Feature

Pentas Kolaborasi Tari Anterdans dan Perancang Busana Nita Azhar Memaknai Panggih Secara Luas

Pentas Kolaborasi Tari Anterdans dan Perancang Busana Nita Azhar Memaknai Panggih Secara Luas

Pentas Kolaborasi Tari Anterdans dan Perancang Busana Nita Azhar Memaknai Panggih Secara Luas

Impessa.id, Yogyakarta : Bimo Wiwohatmo, koreografer tari yang ikut menyaksikan pementasan drama tari “Panggih” sebagai salah satu program Festival Kebudayaan Yogyakarta 2019 di Pendopo Museum Monumen Pangeran Diponegoro Tegalrejo Yogyakarta, Senin malam (15/07/19), ketika dikonfirmasi Impessa.id pendapatnya tentang wujud kolaborasi antara disainer Nita Azhar dan koreografer tari Anter Asmorotejo secara singkat mengatakan sajian tersebut menarik.

“Menarik, fenomena Nita Azhar dan Anter Asmorotejo berkolaborasi, yang kebetulan diantara keduanya sudah tidak asing lagi untuk melakukan kolaborasi, kali ini mereka memadukan busana di masa Pangeran Diponegoro dalam wujud tarian kontemporer dan dilakukan di situs bersejarah, kontekstual dengan monumen Diponegoro Tegalrejo Yogyakarta. Disain rancangan Nita Azhar yang dikenakan Anter, menggambarkan sosok Pangeran Diponegoro, demikian pula kostum yang dikenakan penari wanitanya, pakaian tradisional gambaran perempuan pada waktu itu,” tutur Bimo.

“Yang menjadi tantangan koreografer ketika mengangkat sejarah terlebih dari tokoh pahlawan nasional seperti Pangeran Diponegoro, perlu riset mendalam, dalam segala hal, baik tata busananya, tingkah laku masyarakat kala itu, dan itu memerlukan waktu proses yang cukup panjang,” ungkap Bimo Wiwohatmo lebih lanjut.

Menurut Bimo Wiwohatmo, keberadaan Museum Sasana Wirata Monumen Pangeran Diponegoro Tegalrejo Yogyakarta, diakui memang kurang ter-ekspos ke khalayak luas, maka pementasan kolaborasi yang berlangsung di situs bersejarah sangatlah tepat, mengingat Pendopo yang tetap lestari hingga kini, sering digunakan untuk resepsi pengantin sehingga tema “Panggih” klop dengan tematik yang diangkat panitia FKY 2019.

“Di gelarnya pentas kolaborasi Panggih di situs Pangeran Diponegoro Tegalrejo ini, ide awalnya adalah aktivasi artefak museum peninggalan Diponegoro. Kalau kita berbicara tentang Diponegoro itu identik dengan Perang Jawa, Senjata, dan lain sebagainya, yang itu sudah banyak di ekspos oleh seniman-seniman maupun oleh pertunjukan-pertunjukan lain, tetapi kami menitikberatkan pada kostum laskar perang Diponegoro. Kami cari datanya, riset, observasi, ternnyata itu ruang yang memang masih sangat sepi, bahkan saya sampai kontak dengan Peter Carry, penulis Diponegoro, tentang Turkio Bulgio, ternyata busananya dipengaruhi oleh busana Turki, yang menurut Peter Carry yang paling mendekati adalah busana pada lukisan Penangkapan Diponegoro Di Magelang karya Raden Saleh, meski lukisan itu dibuat jauh hari setelah Perang Jawa, sehingga unsur interpretasi dari Sang Seniman tetap ada,” ungkap Paksi Raras Alit, Ketua FKY 2019, kepada Impessa.id.

Paksi dan teman-temannya saat melakukan riset juga membaca babad-babad Diponegoro serta berdialog dengan trah keturunan Diponegoro, mengenai pakaian yang dikenakan, sebagaimana tertulis didalam babad-babad Diponegoro tersebut. “Jadi ini merupakan peluang bagi seorang disainer untuk merekonstruksi atau merekreasi ulang kostum kala itu, dan dari 12 kandidat disainer, kami memilih Nita Azhar yang memang sudah sangat dekat dengan kesenian dan kebudayaan, sehingga dialognya lebih mudah,” imbuh Paksi.

