasukkan selain Tata Nilai Budaya Perwayangan, juga wayang ini kami gunakan sebagai media untuk memperkenalkan Pancasila, Undang Undang Dasar, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Alhamdulillah telah berjalan dengan baik,” aku Wakil Bupati Joko B Purnomo.
foto:Impessa.id
Foto:Impessa.id
Dijelaskan, konsekuensi dari PemKab adalah memberikan support anggarannya, Di tahun 2022, kami distribusikan bantuan hibah kepada 933 Pedukuhan se Kabupaten Bantul masing-masing sebesar 50-juta rupiah, Bantul dengan luasan area 508,1 Km2, memiliki 17 Kecamatan, 75 Kelurahan dan 933 Pedukuhan. Konsentrasi dana tersebut adalah dalam bidang Pendidikan salah satunya PAUD yang menjadi prioritas dan harus membeli peralatan salah satunya adalah Wayang.
Di Jaman Wali, wayang digunakan untuk syiar keagamaan. Ketika orang itu tidak mau datang ke tempat ibadah, maka didepan tempat ibadah digelar wayang, kemudian orang datang berduyun-duyun melihat wayang, oleh para Wali diberikan pelajaran dan bisa masuk ketempat ibadah. Metodologi itu kami rangkum menjadi sebuah formula yang harapannya di Bantul ini akan mencetak anak Bantul yang cerdas, berakhlak mulia, berkepribadian Indonesia, dan mengerti akan budaya.
Foto:Impessa.id
Foto:Impessa.id
“Kami atas nama PemKab Bantul memberi apresiasi kepada panitia yang menjadikan suatu kebanggaan buat kami bahwa di Bantul punya potensi yang sangat luar biasa. Acara ini sangat bermanfaat dan menjadi salah satu asset penting,” aku Joko B Purnomo yang membuka pintu sanggarnya di kawasan Pajangan setiap saat untuk berdialog dengan seniman wayang.
Ketika dikonfirmasi Impessa.id, terkait prospek kedepan wayang kulit gagrak Yogyakarta, seniman wayang kontemporer yang popular disebut Nanang Garuda tetap optomis kedepannya wayang kulit prospeknya cerah asalkan semua pihak peduli.
Foto:Impessa.id
Foto:Impessa.id
“Jangan bicara soal wayang hanya di Hari Wayang saja, membahas wayang ya sehari-hari karena didalamnya ada pengrajin yang tidak bisa meregenerasi dengan sukses terus dari tahun ke tahun wayang semakin terabaikan, karena banyak media lain yang lebih dominan, tapi jangan lupa film Star Trex 2017, ada wayang kulit Gatotkaca Gagrak Yogyakarta menjadi hiasan interior pesawat luar angkasa Discovery milik Star Trex. Itu bikin orang Indonesia terbelalak, tetapi titik, taka da kelanjutannya, kenapa? kita gak malu dengan itu?” ungkap Nanang Garuda.
“Orang Holywood bikin Star Trex yang luasannya sudah antar-Galaxy, interiornya ada Gatotkaca gagrak Jogja. Njut kita mung heboh, itu kebanggaannya ngangkat gak ke pengrajin? Nggak,” sergahnya.
Foto:Impessa.id
Foto:Impessa.id
“Kepengin saya tidak hanya pameran visual tetapi nanti ada pertunjukan, kalau bisa wayang yang dipamerkan dimainkan, habis itu dilelang, jadi pembeli kolektornya punya peristiwa yang penting ketika memiliki karakter Gatotkaca misalnya. Ini aku nonton mergo dimainke dhalang kae, terus lelang. Kita kasih videonya, dan dokumentasi pertunjukan waktu serah terima menang lelang. Itu akan hidup dan prestise. Pengrajin tidak hanya sebatas nunggu order,” imbuh Nanang lebih lanjut.
Menurutnya, dipamerkan, dikuratorial, dikurasi detail-detail tatah sunggingnya, baru kita bisa mementaskan dengan Dhalang siapa, itung-itungane cetho, ini dibeli dengan harga sekian, diatas harga wajar kalau dia sebagai souvenir, kerena ada peristiwa penting disini, ada sertifikat, jadi kayak lukisan. Jangka panjangnya regenerasi akan muncul karena ada profesi.
