DANIEL TIMBUL Ikut Rayakan Kemerdekaan Dalam Pameran Bersama Di Jogja Gallery
Impessa.id, Yogyakarta: Perupa muda Daniel Cahya Krisna yang akrab disapa Daniel Timbul nyaris setiap tahun sejak 2002 aktif mengikuti pameran baik di Yogyakarta, Solo, Jakarta serta aktif sebagai mentor di berbagai kota, Pemuda kelahiran Klaten, 15 Agustus 1981 dan berkarya di Studio Cukil Maut, Dadapan, Bandung-Suwak, Pandawaharjo Sewon Bantul, Yogyakarta, dalam pameran seni bertajuk “Kelompok Merdeka” yang digelar di Jogja Gallery pada 15-29 Agustus 2024 bersama 10 seniman, dirinya menampilkan lima karya lukisan.
Timbul berhasil memperoleh “Academic Art Award # 2”, penghargaan untuk Seniman Muda Berbakat yang berkecimpung di dunia Seni Grafis, yang diberikan oleh ISI Yogyakarta dan Jogja Gallery pada tahun 2008. Adapun Pameran Tunggalnya bertajuk “Timbul’s Deli” di Edwin Gallery Jakarta, pada tahun 2010. Ketika ditemui Impessa.id di ruang pamer Jogja Gallery, Daniel Timbul menguraikan makna dari setiap karya lukisannya yang dipajang, selaras dengan tulisan kuratorial Djuli Djatiprambudi untuk pameran “Kelompok Merdeka” tersebut.
Untuk lukisan berjudul:”Jago Tarung”, Timbul terinspirasi dari pergumulan di dalam diri antara ‘rasa’ dan logika yang terjadi dalam diri manusia. “Tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Ego, Emosi dan keadaan sosial dan kultural menjadi penyebab ‘pertarungan abadi’ dalam diri manusia, bagaikan ayam Jago yang bertarung, tidak akan mau kalah. Rasa dan Logika akan selalu bertemu dan berbenturan,” ungkapnya.
Kemudian untuk lukisannya berjudul “Golek Ayem Lan Tentrem”, Timbul memajang seri Super Hero yang dibuat dengan ide bahwa Nusantara tidak membutuhkan Super Hero. Keadaan Nusantara yang Gemah Ripah Loh Jinawi dan Damai membuat keberadaan super hero dalam karya ini Iron man (Mesin Perang) menjadi memilih untuk Meditasi di bawah Pohon Bodhi. Golek Ayem lan Tentrem (Mencari Kedamaian dan Ketentraman) adalah esensi yang dicari oleh Manusia. Iron man yang merupakan symbol dari Manusia yang bersinergi dengan teknologi tetap akan kembali ke akar mencari ketentraman dan kedamaian melalui laku meditasi.
Sementara lukisan yang berjudul “Ketiban Duren” (kejatuhan durian) adalah frase yang diambil dari Cangkriman Blenderan atau Plesetan “wong ketiban duren bakalan sugih pari (paringisan/nyengir karena kesakitan)” atau terjemahannya “Orang yang tertimpa Durian akan menjadi banyak Pari “pari adalah penggalan suku kata dari Paringisan yang artinya meringis atau nyengir karena kesakitan dan merupakan plesetan dari Padi tumbuhan penghasil beras.
Dalam karya itu, digambarkan tokoh Superman (Pahlawan Super) tertimpa Durian ketika sedang tidur siang dibawah pohon durian. Dengan latar belakang sawah dan gunung Merapi. Seri Super hero ini dibuat dengan ide bahwa Nusantara tidak membutuhkan Super Hero. Keadaan Nusantara yang Gemah Ripah Loh Jinawi dan Damai membuat keberadaan super hero dalam karya ini Superman menjadi ‘glibagglibag atau leyeh-leyeh’ di bawah pohon durian yang berbuah lebat.
Sedangkan lukisan berjudul “Sang Pamomong” Timbul mengungkapkan bahwa Sang Pamomong adalah sosok yang mampu menjaga dan memelihara keharmonisan yang ada di dalam semesta. Mengayomi dan melindungi seluruh aspek yang ada di alam semesta dibutuhkan kebijaksanaan. Seluruh aspek yang dimaksud meliputi gelap dan terang, sehingga bukanlah hal yang mudah untuk menjaga semuanya menjadi harmonis.
Dalam karya tersebut, Dwarapala atau Gupala menjadi simbul yang dipilih untuk menggambarkan seorang pamomong. Dwarapala Singosari menjadi model dalam karya ini, Gadha (senjata) yang disandarkan di paha sebelah kiri menunjukan konsidi keamanan saat itu cukup kondusif (aman).
