Seminar Filosofi Paes Gaya Yogyakarta Di Joglo Perwita, Banguntapan, Bantul, 4 Oktober 2018
Impessa.id, Yogyakarta: Masih banyak perias yang belum memahami tentang filosofi paes maupun perhiasan yang dikenakan untuk pengantin, khususnya pengantin gaya Yogyakarta, seperti pemakaian kampuh yang efektif, maka Dewan Pimpinan Cabang Kabupaten Bantul, Himpunan Ahli Rias Pengantin Indonesia (HARPI) Melati menggelar Seminar "Parinaya Dalam Teks Sumantaka".
Seminar itu sebagai upaya perkenalan dan pelestarian budaya adiluhung, khususnya Tata Rias Pengantin Gaya Yogyakarta kepada generasi muda, digelar Kamis, 4 Oktober 2018 di Joglo Perwita, Gang Veteran 1 Manggisan, Banguntapan Bantul, Yogyakarta, dimulai pukul 08.30 WIB sampai dengan selesai.
Seperti biasanya acara tahunan yang digelar HARPI berupa Workshop Make Up, Workshop Acara Adat dan beberapa ketentuan lain dalam prosesi pernikahan. Namun kali ini mengungkap Filosofi dan membedah Paes dan Perhiasan Gaya Yogyakarta, bersama pakar terkait.
Para narasumber masing-masing, KRT Manu J Widyaseputra dengan makalah berjudul Seminar Parinaya Dalam Teks Sumantaka, kemudian RM Hanung Priyono HD Arch dengan judul ‘Membuka Rahasia Kunci Cupumanik Astaginan dan demo Kampuhan Putra Putri Solo Basahan, serta Kampuh Paes Ageng Yogyakarta oleh KRAT Budoyonagoro SSn dan demo Make Up oleh Mamuk Rahmadona SSn. dimoderatori oleh Dewanto SE, Ketua Lembaga Pelestari Budaya Nusantara (LPBN) dan dipandu oleh DR Wigung Wratsangka.
“Sasaran kami, perias bukan sekedar bisa make up seperti Make Up Artist (MUA) yang banyak dijumpai seperti sekarang. Dengan adanya acara ini mereka yang kadang sudah meninggalkan ketentuan dan kewajiban dalam sebuah upacara adat pengantin bisa memahami pakem dan filosofinya,” ungkap Mamuk.
Para narasumber ini tentu telah memiliki riset yang bisa dipertanggung jawabkan. Acara ini juga ingin memberi pesan pada perias tentang bagaimana corak batik, warna, cara pemakaian dan segala ubo rampe-nya dengan benar. Mereka juga harus benar-benar mengetahui bahwa ada perbedaan pada gaya pengantin adat Jogja Putri, Jangan Menir, Paes Ageng, Kanigaran dan paes yang dikenakan GKR Mangkubumi saat pernikahannya dengan gaya paes Solo. Seperti Solo Putri, Solo Basahan, Solo Takwo dan lain sebagainya.
“Kami sebenarnya miris jika masih ada yang belum menerapkannya dengan benar, kami ingin mengungkap dan meluruskan semua itu. Dan jangan sampai ada yang kurang pas lagi,” lanjut Mamuk.
Bersama HARPI, acara tersebut diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan tata rias pengantin bagi perias Yogyakarta, guna menciptakan generasi baru yang peduli terhadap budaya bangsa yang adiluhung. Dari kuota 400 peserta yang mendaftar selain dari Yogya dan Jawa Tengah, mereka datang dari Surabaya, Malang, Banjarmasin, Lampung dan kota-kota lainnya. (Muk/Tok)