Event

Biennale Jogja XV Equator Ke-5, Di TBY dan JNM, 20 Oktober Hingga 30 November 2019

Biennale Jogja XV Equator Ke-5, Di TBY dan JNM, 20 Oktober Hingga 30 November 2019

Biennale Jogja XV Equator Ke-5, Di TBY dan JNM, 20 Oktober – 30 November 2019

Impessa.id, Yogyakarta : Biennale Jogja –BJ, adalah perhelatan besar seni rupa yang diselenggarakan setiap dua tahun, diorganisasi oleh Yayasan Biennale Yogyakarta –YBY, sejak 2011, berangkat dari satu tema besar yaitu EQUATOR (Khatulistiwa), yang mematok batasan geografis terentang diantara  23.27 LU dan 23.27 LS.

Dalam setiap penyelenggaraanya, BJ mengundang seniman dari satu atau lebih, negara, atau kawasan disekitar Khatuliswa untuk bekerja sama, berkarya, berpameran,bertemu, dan berdialog dengan seniman, kelompok, maupun organisasi seni budaya Indonesia di Yogyakarta.

Alia Swastika, Direktur Esksekutif Yayasan Biennale Yogyakarta, didampingi dua kiurator masing-masing, Akiq AW dan Arham Rahman, dalam Press Conference di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta, Senin (11/3/19) menuturkan. Dalam konteks kesenian, strategi melihat dunia dalam kerangka pandang khatulistiwa ini tampaknya cukup berhasil untuk memunculkan wacana alternatif.

“Di tengah kritik-kritik tajam atas penyelenggraan biennale di berbagai kota di seluruh dunia, Yayasan Biennale Yogyakarta mencoba untuk memainkan peran menjadi bagian dari diskusi yang produktif atas dialektika lokal dan global. Gagasan khatulistiwa telah mempertemukan seniman dan pemikir di Indonesia dengan mitra-mitra mereka dari berbagai Negara dengan latar belakang yang sama-sama menarik, sama-sama unik, dan sama kompleksnya,” tutur Alia.

Selama delapan tahun, Yayasan Biennale Yogyakarta telah menyelenggarakan empat kali peristiwa Biennale Seni dan tiga kali Simposium Khatulistiwa. Biennale Ekuator #1 bermitra dengan India, Biennale Ekuator #2 bekerja bersama Negara-negara kawasan Arab, Biennale Ekuator #3 menggandeng Nigeria, Biennale Ekuator #4 menampilkan seniman-seniman dari Brazil dan pada 2019 Biennale Ekuator #5 menggandeng negara-negara di kawasan Asia Tenggara sebagai mitra.

Simposium khatulistiwa yang berlangsung ditengah dua biennale berupaya untuk menjaga keberlangsungan pertukaran wacana khatulistiwa antara masyarakat seni dengan kelompok intelektual dan akademisi.

Biennale Jogja XV Equator #5 diselenggarakan pada tanggal 20 Oktober – 30 November 2019 di Taman Budaya Yogyakarta dan Jogja National Museum. Selain pameran seni sebagai sebagai agenda utama, diselenggarakan juga Residensi Kelana dan Pameran Pra Biennale Generasi 3.0.

Asia Tenggara

Asia Tenggara merupakan titik terdekat selama perjalanan BJ sebelumnya. Berdekatan secara geografis dan sudah banyaknya praktik seni yang fokus terhadap Asia Tenggara justru menjadi pendorong untuk melihat sisi lain yang belum banyak diperbincangkan. Tim YBY meyakini bahwa Asia Tenggara masih mempunyai potensi-potensi yang kaya dan relevan dengan situsi global.

Tim YBY melihat keterhubungan antar rumpun bangsa dan sejarah terpinggir berkaitan dengan masyarakat Asia Tenggara; kompleksitas antara Sejarah jalan sutra, Indo-China, Dinamika Melayu, Religiusitas dan konflik sosial horizontal, situasi kolonialisme dan pasca-kolonial. Dengan melihat Asia Tenggara maka gagasan tentang Khatulistiwa menjadi relevan untuk diposisikan sebagai ruh bagi pembacaan atas situasi geopolitis di kawasan

Pinggiran

Pinggiran selain berarti tempat, juga bisa dikatakan sebagai subjek atau komunitas, yang tidak diuntungkan atau dirugikan secara ekonomi-politik didalam struktur masyarakat tertentu, meskipun berada ditengah-tengah kawasan utama.Secara ringkas, pinggiran mencakup isu-isu, praktek hidup atau subjek yang tidak atau belum masuk menjadi wacana akademis, kebijakan publik, dan wacana media, serta masalah relasi kuasa. Isu pinggiran inilah yang akandibicarakan di Biennale Jogja.

Sebagai sebuah perhelatan seni rupa, BJ perlu diposisikan sebagai salah satu metode atau instrumen untuk membicarakan berbagai jenis persoalan mengenai pinggiran.Biennale Jogja Equator #5 tidak diarahkan untuk merepresentasikan pinggiran itu sendiri, melainkan berusaha menunjukkan bagaimana yang pinggiran mengekspresikan dirinya dan membicarakan narasi atau persoalan tentang dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, BJ tidak hanya membicarakan tentang isu-isu yang melingkupinya, tetapi juga membicarakan bagaimana negara-negara di kawasan Asia Tenggara berbagi permasalahan yang sama. Dengan kata lain, pinggiran adalah jembatan sebagai jembatan penghubungnya.

Menurut Alia Swastika, selain berbagi persoalan bersama, dengan isu pinggiran, BJ juga hendak melihat beberapa persoalan umum. Pertama, bagaimana subjek-subjek pinggiran membayangkan kawasan Asia Tenggara dan dunia global. Kedua, pinggiran sebagai salahn satu sarana untuk memahami kondisi yang tengah kita hadapi saat ini, terutama perihal masyarakat yang terbelah karena hegemoni kekuasaan tertentu. Ketiga, bagaimana kita belajar dari perspektif pinggiran. (Tok)