Ekonomi-Bisnis

Transaksi Jual-Beli Di Arena Kampoeng Mataraman Yogyakarta Selama FKY 2019 Memakai Uang Ketip

Transaksi Jual-Beli Di Arena Kampoeng Mataraman Yogyakarta Selama FKY 2019 Memakai Uang Ketip

Transaksi Jual-Beli Di Arena Kampoeng Mataraman Yogyakarta Selama FKY 2019 Memakai Uang Ketip

Impessa.id, Yogyakarta : Ada yang istimewa saat anda berkunjung ke Kampoeng Mataraman Yogyakarta di perhelatan Festival Kebudayaan Yogyakarta 2019, yakni jika hendak berbelanja kuliner tradisional dan apapun yang tersaji di arena itu, anda harus antri di Kasir, menukarkan uang rupiah anda dengan Ketip, uang jaman doeloe terbuat dari tanah liat, tertera nominal setara dengan rupiah anda, karena itu aturan yang berlaku di Kawasan Kampoeng Mataraman Yogyakarta. Pedagang patuh dengan aturan tersebut, menolak pembayaran dengan uang rupiah. Banyak kasir tersebar di dekat pintu masuk.

Lokasi Kampoeng Mataraman mudah dijangkau, terletak ditepian Ringroad Selatan Yogyakarta, sehingga untuk menuju ke tempat itu, mengingat arah arus searah, lebih mudah dimulai dari simpang empat jalan Parangtritis-Ringroad, lalu ambil jalur lambat di sisi Selatan, tak jauh dari situ tampak di kiri jalan terpampang tulisan Kampoeng Mataraman, dan urusan parkir dikelola pemuda warga setempat sehingga dijamin keamanannya.

Mulai tahun 2019, Festival Kesenian Yogyakarta berganti nama menjadi Festival Kebudayaan Yogyakarta, dan Staf ahli Gubernur DIY Bidang Hukum Pemerintahan dan Politik Umar Priyono, menanggapi perubahan nama tersebut dengan menegaskan keberanian mengubah nama dari Festival Kesenian Yogyakarta menjadi Festival Kebudayaan Yogyakarta, artinya FKY bukan sekadar arena unjuk kebolehan di bidang kesenian semata, tapi juga menggali segenap potensi kebudayaan yang dimiliki Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai peninggalan Sultan HB I, hingga Sultan yang saat ini bertahta.

“Kebudayaan bisa berperan dalam beberapa aspek, sebagai pengingat bahwa kita dari dulu sudah punya nilai-nilai kebudayaan yang hebat. Aspek berikutnya adalah pengikat keberagaman di Nusantara, agar NKRI semakin kuat dan ke-Bhineka-an menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari,” ujar Umar Priyono.

“Semoga FKY 2019 yang berlangsung 4 hingga 21 Juli, menjadi penanda dan penguat keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, serta turut meneguhkan Indonesia sebagai tujuan budaya yang terkemuka.” jelasnya, seraya mengungkapkan bahwa Yogyakarta kini menjadi Ibukota Kebudayaan ASEAN untuk periode lima tahun kedepan.

Berikut agenda Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2019 untuk Senin, 15 Juli, kegiatan berlangsung di empat lokasi berbeda, masing-masing di Kampoeng Mataraman Ringroad Selatan, Panggungharjo, Sewon, Bantul, tersaji di tiga panggung, kemudian di Museum Diponegoro – Tegalrejo, di Museum Dewantara Kirti Griya Jalan Tamansiswa, serta di Museum Sonobudoyo – Alun-Alun Utara.

Berpusat di Kampoeng Mataraman yakni, Panggung Sundamanda mulai jam 15.30 WIB berupa Muvodance dari Universitas Ahmad Dahlan (UAD); jam 16.30 WIB berupa workshop Ecobricks oleh JPSM Dinas Lingkungan Hidup; jam 18.30 WIB juga workshop Tata Cara Pemakaian Kebaya oleh Chattra Kebaya; jam 20.00 WIB pertunjukan Hadroh dari Tegalsari; dan jam 21.00 WIB pentas Jacky Eys.

