Muda-Mudi Bertubuh Mini, Pentas Teater Di Pendapa Art Space Dongkelan Bantul, Jum’at Malam, 16 November 2018.
Muda-Mudi Bertubuh Mini, Pentas Teater Di Pendapa Art Space Dongkelan Bantul, Jum’at Malam, 16 November 2018
Impessa.id, Yogyakarta : Sebelas muda-mudi bertubuh mini atau dikenal sebagai Penyandang Achondroplasia, dari berbagai kota di Indonesia, Jum’at malam, 16 November 2018, mementaskan teater kontemporer berjudul “Sepatu Yang Sama: Kisah Jiwa dan Angka” di Pendhapa Art Space Jalan Ringroad Selatan RT 01, Tegal Krapyak, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta, dengan Sutradara Nunung Deni Puspitasari, sekaligus merangkap sebagai Penulis Naskah.
Pertunjukan ini digagas oleh Nanik Indarti (33), seniman teater lulusan ISI Yogyakarta, dan juga sebagai salah satu penerima program Hibah Media Cipta Ekspresi. Hibah tersebut merupakan hibah untuk perempuan pelaku kebudayaan di segala bidang seni, untuk membuat, mengkaji, melakukan perjalanan serta membantu perempuan, mencipta atau menampilkan karya. Hibah dari Media Cipta Ekspresi bertujuan untuk memberikan ruang bagi perempuan di Indonesia agar dapat secara aktif memaksimalkan dirinya berkarya.
Penulis Naskah Nunung kepada wartawan Kamis malam 915/11/18) menuturkan, kata “Sepatu” dari judul pementasan, mengingatkan kita pada sebuah benda dengan ukuran tertentu yang menemani kita dalam sebuah perjalanan. “Saat menggunakan sepatu, ukuran menjadi penting untuk bisa menemukan kenyamanan. Kesempurnaan sepatu adalah pada ukuran yang pas bagi penggunanya. Sama halnya dengan manusia yang juga tak lepas dari ukuran-ukuran, untuk bisa menjalani hidupnya dengan baik. Tapi bagaimana kalau ukuran tersebut tidak lagi disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing personal, melainkan disepakati oleh pihak tertentu, untuk menjadi sama atau sesuai dengan lainnya, sehingga muncul kata sempurna dan tidak sempurna,” ujar Nunung.
Ditambahkan, Sepatu yang sama hendak mengangkat perjalanan hidup manusia yang dianggap tidak sempurna karena ukuran tubuh yang mereka miliki. Bagaimana ukuran-ukuran ini meniadakan diri mereka sebagai individu dan menghilangkan kesempatan mereka untuk meraih impian. Namun seperti halnya sepatu, berapapun ukurannya, mereka tetap bangkit menjejakkan kaki dan memperjuangkan diri mereka sebagai manusia. Membuktikan bahwa kesempurnaan bukan pada ukuran yang disepakati bersama, melainkan pada masing-masing jiwa yang menjalaninya.
Melalui pertunjukan teater yang berkolaborasi dengan Flying Ballons Puppet, Batik Shadow Dongaji (rupa), multimedia dan musik, Nanik ingin menyampaikan persoalan-persoalan orang-orang yang memiliki tubuh mini (Penyandang Achondroplasia) yang banyak mengalami diskriminasi di lingkungan kerja maupun sosial di masyarakat.
Sebagai seniman yang menyandang Achondroplasia, Nanik mengatakan, “Melalui karya ini, saya sebagai perempuan bertubuh mini, menjadi media untuk membicarakan wacana besar mengenai Achondroplasia di Indonesia melalui kisah-kisah dan peristiwa yang dialami oleh 11 pemain yang semuanya bertubuh mini. Tujuan dari karya ini adalah sebagai kritik sosial masyarakat untuk lebih menghargai orang-orang bertubuh mini bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.”
Karya tersebut juga membicarakan wacana besar mengenai aksesibilitas, fasilitas, hak, kesehatan, reproduksi, hambatan-hambatan yang dialami orang-orang disabilitas. Hal itu karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap mereka. Selain sebagai misi tersebut, karya itu bertujuan untuk mempertemukan orang-orang bertubuh mini dari berbagai wilayah di Indonesia untuk menciptakan ruang bersama sebagai wadah ekspresi yang berkelanjutan nantinya. Upaya ini juga diharapkan mampu mengurangi perlakuan buruk masyarakat terhadap kaum penyandang Achondroplasia di Indonesia. Supaya tidak ada lagi bully-an, ejekan, olok-olokan, eksploitasi dan diskriminasi bagi orang-orang bertubuh mini.
Karya yang melibatkan tujuh perempuan dan empat laki-laki bertubuh mini serta seorang narasumber LSM disabilitas. Masing-masing, Miftahun Naufa (Dosen, Aceh), Inung Setyami (Dosen, Kalimantan), Lucky Novita (Pemimpin & pembina teater, Blitar), Vely Hilda (Pantomimer, Banyuwangi), Ninit Ungu (Staf gereja, Blitar), Christianingtyas (Penari & Ibu Rumah Tangga, Kulonprogo), Amin Sumantri (Guru, Malang), Muchlis Mustafa (Mahasiswa Seni, Surabaya), Didik Saputro (Mahasiswa Seni, Yogyakarta), Doddy Micro (Pantomimer, Yogyakarta), Nanik Indarti (Pekerja seni, Yogyakarta), Anggisari (Narasumber, Humanity and Inclusion).
Buku berjudul “Aku Perempuan Unik” karya tujuh perempuan Penyandang Achondroplasia dari Aceh, Kalimantan, Surabaya, Banyuwangi, Blitar, Malang dan Yogyakarta, berisi segala peristiwa kisah hidup mereka sebagai orang yang memiliki tubuh mini, diluncurkan di Pendapa Art Space Dongkelan Bantul, Yogyakarta, pada Jum’at, 15 November 2018, diwarnai dengan Pameran Foto dan Bazaar Craft hasil karya cipta perempuan.
Kisah-kisah ataupun peristiwa yang telah dituangkan kedalam buku tersebut selanjutnya divisualkan kedalam sebuah pertunjukan teater yang dimainkan oleh 11 orang penyandang Achondroplasia. Penggagas Project “Aku Perempuan Unik” Nanik Indarti (33), merupakan seniman teater lulusan ISI Yogyakarta, dan juga salah satu penerima program Hibah Media Cipta Ekspresi tahun 2018. Ia seorang perempuan bertubuh mini (125 cm). Sejak di bangku kuliah sudah terlibat aktif di komunitas teater Saturday Acting Club (SAC) dari tahun 2007, sampai sekarang. Nanik pernah belajar dan bekerja di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (2010-2016). Saat ini terlibat aktif dalam produksi teater dan eksperimen berbagai lintas seni, khususnya seni rupa dan pertunjukan di Yogyakarta. (Tok)