Foto:Impessa.id
Foto:Impessa.id
Berkaitan dengan prospek wayang kulit Gagrak Jogja, Nano Warsono yang kini menjabat sebagai Direktur Galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta kepada Impessa.id menyampaikan pendapatnya;
“Prospek wayang kedepan tentunya sangat besar asalkan kita bisa menggali lebih dalam dan meng-explore, kemudian bisa meng-kreasi ulang wayang itu bukan hanya sebagai kebudayaan masa lalu tetapi menjadi kebudayaan masa kini juga. Kedepan wayang justru modalitas yang cukup kuat bagi Indonesia untuk menghasilkan karya-karya yang tentu saja mempunyai identitas ke-Indonesia-an dan ini membutuhkan kerja, bukan hanya penata sungging tetapi juga kerja kreatif para seniman, kemudian disainer, arsitektur dan semuanya, jadi sebenarnya kedepannya menjadi bagian dari ekosistem seni wayang yang terkait erat dengan masyarakat pendukungnya,” ungkap Nano Warsono.
Foto:Impessa.id
Foto:Impessa.id
Dikatakan, di event kali ini memang belum banyak di-eksplorasi, masih konservasi saja, kedepannya mau tidak mau harus melakukan banyak inovasi-inovasi baru termasuk misalnya yang paling aktual ya menjadi alih media, menjadi animasi, menjadi film, menjadi teater dsb. masih aktual untuk terus dikembangkan dan sumbernya tidak akan habis.
“Meskipun masyarakat pendukung para penatah sungging ini semakin sedikit, dengan semakin majunya seni wayang atau seni yang berbasiskan pada pengembangan wayang saya yakin para penatah sungging tradisional ini akan terangkat lagi, dan antusiasme para peneliti dan studi kembali terhadap nilai-nilai wayang maupun secara teknis pembuatan wayang akan bisa muncul kembali, jadi itu nanti akhirnya ke institusi pendidikan, peran pemerintah dan juga peran seniman,” ujar Nano Warsono.
Foto:Impessa.id
Foto:Impessa.id
Membahas tentang Ekosistem Wayang, Nano Warsono lebih lanjut menjelaskan;
Wayang bukan sekedar dimainkan, ketika selesai dimainkan wayang tetap sebagai sebuah karya seni yang patut diapresiasi. Kalau selama ini peran dhalang itu kecil dalam mempromosikan para penyunggingnya atau para pembuat wayangnya, kedepannya yang kita harapkan memang seperti itu, setelah selesai dilelang atau dijual, nilai tukarnya bisa menjadi lebih mahal ketika misalnya sudah pernah dimainkan dhalang terkenal.
Ini yang kita harapkan ekosistem itu, sinergi antara pemain wayangnya, pembuat wayangnya, kemudian organizer-nya juga, disana bisa menopang secara ekonomi. Jadi bukan hanya sebagai seni yang dikonservasi, tetapi seni yang bisa menghidupkan secara ekonomi juga untuk masyarakatnya dan itu justru peran-peran strategis orang terkenal kayak dhalang dan artis, pejabat, dan seniman itu juga besar andilnya.
Foto:Impessa.id
Foto:Impessa.id
Contohnya, Wayang Sodo dari Gunung Kidul, sudah hidup disana tanpa dukungan atau subsidi dari negara, kemudian sudah bisa menghidupi dan mengembangkan, itu sebagai konteks wayang lokal, karena bercerita juga tentang Sejarah Wonosari. Itu kan penting juga sebagai asset daerah, sebagai asset potensi pariwisata dan itu bisa dinarasikan, dan di dukung.
