Event

Jentera, Pergelaran Musikalisasi Sastra Di TBY, Jumat malam, 20 September 2019

Jentera, Pergelaran Musikalisasi Sastra Di TBY, Jumat malam, 20 September 2019

Jentera, Pergelaran Musikalisasi Sastra Di TBY, Jum’at malam, 20 September 2019

Impessa.id, Yogyakarta : Taman Budaya Yogyakarta –TBY, bekerja sama dengan Studio Pertunjukan Sastra –SPS, menyelenggarakan Pergelaran Musikalisasi Sastra 2019 mengusung tajuk “Jentera”, Jumat, 20 September 2019 di Gedung Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, pukul 19.00-22.00 WIB, bersama empat grup yakni, Api Kata Bukit Menoreh, The Wayang Bocor, Paduan Suara Mahasiswa Swara Wadhana UNY, dan Kelompok Kampungan, dipandu Eko Bebek dan Vika Aditya.

“Menilik kesuksesan Pergelaran Musikalisasi Sastra tahun 2018 yang di selenggarakan di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta selama dua malam, menarik antusiasme penonton yang sebagian besar adalah generasi muda, maka Pergelaran Musikalisasi Sastra kembali digelar tahun 2019 ini dengan konsep dan nuansa yang berbeda. Para penampil tersebut adalah grup-grup yang telah menunjukkan prestasinya di kancah lokal, nasional, bahkan internasional,” ujar Latief S. Nugraha, Carik Studio Pertunjukan Sastra.  

Latief menambahkan, “Melalui tajuk Jentera, Yogyakarta dimaknai sebagai satu poros siklus roda-roda kreativitas seni yang terus berputar dan memintal karya-karya para seniman-sastrawan menjadi suatu kesatuan. Kata demi kata beralih wahana dalam nada, irama, gerak, dan warna yang harmoni. Di atas megah panggung pentas, karya sastra terbukti telah berhasil mencuri cara menyuarakan nada bicaranya dengan lantang. Kata-kata yang semula menentang dan menantang dalam sunyi, menjadi berbunyi. Paduan antara sastra dan musik melahirkan keluasan cakrawala interpretasi yang selalu baru. Nada dasarnya adalah pertemuan antara berbagai unsur yang harmoni dalam satu pintalan yang berputar seirama dalam jentera.”

Di dalam acara ini, Api Kata Bukit Menoreh, komunitas seni rupa dari Kulon Progo menampilkan Perfoming Art, memadukan puisi, lukis, dan musik. Komunitas yang juga gemar menulis puisi itu, memberikan tafsir terhadap puisi-puisi karya Subagio Sastrowardoyo, Darmanto Jatman, M. Thahar, Abdul Hadi W.M. Ragil Suwarna Pragolapati, dan Endang Susanti Rustamaji ke atas kanvas, menjadi sastra rupa. Suatu bentuk penyaluran ekspresi dalam bentuk karya seni rupa sekaligus sastra.

Sementara itu, The Wayang Bocor menyajikan satu reportoar berjudul “Permata di Ujung Tanduk”, kisah tentang Sakuntala yang diangkat dari puisi-puisi karya Gunawan Maryanto. Proyek penciptaan karya pertunjukan wayang kontemporer hasil ide kreatif perupa Eko Nugroho hadir sebagai perwujudan kolaborasi para seniman dari berbagai disiplin ilmu dalam menggali lebih dalam kemungkinan-kemungkinan estetika baru dan segar dalam pertunjukan wayang kontemporer sebagai media alih wahana karya sastra. Perpaduan tersebut menjadi satu keseimbangan sajian di atas panggung berupa pertunjukan wayang dan teatrikal yang kekinian.

Satu hal yang baru, disajikan oleh Paduan Suara Mahasiswa Swara Wadhana UNY. PSM Swara Wadhana UNY sebagai grup vokal yang mewadahi kegiatan mahasiswa di bidang tarik suara menyajikan tembang dan nyanyian merespons puisi-puisi karya Chairil Anwar, Asrul Sani, Wisnoe Wardhana, dan tembang karya Ki Hadi Sukatno dalam lantunan paduan suara.

