Feature

Peluncuran Antologi Puisi Mata Khatulistiwa Di Kepatihan Pakualaman Yogyakarta

Peluncuran Antologi Puisi Mata Khatulistiwa Di Kepatihan Pakualaman Yogyakarta

Peluncuran Antologi Puisi Mata Khatulistiwa Di Kepatihan Pakualaman Yogyakarta

Impessa.id, Yogyakarta : Untuk pertamakalinya 55 Penyair Nusantara disatukan dalam sebuah buku Antologi Puisi berjudul “Mata Khatulistiwa” produksi Lembaga Seni dan Sastra Reboeng, setebal 474 halaman yang diluncurkan Sabtu malam, 10 November 2018,  di Pendapa Kepatihan Pakualaman Jalan Masjid Pakualaman Nomor 5 Yogyakarta.

Peluncuran Antologi Puisi yang dihadiri oleh para penyair yang karyanya terhimpun didalam buku tersebut, diwarnai dengan pembacaan puisi oleh beberapa publik figur, diantaranya, Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo, Sri Adiningsih, Sri Surya Widati, Sitoresmi Prabuningrat, Butet Kartaredjasa, Iman Budhi Santosa, Landung Simatupang, Hamdy Salad dan Nusyirwan Soejono.

Ketika ditemui Impessa.id, Nana Ernawati selaku Direktur Lembaga Seni dan Sastra Reboeng menjelaskan bahwa makna judul antologi yang diluncurkan itu sebagai wujud kesadaran bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia -NKRI, kaya akan keragaman nilai budaya dan tata kehidupan di masing-masing daerah.

“Yang ingin saya sampaikan kepada publik bahwa setiap daerah di Nusantara ternyata masing-masing itu memiliki keterkaitan, jadi kita saling melihat, makanya mengapa judulnya adalah Mata Khatulistiwa? Khatulistiwa adalah pemersatu kita, kita saling melihat, orang Jawa melihat orang Aceh, orang Papua melihat orang Kalimantan, dan ternyata setelah kita melihat itu, ada semacam Garis Merah. Jadi ada semacam persamaan, misalnya tentang kebudayaan, salah satu kebudayaan daerah itu memiliki kemiripan dengan kebudayaan daerah yang lain. Itu berarti kita memiliki budaya yang sama dan tentu didalam kebudayaan itu ada filosofinya, ternyata ada kesamaan pula, dan dari situlah memang kita yakin bahwa yang disebut dengan Bhineka Tunggal Ika itu terbukti disitu,” ungkap Nana Ernawati.

Dalam kesempatan itu Bupati Kulon Progo yang membacakan puisi berjudul “Nyepi” mengapresiasi diluncurkannya Antologi Puisi tersebut. seperti yang dia kemukakan kepada Impessa.id. “Saya apresiet dengan buku Mata Khatulistiwa ini, yang menggali suatu budaya, Hari Gini kan Pak Nus dan Bu Nana, hidupnya kan didunia politik, sehingga kalau orang-orang politik itu sudah punya hati untuk membangun budaya, itu sudah luar biasa,” tutur Bupati Kulon Progo yang adalah Dokter Spesialis Kandungan.

Senada dengan Bupati Hasto Wardoyo, Yanni Saptohudoyo pun melalui Impessa.id, mengungkapkan rasa senangnya dengan terbitnya kumpulan puisi “Mata Khatulistiwa, Antologi Puisi Penyair Nusantara”. “Saya senang sekali bahwa disini ada kumpulan puisi dari seluruh Indonesia. Disini saya lihat ada dari Lampung, dari Ambon, jadi sangat inspiratif untuk kita baca. Ternyata tidak hanya Bahasa Indonesia saja, Bahasa Daerah ternyata juga menarik sekali, mudah-mudahan semua bisa menikmati puisi karya seniman-seniman besar,” tutur Yanni Saptohoedoyo yang senantiasa tampil cantik menawan.

