Ekonomi-Bisnis

Busana Premium, Batik Tulis Dipadu Bordir Tangan Kreasi Genthong Uma, Di Pendopo Agung Royal Ambarrukmo Yogyakarta.

Busana Premium, Batik Tulis Dipadu Bordir Tangan Kreasi Genthong Uma, Di Pendopo Agung Royal Ambarrukmo Yogyakarta.

Busana Premium, Batik Tulis Dipadu Bordir Tangan Kreasi Genthong Uma, Di Pendopo Agung Royal Ambarrukmo Yogyakarta.

Impessa.id, Yogyakarta : Dalam sambutan pembukaan Simposium Pertekstilan Tradisional Masyarakat ASEAN Di Yogyakarta, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X menyebutkan bahwa, “Kain dan tekstil merupakan kebutuhan hakiki manusia. Setia bersama kita selama 7 x 24 jam, kain juga menyiratkan jati diri. You are What You Wear, Anda adalah apa yang anda kenakan. Dalam filosofi Jawa, filosofi berbusana tertuang dalam sesanti Ajining Raga Ana Ing Busana. Hal ini menyiratkan betapa wastra, sebagai bahan utama dari busana, juga memiliki peran penting dalam menunjukkan jati diri kita,” ungkap Sultan HB X.

Lebih lanjut Sultan HB X menambahkan, “Sebagai warisan budaya sekaligus produk peradaban, wastra tradisional tentu memiliki filosofi-filosofi luhur yang tervisualisasi dalam corak, keragaman perpaduan warna dan pada proses pembuatannya. Keragaman inilah yang menjadikan wastra tradisional menjadi menarik dan harus dilestarikan keberadaannya. Perlu kita syukuri, salah satu wastra tradisional Indonesia, yaitu batik, telah ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda oleh UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009”.

“Saya mengapresiasi upaya tim Traditional Textiles Art Society of South East Asia, karena telah mengemas rangkaian acara dengan berbagai kegiatan yang memiliki esensi edukasi, kreatifitas, dan rekreatif. Kehadiran narasumber dari Asia, Amerika dan Eropa menjadi ajang knowledge transfer dalam dunia pertekstilan tradisional. Kompetisi desain wastra dan fotografi melahirkan karya-karya indah, penuh filosofi dan bernilai ekonomis, tentu dengan harapan adanya dampak positif bagi para perajin tekstil tradisional, agar tetap bertahan dalam gempita ekonomi global. Rekreatif, karena penyelenggaraan Fashion On the Street mewakili konsep edutainment tekstil tradisional bagi masyarakat DIY,” imbuh Sultan HB X.

Sejalan dengan tema Simposium Internasional yaitu “Merangkul Perubahan, Menghormati Tradisi”, mengingatkan bahwa tekstil tradisional adalah jantung dari budaya Asia Tenggara, perwujudan fisik dari kepercayaan, tradisi, estetika dan kemampuan artistik setiap masyarakat. Salah satu peserta pameran yang digelar di Pendopo Agung Royal Ambarrukmo yakni Gerai Batik Genthong Uma dari Jakarta yang menampilkan busana batik premium, batik tulis dipadu bordir tangan, hand-made, dan batik prada, ke-emasan.

“Gentong itu tempat untuk menampung air, Uma itu dari Ulama, jadi, Genthong Uma itu di-ibaratkan sebagai tempat wudhu para ulama,” tutur Adi Mende, selaku Manager ketika dikonfirmasi Impessa.id, disaat peserta simposium sedang Ishoma (Istirahat-Sholat-Makan). “Disini kita mengutamakan batik-bordir, yang pernah booming, namun akhir-akhir ini mulai merosot, ini kan khas-nya Indonesia, maka kita ambil tindakan, kenapa tidak, yang sudah mau hilang ini kita angkat lagi, supaya tidak ada yang hilang. Kita bertaruh dengan kreasi kita, kita kombinasikan dengan apa yang dikehendaki orang sekarang, back to nature, yang tidak mau pakai mesin semua, makanya bordir kita bordir manual, hand-made, hasilnya halus jika disentuh,” ungkap Adi Mende.

Batik Genthong Uma yang eksis memasuki tahun ke-empat, mempunyai ciri khas tersendiri yaitu Batik-Tenun-Bordir. “Jujur, produk Genthong Uma dipakai oleh Sri Mulyani (Menteri Keuangan), Ibu Muluk (mantan Menteri Kesehatan) juga Ketua DPR RI, Deputy Bank Indonesia, ada banyak yang pakai produk Genthong Uma, karena kualitas premium tetap kita jaga, mulai dari kain batik tulis-nya, bordiran-nya, motif-nya hingga proses pewarnaan-nya,” jelas Adi.

“Untuk market-share batik tulis, bordir tangan, Genthong Uma, kita punya harga mulai dari 900-ribu sampai 2.5 juta rupiah, jadi untuk saat ini, kelas mid-up sasaran kita,” imbuh Adi Mende lebih lanjut. Merespon perhelatan Simposium Tekstil Tradisional Masyarakat ASEAN di Yogyakarta yang diikuti banyak pakar pertekstilan dunia, Adi menegaskan bahwa, “Kita jangan takut untuk berkompetisi, malahan justru kita mengangkat kembali warisan budaya bangsa yang hampir hilang karena terlupakan seperti bordir tangan ini,” tutupnya. (Antok Wesman-Impessa.id)