Event

Sebanyak 59 Seniman Gelar Pameran SANDIYA TIRTO GUNUNG, pada 20 Desember 2024 hingga 2 Januari 2025, di Dukuh Tirto, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul

Sebanyak 59 Seniman Gelar Pameran SANDIYA TIRTO GUNUNG, pada 20 Desember 2024 hingga 2 Januari 2025, di Dukuh Tirto, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul

Sebanyak 59 Seniman Gelar Pameran SANDIYA TIRTO GUNUNG, pada 20 Desember 2024 hingga 2 Januari 2025, di Dukuh Tirto, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul

Impessa.id, Yogyakarta: Apa yang istimewa dari Tirto? Sebagai sebuah wilayah dusun yang merupakan wilayah “desa” atau “ndeso” pada kurun waktu lyang alu. Wilayah itu diingat sebagai bagian rute para penglajo dari Bantul yang bekerja di Kota Yogyakarta mengendarai sepeda, melewati sepanjang Jalan Bantul. Profesi para penglajo itu pun tak lagi sekedar pekerja kelas menengah bawah, namun juga para pekerja menengah atas, para pegawai negeri, swasta, bahkan para seniman. Wilayah yang dulunya ada di “pinggiran kota” kini bahkan telah dianggap menjadi bagian dari kota, dengan hadirnya desa wisata, pabrik, industri, minimarket, kafe, homestay, studio dan seniman.

Y. Hermawan Trinugraha dan Y Devi Ardhiani selaku penulis menuturkan bahwa konsep penggalian potensi tersebut diharapkan bertumbuh sebagai kegairahan membangun rasa kebersamaan dan paduan ide-ide kreatif dalam bidang seni yang bermanfaat”. Para seniman saling berbaur dalam pertukaran gagasan hingga hasil karyanya bisa diterima luas secara terbuka demi meningkatkan semangat estetik dalam olah cipta yang terakomodir bagi bertumbuhnya usaha-usaha kreatif.

Tujuan kegiatan Sandiya Tirto Gunung #1 pun tidak jauh dari upaya saling belajar agar masyarakat sekitar semakin terbuka wawasannya tentang keanekaragaman bentuk hasil olah cipta kreasi seni yang lain.

Lebih lanjut penulis menyebutkan, Lalu apa yang kemudian masih menarik untuk melihat Tirto sebagai sebuah wilayah yang telah banyak mengalami perubahan? Para seniman yang berpartisipasi dalam Sandiyo Tirto Gunung ini berusaha menghadirkan Tirto sebagai sebuah “identitas” tertentu. Tentu saja, yang kita harapkan adalah bahwa “identitas” yang hadir tersebut dilihat bukan sebagai sesuatu yang tetap, namun sebagai sesuatu yang terus bergerak dan berubah.

Jika di masa lalu, masyarakat Tirto, seperti halnya msayarakat pedesaan di Jawa umumnya. memiliki konsep “rojokoyo” sebagai sebuah gambaran harta ekonomi yang paling berharga bagi mereka (berupa kepemilikan hewan ternak), maka saat ini para seniman berusaha mengekspresikan produk seni mereka dengan berbagai bentuk.

Ekspresi tersebut merupakan sebuah “rojokoyo” di masa sekarang, sebagai pengingat hidup dan identitas yang terus bergerak dan berubah. Gambaran Tirto di masa lalu sebagai wilayah “ndeso”, saat ini telah bergerak dan berubah dalam himpitan budaya urban yang mengelilinginya: komodifikasi tanah dan properti, komersialisasi dan privatisasi ruang, sampai dengan terpaan godaan konsumsi yang mengalir tanpa batas. (Andi SW/Ardian K/Bambang H/Antok Wesman-Impessa.id)