Tak ketinggalan dengan Bupati Hasto Wardoyo dan Yanni Saptohoedoyo, Hajah Sitoresmi Prabuningrat yang malam itu membacakan puisi berjudul “Dakon” pilihannya secara acak, melalui Impessa.id menyatakan kekagumannya atas hadirnya kumpulan puisi yang begitu tebal memuat banyak puisi karya penyair Indonesia. “Luar biasa sekali, sekian banyak njih, bagus-bagus, saya bilang ini penyair bener, karena terlalu tebal jadi saya cuman Bismillah, minta ditunjukkan mana judul yang akan saya baca,” ungkap Sitoresmi sambil tertawa bahagia.  

Menurut Nana Ernawati, Puisi-puisi dalam buku tersebut menunjukkan karakter bangsa dan kekayaan setiap jengkal tanah bumi Indonesia. Nilai-nilai lokalitas dari berbagai daerah disajikan oleh para penyair. Buku “Mata Khatulistiwa” merupakan buku pertama yang hadir di Indonesia dengan konsep mempersatukan puisi-puisi karya penyair Nusantara, dengan tema khusus yakni Nilai-Nilai Kedaerahan Kampung Halaman Para Penyair.

Pilihan Yogyakarta sebagai tempat peluncuran Antologi Puisi itu menurut Nana Ernawati, karena Daerah Istimewa Yogyakarta dipandang dan dikenal luas sebagai Kawah Candradimuka lahirnya para sastrawan terkemuka Indonesia. “Sejumlah penyair yang puisinya terhimpun dalam buku ini pernah dan sedang melakukan proses kreatifnya berpuisi di Yogyakarta,” pungkas Nana Ernawati.

Para penyair yang puisinya dihimpun dalam buku tersebut masing-masing, Fikar W. Eda dan Salman Yoga S. dari Aceh, Nermi Silaban dari Sumatra Utara, Ahlul Hukmi dan Marhalim Zaini dari Riau, Taufik Ikram Jamil dan Yuanda Isha dari Kepulauan Riau, Jumardi Putra dan Rini Febriani Hauri dari Jambi, Deddy Arsya, Esha Tegar Putra, dan Indrian Koto dari Sumatra Barat, Mohammad Arfani dari Sumatra Selatan, Valentina Edellwiz Edwar dari Bengkulu,  Iqbal H. Saputra dan Sunlie Thomas Alexander dari Bangka Belitung, Udo Z. Karzi dari Lampung.

Kemudian, Irwan Segara dan Muhammad Rois Rinaldi  dari Banten, Afrizal Malna, Chairil Gibran Ramadhan, dan Zeffry Alkatiri dari DKI Jakarta, Acep Zamzam Noor, Kedung Darma Romansha, dan Soni Farid Maulana dari Jawa Barat, Arif Hidayat, Dedet Setiadi, Triyanto Triwikromo dari Jawa Tengah, Hasta Indriyana, Latief S. Nugraha, dan Nana Ernawati dari Daerah Istimewa Yogyakarta,  Dadang Ari Murtono, M. Faizi, Mashuri, Nurul Ilmi Elbana dari Jawa Timur, Ni Made Purnamasari dan Wayan Jengki Sunarta dari Bali.

Berikutnya, Fitri Rachmawati dan Kiki Sulistyo dari Nusa Tenggara Barat, Imelda Oliva Wissang dan Mario F. Lawi dari Nusa Tenggara Timur, Hudan Nur dari Kalimantan Selatan, Arbendi I. Tue dari Kalimantan Tengah,  Imam Budiman dari Kalimantan Timur, Aslan Abidin dan Dalasari Pera dari Sulawesi Selatan Ilham Q. Moehiddin dan Syaifuddin Gani dari Sulawesi Tenggara Bustan Basir Maras dari Sulawesi Barat, Jamil Massa dari Gorontalo, Dino Umahuk dari Maluku Utara, Mariana Lewier dari Maluku, Aleks Giyai, Alfrida V. P. Yamanop, dan Gody Usnaat dari Papua.(Tok)