Agaknya ini menjadi yang pertama untuk grup paduan suara mahasiswa dengan menciptakan lagu dari puisi dan menyajikannya dalam sebuah acara pergelaran sastra. Prestasi PSM Swara Wadhana UNY di ajang tarik suara tingkat nasional dan internasional menjadi satu timbangan untuk menantangnya dalam menghadirkan beberapa lagu yang diolah dari puisi karya para penyair terkemuka Indonesia.

Kelompok Kampungan yang dikomandani oleh Bram Makahekum menyajikan konser “Berkata Indonesia dari Yogyakarta”. Satu pionir grup musik folk legendaris yang lahir di Yogyakarta, sejarah dan kiprahnya di belantika musik Indonesia sejak tahun 1970an, dengan menyatukan untur musik modern dan etnik dalam setiap penampilannya. Kelompok Kampungan dipilih karena karya-karyanya yang yang legendaris dan monumental sehingga mengajak penonton bernostalgia. Syair-syair karya Bram Makahekum juga puisi-puisi karya W.S. Rendra membuat bendera Merah Putih berkibar-kibar di penghujung Pergelaran Musikalisasi Sastra 2019.

“Studio Pertunjukan Sastra telah merekam dan mencatat peristiwa demi peristiwa tatkala puisi dan karya sastra hadir di hadapan tatapan mata dan kamera. Kita tentu menyadari, di dalam sejarahnya gelaran pertunjukan sastra telah ada sejak masa-masa yang silam. Sastra bukanlah bidang yang berdiri sendiri dalam kehidupan lapang, khususnya kebudayaan, dan terutama kesenian, melainkan dunia yang integral dengan jagat kesenian lainnya. Masyarakat sesungguhnya sudah sangat dekat dengan karya sastra lewat pergelaran wayang, tetembangan, beragam seni pertunjukan, juga cerita tutur yang mengakar dan menjalar dari ingatan yang satu ke ingatan yang lainnya. Dengan cara itulah sastra kembali kepada muasal, yakni teks yang tumbuh di dalam kepala,” imbuh Latief S. Nugraha.   

Menurutnya, gairah seni pertunjukan sastra sungguh membesarkan hati. Bermacam-ragam karya alih wahana yang bersumber dari sastra telah dihasilkan, dari yang sederhana hingga yang istimewa. Hal tersebut seperti telah menjadi representasi Yogyakarta di bidang sastra. Bisa dibilang keberadaan event sastra di dalam lingkup pergaulan masyarakat Yogyakarta tidak pernah mati. Kian hari makin bertambah dan berkembang di ruang-ruang kreatif komunitas sastra dan di tangan orang-orang terampil sehingga lahirlah suatu kemasan yang segar.

Sementara itu Drs. Diah Tutuko Suryandaru selaku Kepala Taman Budaya Yogyakarta menyatakan, “Perpaduan antara karya sastra dengan musik, juga dengan disiplin seni yang lain seperti sandiwara, seni rupa, seni tari, wayang, hingga gambar digital telah disajikan dalam Pergelaran Musikalisasi Sastra di Taman Budaya Yogyakarta. Apresiasi terhadap karya berupa puisi maupun prosa, baik karya sastra berbahasa Indonesia maupun berbahasa Jawa telah hadir menuntun para penonton untuk tidak sekadar menjadi saksi, namun mengajak untuk beraksi, entah apa pun wujudnya. Kualitas karya sastra dan kualitas karya seni pertunjukan menjadi menu utama yang acap kali membuat penonton tertegun berdecak kagum menyaksikan pertunjukan di hadapannya yang melampaui imajinasi atas teks sastra yang dibaca. Atmosfer penonton dan penyaji yang sebagian besar adalah generasi muda menjadi satu putaran energi kreatif yang besar dan kuat.”

“Karya sastra, terutama puisi, menjadi satu sajian yang kaya penafsiran musikal. Pertunjukan puisi melalui format ini menjadi mudah dinikmati, dikenal, dan dikenang. Pergelaran Musikalisasi Sastra tahun 2019 merupakan satu wujud perayaan kreativitas seni di dalam menafsir karya sastra dan merayakan terpeliharanya dinamika zaman yang terus berputar dengan hadirnya estetika-estetika dengan tetap mempertahan etika ketika mengolah nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra, saat beralih wahana menjadi karya pertunjukan yang disajikan dihadapan peradaban masyarakat kontemporer abad ini,” pungkas Diah Tutuko Suryandaru. (Latief SN/Antok Wesman)