Buya Syafii Maarif, Di Tahun Politik 2019, Demokrasi Melatih Kita Untuk Sabar
Impessa.id, Yogyakarta, 1 Maret 2019 - Sebagai negara demokrasi, bangsa Indonesia memang dilanda cobaan yang besar pada setiap tahun politik yang dilalui. Ahmad Syafi’i Maarif atau kerap disapa Buya Syafi’i sebagai sosok intelektual dan cendekiawan ikut menyoroti ramainya pemberitaan mengenai pemilu serentak yang ada di media sosial dari postingan ujaran kebencian hingga harapan positif bagi bangsa Indonesia.
Buya Syafi'i mengaku jika kondisi tersebut membuat masyarakat terpecah karena politik, maka Indonesia tidak belajar dari sejarah besar perang saudara yang terjadi pasca Nabi Muhammad SAW wafat yaitu Perang Unta pada 656 M, bahkan mungkin tidak mendapat pelajaran pada pemilu 2014.
“Semenjak Nabi wafat banyak perang saudara dikarenakan haus politik akan kekuasaan. Politik berkotak-kotak memecah belah bangsa, agama dijadikan sebagai senjata politik, menyeret Tuhan ke dalam kebencian serta politik kotor pemilu. Ini sangat memprihatinkan dan sangat disesalkan,” Ungkap Buya Syafi’i dalam bedah buku karya beliau berjudul "Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam" di Gedung Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, pada Jum’at (1/3/19).
Bedah buku berjudul "Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam" menghadirkan penulisnya sendiri yakni Prof. Dr. Ahmad Syafi'i Maarif, bersama pembicara Guru Besar Hubungan Internasional UMY, Prof. Dr. Tulus Warsito M.Si dengan moderator Dr. Ahmad Sahide, S.IP.,M.A. Dosen MIHI UMY, dihadiri mahasiswa umum, dan sebagai rangkaian acara Milad ke-38 UMY.
Di dalam buku tersebut Buya Syafi'i menuangkan kegelisahannya, mengenai agama yang dipakai untuk tujuan politik. Politik kekuasaanlah yang menjadi faktor utama mengapa Arab waktu itu mengalami kehancuran dengan membangun peradaban negara di atas mayat saudaranya. “Jangan sampai Indonesia seperti itu, merupakan kepahitan yang amat dalam jika terjadi,” tuturnya.
Jelang Pilpres 2019, Buya meminta masyarakat Indonesia untuk sabar dalam berdemokrasi dengan menjaga persatuan bangsa dan negara. Beliau mengingatkan pemilu itu merupakan pesta rakyat setiap lima tahun sekali, jangan sampai hal ini membuat negara terpecah selamanya. Menurutnya kita lebih sabar dalam menghadapi setiap isu politik.
“Jangan terlalu serius menyikapi tahun politik ini apalagi jika hanya karena berbeda pilihan. Toh setiap lima tahun sekali kalau tidak cocok ya ganti. Jangan sampai Indonesia hancur. Banyaknya berita hoax hingga ujaran kebencian dalam berpolitik ini mengartikan peradaban sedang merosot. Jangan terlalu serius lah, demokrasi itu melatih kita untuk bersabar,” tutup Buya. (Pras/Tok)