Salah satu karya unik yang dipamerkan berupa Wayang Kotak kreasi seniman wayang Hangno Hartono, berikut penjelasannya kepada Impessa.id;
Foto:Impessa.id
Foto:Impessa.id
“Saya mau membikin genre wayang bentuk baru di dunia wayang, kalau yang klasik setiap orang sudah tahu, selain itu ada Wayang Beber, berupa lembaran yang dibeber berupa gulungan. Saya konsepnya seperti Wayang Beber tapi bentuknya kotak. Ini juga pernah saya mainkan berdurasi sekitar 45 menit-an, iringan musik bebas, narasinya saya bercerita tentang Buto Angkoro, sebetulnya trah ksatria, tetapi karena lingkungan, dia menjadi bersifat Buto, jadi sifat ke-Buto-an itu yang membentuk adalah lingkungannya. Walaupun di aitu ksatria tetapi memounyai sifat ke-angkaramurka-an. Dalam lakon ini akhirnya saya namakan Satrio Kuning, yang sadar kembali akan sifat ke-Ksatria-annya Kembali,” jelas Hangno.
Foto:Impessa.id
Foto:Impessa.id
Sementara itu, Ardian Kresna menampilkan kreasinya bernama Wayang Sontoloyo, berikut pengakuannya kepada Impessa.id; “Wayang Sontoloyo ini sebenarnya wayang kreasi, nama Sontoloyo saya ambil sebagai salah satu tokoh dalam cerita yang sedang saya bangun itu sebagai seorang Punokawan. Sontoloyo dan Sarwono. Itu memang saya ambil dari cerita Panji gaya Pesisiran yang saya kembangkan dalam wayang tiga dimensi tapi dalam bentuk dua dimensi, dalam bentuk wayang kulit dan nantinya dipentaskan dengan menggunakan Bahasa Indonesia dibuka dengan Dhalang menari dulu dan ditutup dengan Dhalang menari lagi memakai topeng Panji Kelana. Tetapi ceritanya bukan lagi ke Wayang Purwo lagi tetapi ceritanya tentang sejarah, bisa Mataram, Majapahit ataupun kisah-kisah klasik, berdurasi 2-3 jam. Pegembangannya diiringi dengan Suluk-an, klasik juga tapi terjemahannya dalam bentuk bahasa yang orang tahu. Kaena sulukan-sulukan itu memakai Bahasa Kawi, orang gak ngerti. Untuk sementara ini iringannya masih diambil dari MP3. Edukasinya biar orang suka wayang,” ungkap Ardian Kresna.
Foto:Impessa.id
Slah satu pelukis wayang yang ditemui Impessa.id yakni Bambang Nuryanto dengan karya acrylic diatas kanvas berjudul “Baru Klinthing”. “Saya mengambil cerita tentang legenda yang ada di Bantul, karena tokoh Baru Klinthing itu berangkat dari cerita Anak Takon Bopo, anak yang mencari bapaknya, yang akhirnya harus mengelilingi Gunung Merapi yang ada di Sleman, sehingga pada saat ketemu bapaknya masih belum mengakui, masih curiga dan akhirnya syarat dilakukan bagaimana kamu bisa menjadi anak saya kamu harus punya syarat yaitu melingkari gunung ini, nah, dicoba untuk melingkari kurang sedikit sekali akhirnya lidahnya dikeluarkan, dan sang bapak memotong lidah tersebut, dan lidah itu sekarang menjadi pusaka Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat,” ujar Bambang Nuryanto.
Foto:Impessa.id
Sedangkan Suranto Ipong memajang lukisan wayangnya berjudul “Arjuno Wiwoho” yang menceritakan Arjuno sebagai utusan para Dewa untuk mengalahkan raksasa yang mengamuk di Kayangan terus nanti setelah menang dapat Bidadari bernama Dewi Suprobo. Disini sang tokoh sedang bertapa di Gunung Indrokilo, mendapat godaan bermacam-macam, ada raksasa, ada putri dll, Arjuno lama bertapa tanpa baju rambutnya panjang terurai, karena begitu lamanya tak bergerak rambutnya sampai dijadikan sarang burung, hingga dia mendapatkan pusaka yang digunakan untuk mengalahkan raksasa yang mengamuk di Kayangan.
Banyak ragam karya-karya menarik berkaitan dengan dunia pewayangan yang digelar di ruang pamer galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta hingga 5 Desember 2021. Terlalu sayang untuk dilewatkan! (Feature of Impessa.id by Antok Wesman)