Event

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Berharap Seluruh Peserta Konggres Aksara Jawa Menjadi Pengguna Aktif

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Berharap Seluruh Peserta Konggres Aksara Jawa Menjadi Pengguna Aktif

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Berharap Seluruh Peserta Konggres Aksara Jawa Menjadi Pengguna Aktif

Impessa.id, Yogyakarta: Dalam sambutan pembukaan konggres Aksara Jawa Pertama di Hotel Grand Mercure Yogyakarta, Senin (22/03/2021), Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Hamengku Buwono X meminta kepada seluruh peserta konggres agar Bahasa dan Aksara Jawa tetap hidup, karena dihidupi oleh penuturnya yang bangkit kembali dari tidur panjangnya, dan menjadi pengguna aktif.

Gubernur DIY menuturkan, “Pada Konggres Bahasa Jawa Ke-3 di Yogyakarta tahun 2001, saya menengarai bahwa bahasa  Jawa bagaikan “kerakap tumbuh di atas batu”. Oleh sebab itu, Kongres Aksara Jawa Pertama ini diharapkan menaikkan minat baca-tulis Aksara Jawa. Untuk itu, Digitalisasi Aksara Jawa telah dilakukan selebrasi di Yogyakarta pada 5 Desember 2020,” ujarnya.

“Sebelumnya pada 2013 dan 2014, diluncurkan Aplikasi Baca-Tulis Aksara Jawa Versi 1.0 dan Versi 2.0. Sampai dengan akhir tahun 2020, Aplikasi tersebut telah diunduh lebih dari 10.000-an peminat. Selain wajib menuliskan aksara Jawa untuk nama setiap kantor, juga penggunaan busana dan bahasa Jawa di kantor-kantor Pemeritahan setiap Kemis-Paing, sekaligus menandai peringatan haul Pahlawan Nasional Sri Sultan Hamengku Buwono IX,” ungkapnya.

Dikatakan, Barbara Grimes (2001) menengarai, fenomena  kepunahan  bahasa daerah terjadi, oleh sebab-sebab, penurunan drastis jumlah penutur aktif, ranah penggunaannya semakin berkurang, pengabaian bahasa ibu oleh penutur usia muda, usaha memelihara identitas etnik tanpa bahasa ibu, generasi  terakhir  tidak  mahir  berbahasa  ibu, dan semakin punahnya dialek-dialek satu bahasa oleh keterancaman bahasa indo dan bahasa gaul.

HB X melanjutkan, kalau pun tidak punah sepenuhnya, karena masih adanya pemertahanan bahasa (langague maintenance), atau terjadi pergeseran  bahasa  (language  shift) dan perubahan  bahasa (language  change) ke bahasa Nasional.

“Ibrahim (2008) menggunakan hipotesa sosiolinguistik menandai, bahwa semakin muda usia penutur yang tidak lagi mahir menggunakan bahasa ibu, maka semakin  cepat mengalami kepunahannya. Jika bahasa daerah  hanya  digunakan  oleh  penutur  berusia  25  tahun  ke  atas  dan  usia yang lebih muda tidak menggunakannya, jangan disesali jika 75 tahun ke depan atau tiga generasi, bahasa itu akan terancam punah. Dan seterusnya, dengan penghitungan umur satu generasi selama 25 tahun,” imbuh HB X lebih lanjut.

Data UNESCO Atlas of Worlds Languages menyebutkan ada 2.500 bahasa di dunia, termasuk bahasa-bahasa daerah di Indonesia, terancam punah. Dari jumlah itu, lebih 570 bahasa statusnya sangat terancam punah dan lebih 230 bahasa telah punah sejak 1950. Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) menyebutkan, dari 718 bahasa daerah di Indonesia, 169 terancam punah karena jumlah penuturnya kurang dari 500 orang. Agar bisa bertahan, bahasa harus digunakan oleh minimal 10 ribu orang untuk memastikan transmisi antargenerasi.

Hingga saat ini, baru ada tujuh yang terdaftar di Unicode, antara lain aksara Jawa (Hânâcârâkâ) dan aksara Arab Pegon yang banyak terdapat dalam manuskrip, berupa Sêrat, Babad dan Kidung yang tersimpan di Museum Widyâ Budâyâ, Kraton. Dalam hal ini, PANDI telah bekerjasama dengan Kraton Yogyakarta dan PB NU. Faktanya, kurang masih lima persen bahasa daerah di dunia bisa diakses secara online.

