Bincang-Bincang Sastra, Mbara, Perjalanan Setelah Kata, Di TBY, Sabtu Malam, 21 September 2019
Impessa.id, Yogyakarta : Sabtu malam, 21 September 2019, pukul 19.30-22.00 WIB, bertempat di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta, Studio Pertunjukan Sastra menggelar acara Bincang-Bincang Sastra edisi 168 bertajuk “Mbara, Perjalanan Setelah Kata”.
Latief S. Nugraha selaku Carik Studio Pertunjukan Sastra, menuturkan bahwa Bincang-Bincang Sastra kali tersebut, sekaligus menjadi bagian dari pra acara Joglitfest: Festival Sastra Yogyakarta. “Acara ini juga merupakan bagian dari Pergelaran Musikalisasi Sastra: Jentera yang berlangsung Jumat (20/9) di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta,” ujarnya.
Tokoh yang hadir di dalam perbincangan yakni, Gunawan Maryanto, penulis naskah dan sutradara The Wayang Bocor, kemudian, Lukas Gunawan Arga rakasiwi, Pelatih Paduan Suara Mahasiswa Swara Wadhana UNY, juga ada, Surajiya (Pelukis, Api Kata Bukit Menoreh), Sukandar (Pagiat Studio Pertunjukan Sastra), dan Fairuzul Mumtaz (Pendiri Sukusastra.com).
Pergelaran Musikalisasi Sastra 2019 berlangsung sukses, sekitar 800 kursi di Gedung Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta dipenuhi para penonton yang sebagaian besar adalah generasi milenial. Mereka disuguhi sajian dari Api Kata Bukit Menoreh yang menafsir puisi-puisi karya Abdul hadi W.M., Ragil Suwarna Pragolapati, Darmanto Jatman, Endang Susanti Rustamaji, Subagio Sastrowardoyo, dan M. Thahar dalam karya Seni Lukis atau Sastra Rupa.
The Wayang Bocor yang digagas Eko Nugroho tampil memukau dan jenaka dengan mempertunjukkan wayang kontemporer bertajuk “Permata di Ujung Tanduk” yang diangkat dari puisi-puisi perihal Sakuntala karya Gunawan Maryanto. Paduan Suara Mahasiswa Swara Wadhana UNY melantunkan puisi-puisi karya Chairil Anwar, Asrul Sani, Wisnoe Wardhana, dan Ki Hadi Sukatno dengan sepektakuler. Pertunjukan Sastra baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Pergelaran Musikalisasi Sastra mencapai puncaknya dengan penampilan Kelompok Kampungan pimpinan Bram Makahekum. Pementasan itu merupakan pementasan pertama kalinya di Yogyakarta setelah pementasan terakhirnya 20 tahun silam pada masa reformasi. Kelompok Kampungan justru banyak manggung di kota-kota besar di luar Yogyakarta. Karya-karya Bram Makahekum dan W.S. Rendra disajikan dengan bergelora oleh Kelompok Kampungan. Bram Makahekum pun tampil enerjik.
Latief S. Nugraha menambahkan, “Menuju pementasan yang tersaji dalam Pergelaran Musikalisasi Sastra 2019 tersebut, tentu ada proses kreatif yang dilalui. Jalan panjang menuju panggung yang gemilang cahaya itulah yang dibabar dalam acara Bincang-Bincang Sastra edisi 168. Satu proses alih wahana dari teks yang tersusun di atas kertas menuju satu perunjukan agung di atas pentas, justru menjadi penting untuk diperbincangkan.”
“Sastra sebagai suatu bidang yang tidak berdiri sendiri dalam kehidupan luas, khususnya kebudayaan, dan terutama kesenian, merupakan dunia yang integral dengan jagat kesenian lainnya. Karya sastra sebagai inti, sudah selayaknya tidak terlepas dari esensinya meski telah dialih wahana menjadi satu pergelaran dengan tafsir interpretasi yang bermacam-ragam. Hal itu semata untuk menghadirkan sastra di depan publik dalam satu wujud yang baru dan segar. Nah, dalam kesempatan inilah peristiwa pascasastra tersebut menjadi menarik untuk diulas,” imbuhnya lebih lanjut.
“Perjalanan setelah kata, merupakan satu kesadaran dari ungkapan Sapardi Djoko Damono dalam puisinya “Dalam Bis”, yakni “Sebermula adalah kata...” yang pas rasa-rasanya untuk merangkum peristiwa pascasastra yang hadir selama ini. Pergelaran Musikalisasi Sastra menjadi satu pesta akbar di antara gelaran sastra yang rutin terjadi setiap bulannya. Penting rasanya bagi masyarakat untuk mengembalikan nilai-nilai karya sastra yang telah dipertunjukan itu ke asal-usulnya. Demikian landasan pemikiran mengapa acara ini dihadirkan. Semoga memberikan manfaat,” pungkas Latief. (Antok Wesman)