Kemudian pilihan Panggih, dikarenakan situs Pendopo Pangeran Diponegoro masih digunakan untuk resepsi Pernikahan, lalu dikembalikan ke makna harfiahnya yakni pertemuan. “Panggih atau pertemuan disini menjadi pertemuan macam-macam, perlintasan, kostum mewakili artefak museumnya, kemudian penari perempuan bisa dibaca sebagai isteri prajurit yang ditinggal mati suami-suami mereka dalam perang, serta kawasan Tegalrejo sebagai daerah yang mandiri, bisa memenuhi kebutuhan logistik untuk warga masyarakatnya sendiri, tanpa bantuan dari Kraton, pada waktu itu, sejak sebelum Perang Jawa terjadi,” jelas Paksi lebih lanjut.

Kemandirian warga Tegalrejo dibidang pangan yang saat itu dikelola oleh Ratu Ageng Tegalrejo, pada acara Panggih FKY 2019, dihadirkan kembali oleh Dapur Bergerak, komunitas anak muda di Yogyakarta, yang gemar mengolah makanan Nusantara, dengan aktivitas bergerak, berpindah-pindah dapurnya, dari satu anggota ke anggota yang lain. Dapur Bergerak malam itu menyajikan “Sate Kene”, makanan khas Tegalrejo sejak era Diponegoro, yang terbuat dari bahan-bahan lokal seperti, Beras, Beras Ketan, Pisang, Ubi Ungu, Kelapa, Gula Kelapa, Santan dan rempah-rempah ada Cengkeh, Pekak, Pala, Jahe, juga Nangka. Sate Kene dengan Tusuk bambu dan Gapit bambu, olahan Komunitas Dapur bergerak tersebut disajikan diatas Takir, Daun Pisang, dihidangkan setelah acara Panggih berakhir dalam jamuan Dhahar Kembul.

“Urip ojo kaku, melur lan pasrah, ojo mangu-mangu ning terus mlaku, filosofi Gapit bambu untuk Sate Kene, sedangkan Sunduk bambu Sate Kene dalam empat warna alami, Hijau dari daun Suji, Ungu dari Ubi Ungu,  dimaknai sebagai pancer atau spiritualitas yang dalam perspektif Jawa, semua hal itu harus di-panceri dengan spiritualitas agar tidak mobat-mabit, dan tidak ambyar kesana-kemari,” tutur Infani Lila Herliana, koordinator Dapur Bergerak, kepada Impessa.id.

FKY 2019 mengangkat asset kebudayaan yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, salah satunya budaya Panggih yang dikemas secara spesial kolaborasi antara rancangan busana laskar perang Diponegoro oleh disainer Nita Azhar, koreografi tari oleh Anter Asmorotejo bersama grup Anterdans-nya, serta situs bersejarah Pendopo Pangeran Diponegoro Tegalrejo yang kini menjadi Museum Sasana Wiratama Yogyakarta. Ketika dikonfirmasi Impessa.id, perancang busana Nita Azhar menjelaskan prosesnya.

“Pengertian panggih, yakni pepanggihan antara siapapun, disini saya dipertemukan dengan Anter, koreografer, mengangkat busana prajuritnya Diponegoro, yang terinspirasi oleh busana-busana Turki, tetapi saya olah dengan kain-kain Jawa, Lurik dan Batik, tenun yang berasal dari Jogja, saya kontemporerkan sedikit namun tetap dalam nuansa klasik Jawa. Bukan dalam sajian fashion show, tetapi karya instalasi enam manekin dibalut kain Batik dan Lurik, lalu direspon oleh koreografi tari,” aku Nita Azhar.

“Saya memaknai panggih itu sebagai pertemuan macam-macam, pertemuan antara budaya Jawa dan Turki, pertemuan antara orang dengan ruang setempat, kemudian pertemuan antara busana, bentuk tradisi dan modern,” ujar Anter Asmorotejo singkat, sesaat jelang pementasan. Malam itu Anter tampil gagah sebagai Pangeran Diponegoro dalam busana putih-putih, bersama enam penari wanita anggota Anterdans, didukung permainan tata-cahaya, secara apik, merespon manekin-manekin berbalut busana paduan Batik dan Lurik karya Nita Azhar, yang terpajang diantara tiang-tiang tinggi penyangga Pendopo Agung Museum Sasana Wiratama Pangeran Diponegoro, Tegalrejo Yogyakarta. (Antok Wesman-Impessa.id)