Untuk Panggung Gedhong Rembulan mulai jam 15.30 WIB, Snackers tampil jam 16.30 WIB, dilanjutkan penampilan Putar Balik Band pada jam 18.30 WIB, jam 20.30 WIB Save All Day dan jam 21.30 WIB diakhiri pentas Roket. Sedangkan di Panggung Kampoeng Mataraman mulai jam 19.00 WIB tampil Barv di Bvad; jam 20.00 WIB  Faizul RM dan jam 21.00 WIB tampil The Tarik Rasa Fanta.

Pada hari yang sama, bertempat di Museum Diponegoro-Tegalrejo pada jam 19.00 WIB digelar acara bertajuk “Panggih”. Gelar fesyen busana ala laskar wanita pasukan perang Pangeran Diponegoro kreasi disainer Nita Azhar, berkolaborasi dengan koreografi tari Anterdans, Andy Eswe, Umar Haen, dan Dapoer Bergerak. Acara Panggih tersebut sebagai ruang dialog antara dua elemen budaya dalam tradisi masyarakat Jawa. Elemen pertama mengenai peran busana sebagai salah satu fragmen dari identitas kolektif suatu kelompok masyarakat, melibatkan perancang busana. FKY 2019 menelusuri berbagai narasi alternatif yang berkaitan dengan laskar perang Pangeran Diponegoro, dan menghidupkannya kembali dalam bentuk kreasi busana. Elemen kedua berkaitan dengan olah pangan melalui tradisi Dahar Kembul (makan bersama) dalam masyarakat Jawa, sebagai monumen budaya yang digunakan untuik menjaga dan melestarikan momeri kolektif berupa pengetahuan tradisional. Petunjukan lintas disiplin, dinamis, menggunakan ruang, situs Museum Monumen Diponegoro sebagai lokasi yang kontekstual bagi perhelatan program tersebut.

Pada Senin siang, pukul 13.00 WIB berlangsung Lokakarya Wirasa di Museum Dewantara Kirti Griya Jalan Tamansiswa, mengulas proses belajar melalui seni yang memaknai ulang metode Pendidikan Sariswara yang telah diterapkan oleh Ki Hajar Dewantara. Pengetahuan yang terkandung dalam lagu-lagu yang pernah dituliskan dalam metode Sariswara, ditembangkan ulang dengan cara yang berbeda, melibatkan berbagai praktisi musik yang memiliki karakter khas dalam masing-masing praktiknya. Sajian rangkain proses belajar berikut hasilnya, dalam pertunjukan yang dapat dinikmati masyarakat luas.

Pameran Seni Rupa “Wirama” digelar di Gedung Sonobudoyo Alun-Alun Utara, buka mulai pukul 10.00 WIB, sebagai upaya untuk memaknai ulang prinsip Wirama, sebuah pendekatan dalam praktik dan pemaknaan seni di Yogyakarta. Produktivitas, budaya serba cepat, dan alon-alon waton kelakon, serta ritme kehidupan kota, dimunculkan sebagai suatu bentuk dialog, dalam wujud pameran seni rupa.

Di Alun-Alun Selatan (Alkid) setiap petang selama FKY 2019, digelar Pameran Seni Instalasi Publik. Alun-Alun Kidul sebagai situs publik yang bersejarah, menjadi ruang pertemuan yang unik dan dapat terus dimaknai, sesuai konteks zaman. Program “Wiraga” menghadirkan pertemuan budaya tradisi dan budaya massa, bertemu dalam ruang yang cair. Bersamaan dengan Pagelaran Wayang di Sasana Hinggil, FKY 2019 juga menghadirkan seni instalasi publik sebagai bentuk kolaborasi dengan Paguyuban Mobil Kayuh, yang menitikberatkan pada kebudayaan tradisional Aksara Jawa yang ditampilkan dengan unsur kebudayaan kontemporer, melalui medium rupa dan cahaya. (Antok Wesman-Impessa.id)