HB X menambahkan, “Grimes (2002) mengutarakan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa, yaitu oleh sebab, orangtua memaksa anak-anaknya untuk mempelajari bahasa yang dianggap bergengsi, misalnya bahasa Inggris, penggunaan  bahasa  Indonesia sebagai  bahasa pengantar  di sekolah-sekolah, kebijakan  bahasa  nasional  yang  cenderung  menyebabkan  sebagian  penutur memilih menggunakannya sebagai bahasa ibu, serta industrialisasi, perubahan ekonomi, dan pemerintahan”.

“Kita seharusnya mendorong penggunaan bahasa daerah agar tetap hidup, terutama di lingkungan keluarga. Guna mendukung program UNESCO tentang mother language, memang peran orangtua teramat sentral sebagai penuturnya untuk diwariskan kepada anak-turunnya. Namun, tidak semua bahasa daerah memiliki potensi sama,” papar Gubernur DIY.

HB X mengutip Michael Krauss (2000) bahwa ketahanan bahasa daerah selain ditentukan oleh jumlah penutur, juga faktor tradisi tulis. Sebagai sarana pendukung kebudayaan daerah, penting peranan bahasa daerah dalam pengajaran, dimana siswa diberikan pilihan untuk belajar lintas bahasa dari etnis-etnis Nusantara, selain pilihan bahasa asing. Sebab belajar bahasa daerah, berarti juga belajar mengenal budaya etnis penuturnya.

“Dengan cara demikian, kita lebih mudah saling memahami budaya etnis-etnis lain, sehingga lebih memperkokoh identitas bangsa Indonesia. Agar ada ketahanan bahasa, siswa dianjurkan belajar bahasa etnis lain dulu sebelum mengenal bahasa asing,” jelas HB X.

Menurut HB X, di Era Digital ini, agar aksara daerah dianggap eksis, harus menggunakan media digital, dengan dukungan penutur yang memadai. Seperti halnya aksara Mesir kuna, hierogliph, sebenarnya aksara Jawa tidak tertinggal jauh dalam memasuki era digital, karena 26 tahun yang lalu telah terdaftar di Unicode.

HB X menilai, inisiatif PANDI untuk “Merajutindonesia.id” dalam bentuk penetapan domain name tersendiri untuk aksara-aksara Nusantara patut didukung. Dengan begitu, bisa dihadirkan domain name yang mewakili Aksara Jawa. Syaratnya, setiap domain name itu harus didaftarkan ke ICANN, sebagai pengelola domain name dunia. ICANN menyetujui jika aksara itu benar-benar hidup dan punya pendukung budaya yang aktif. ICANN akan menilai adanya website berbasis Aksara Jawa yang hidup.

HB X berpesan, agar bahasa dan Aksara Jawa tetap hidup, karena dihidupi oleh penuturnya yang bangkit kembali dari tidur panjangnya, dan menjadikannya pengguna aktif, seraya mengucapkan: “Selamat ber-Kongres, dan semoga rekomendasinya mampu menggugah kebangkitan dan menjadi wahana menghidupkan Bahasa dan Aksara Jawa dalam keseharian”.

Peserta Kongres Aksara Jawa I Yogyakarta melibatkan sekitar 1000 lebih peserta mencakup; peserta luring 110 orang, terdiri dari akademisi, praktisi, budayawan, birokrat, dan masyarakat umum. Kemudian peserta daring 800 peserta, terbagi menjadi, 200 peserta di komisi I, 200 peserta di komisi II, 200 peserta di komisi III dan 200 peserta di komisi IV. Persebaran domisili peserta berasal dari DIY, Jateng, Jatim, Jabar, Banten, DKI, Bali, Sumatra, Kalimantan, dan Hongkong.

Kongres Aksara Jawa -KAJ I yang berlangsung lima hari, 22-26 Maret 2021, di Hotel Grand Mercure Yogyakarta, diawali dengan sambutan-sambutan, masing-masing oleh Wakil UNESCO (daring), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (daring), Sambutan Gubernur Jawa Tengah (daring), Sambutan Gubernur Jawa Timur (daring) dan Sambutan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X dilanjutkan dengan Talkshow menghadirkan narasumber KPH Notonegoro (Penggagas Kongres Aksara Jawa I), Prof. Dr Yudho Giri Sucahyo (Ketua PANDI), dan Badan Standardisasi Nasional, dengan tema “Digitalisasi Aksara Jawa”. (Humas Pemda DIY/Antok Wesman-Impessa.id)