Event

Tiga Anak Rendra Tampil Di Sastra Bulan Purnama Tembi, Rabu Malam, 16 Oktober 2019

Tiga Anak Rendra Tampil Di Sastra Bulan Purnama Tembi, Rabu Malam, 16 Oktober 2019

Tiga Anak Rendra Tampil di Sastra Bulan Purnama Tembi, Rabu Malam, 16 Oktober 2019

Impessa.id, Yogyakarta : Tiga Anak Rendra, yang tinggal di kota berbeda tampil di Sastra Bulan Purnama 97, Rabu, 16 Oktober 2019, pukul 19.30WIB, di Amphytheater Tembi Rumah Budaya, jalan Parangtritis Km 8,5, Tembi, Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta, membacakan puisi-puisi karya bapaknya. Ketiganya ialah,  Theodorys Setya Nugroho, yang lebih dikenal dengan nama Tedy Rendra, tinggal di Bali, kemudian Clara Sinta, tinggal di Jakarta dan Rachel Saraswati, tinggal di Yogya. Anak-anak Rendra lainnya belum bisa ikut tampil membaca puisi.

“Kebetulan anak saya yang tinggal di Inggris pulang, dan sekalian saya minta membaca puisi papa yang sudah diterjemahkan, Rowan Lintang Raina Mataram nama anak saya” ujar Tedy Rendra.

Tajuk dari Sastra Bulan Purnama 97, ‘Menapaki Jejak Rendra: Anak-Anak Rendra Membaca Puisi Bapaknya”. Selain ketiga anak Rendra, Landung Simatupang, seorang aktor handal dari Yogya ikut membacakan puisi Rendra, dan lagu puisi karya Rendra dinyanyikan oleh Untung Basuki dari Yogya serta Tatyana dan Umar Muslim dari Jakarta.

Untung Basuki membawakan tiga lagu puisi Rendra, yang sudah lama digarapnya, dan seringkali dipentasakan di acara sastra. Ketiga lagu itu berjudul ‘Sebatang Lisong’, ‘Maju Perang’ dan ‘Mengolah Kesadaran’. Sedang Tatyana dan Umar Muslim membawakan lagu puisi Rendra, masing-masing berjudul: ‘Serenda Hijau’, ‘Kangen’, ‘Burung Hitam’, ‘Ibunda (Engkau adalah bumi’, ‘Kali Hitam’, ‘Stanza’ dan ‘Kenangan dan Kesepian’.

N.Nuranto, Ketua Yayasan Rumah Budaya Tembi sekaligus pemilik Tembi Rumah Budaya, melihat Rendra merupakan aset, bukan saja aset bagi keluarga, tetapi juga bagi bangsa. Karya-karya Rendra banyak diterbitkan, dan terus diterbitkan, dan karena itu perlu dikelola.

“Saya kira anak-anak Rendra, secara bersama perlu mengelola aset-aset Rendra, bukan hanya apa yang ditinggalkan, tetapi nama besar Rendra itu sendiri adalah aset. Mengelola untuk mengembangkan kebudayaan di Indonesia” ujar Nuranto.

Tedy, selaku anak tertua dari Rendra, dan memang sejak kecil sudah ikut bergulat kesenian melalui Bengkel Teater menyebutkan, bahwa “Menemani papa menjalani titah untuk mati adalah judul panggilan kesenimanan Bengkel Teater yang membuatku datang ke Jakarta waktu itu.

“Ternyata itu adalah pelajaran terindah tentang sikap seorang abdi dalam membela cintanya pada kedaulatan bangsa ciptaan tuannya, yang terabaikan oleh kepentingan-kepentingan, penghisapan dan penjarahan hak-hak bangsa kekasih Tuhan. Bangsa kekasih Tuhan yang beliau maksud itu adalah bangsa yang beliau tengarai selalu digoda dan diperdaya pengecut-pengecut, pemabuk kuasa” ujar Tedy.

Bagi Clara Sinta, Rendra adalah seorang pujangga, buah pikirannya yang dituliskan menembus waktu kedepan dengan kata-kata padat, luas dan sarat makna serta relevan sepanjang masa. “Rendra, bagi saya lengkap dan penuh warna. Ia seorang guru laku hidup” ujar Clara Sinta.

Ons Untoro, Koordinator Sastra Bulan Purnama mengatakan, karya-karya Rendra sudah banyak diterbitkan, bahkan diterbitkan ulang oleh penerbit yang berbeda-beda, mungkin anak-anaknya tidak memiliki koleksi lengkap karya-karya Rendra yang sudah diterbitkan.

“Tedy sendiri tidak memiliki buku puisi bapaknya, sehingga perlu dicarikan buku puisi agar dia bisa memilih puisi mana yang dia baca. Mungkin Auk, panggilan Clara Sinta memiliki dokumentasi buku-buku puisi Rendra” ujar Ons Untoro.

Puisi-puisi Rendra yang ditulis tahun berbeda-beda sering dibacakan dalam acara sastra oleh generasi yang berbeda, bahkan dibacakan oleh generasi millenial yang Rendra sendiri tidak mengenalnya. Selain itu, puisinya sering menjadi bacaan wajib atau puisi pilihan dalam acara lomba baca puisi yang diselenggarakan di banyak tempat di Indonesia. Mungkin, anak-anak Rendra sendiri malah jarang tampil membacakan puisi bapaknya di depan publik, atau di acara sastra. Maka, Sastra Bulan Purnama 97, memberi ruang anak-anak Rendra untuk tampil membacakan puisi karya bapaknya. (Ons/Antok Wesman)