Di tangan sebelah kanan Dwarapala memegang payung Tedung atau payung susun tiga mempunyai arti pelindung jagad dan menjadi symbol keharmonisan di Bhurloka (dunia yang tidak abadi), Bhurvaloka (dunia yang telah disucikan), Swarloka (dunia para suci). Keharmonisan ketiga dunia ini menjadi prioritas dan tanggung jawab yang utama bagi Sang Pamomong.
Ditangan sebelah kiri Dwarapala menyangga semesta yang digambarkan gunung dan matahari. Kemakmuran yang ada di alam semesta menjadi hal yang penting juga untuk dijaga dan dilindungi untuk keberlangsungan hidup makhluk-makhluk di dalamnya.
Adapun lukisannya berjudul “Manah Manembah Ing Jagad Ageng (Nyawiji)” merupakan refleksi dari kejadian yang berlangsung ketika Covid-19 yang muncul di akhir 2019 dan menyebar dengan amat cepat hampir di seluruh dunia dan menjadi pandemi yang membuat banyak hal menjadi lumpuh. manusia seperti di ‘ingat’kan untuk berdiam dan menahan hasrat dan keinginannya. Social distancing dan pembatasan gerak di berbagai sektor membuat manusia seperti terserabut dari kebiasaan dan tingkah lakunya.
Keadaan yang membuat manusia tidak bisa kemana mana dan berada di rumah terasa seperti ‘semesta’ menegur manusia untuk berdiam sejenak. Diam yang tidak hanya sekedar diam, diam yang meraba apa yang telah dilupakan oleh manusia selama ini. Diam karena pandemi ini seperti jeda yang selama ini dibutuhkan manusia untuk mengevaluasi dirinya.
Perilaku manusia yang semakin jauh dari budi pekerti dan menghilangkan ‘kebijaksanaan’ tanpa mempertimbangkan efek bagi makhluk hidup lainnya dan bumi sebagai habitatnya. Banyak teknologi tercipta tanpa kearifan yang menyertainya, lebih banyak menghasilkan “sampah” yang dibutuhkan waktu bertahun tahun untuk mengurainya dan menjadi racun bagi bumi yang merupakan habitat dari manusia tersebut.
Keadaan tersebut menjadi latar belakang karya ini tercipta. Keadaan di tengah pandemi ini membuat kita harus melihat dengan ‘rasa’ atau hati. Rasa, hati dalam bahasa jawa adalah Manah yang meliputi kesadaran diri untuk berlaku dalam merespon keadaan di dirinya (Jagad Alit) dengan lingkungannya atau Semesta (Jagad Ageng). Diamnya manusia karena pandemi ini ternyata banyak berdampak baik bagi habitatnya.
Membaiknya kualitas udara di berbagi kota besar di dunia karena berhentinya berbagai pabrik dan berkurangnya alat transportasi yang digunakan menjadi bukti bahwa semesta memberikan contoh yang nyata untuk disadari oleh manusia.
Perekonomian yang lumpuh membuat manusia kehilangan pekerjaannya dan berbuntut pada keputus asaan, keadaan jiwanya menjadi goyah ditambah lagi aktifitas religious yang dibatasi menambah runyam keadaan manusia seperti Yoni yang kehilangan Lingganya manusia kehiangan arah dari perilakunya karena tidak bersinergi dengan Semestanya. Lingga tanpa Yoni tidak akan menghasilkan ‘kehidupan’
Manusia harus meposisikan Manah atau hatinya nya dalam keadaan ‘Manembah’. Manembah adalah ‘laku’ atau kesadaran manusia dalam sabar yang menerima dengan ikhlas dengan apa yang berlaku di alam semesta atau Jagad Ageng. Manembah digambarkan di dalam karya adalah posisi tangan Anjali Mudra yang dilakukan dalam wujud nyata dan alam pikirannya.
Manusia berdiam untuk bermeditasi meraba dan memahami laku mandala Semesta sebagai Jagad Ageng dan menjadi selaras dan menyatu didalam semesta sehingga terhindar dari perilaku tanpa budi pekerti dan kebijaksanaan yang tidak selaras dengan Semesta.
Karya “Manah Manembah ing Jagad Ageng (Nyawiji)” (Rasa atau hati yang menerima dengan ikhlas menyatu di dalam semesta ) mempunyai subject matter :
1. Yoni dengan kepala manusia yang terdapat tangan dengan posisi anjali mudra tersembul di ubun ubunya dan di setiap ujung yoni yang mengarah mata angin mengambarkan kehidupan hadir ketika manusia dan habitatnya selaras.
2. Bathara Anantaboga sang dewa naga penyangga bumi yang bergerak dinamis menggambarkan laku mandala yang ada didalam proses kehidupan.
3. Para dewa dewi yang terbang di sisi atas karya seperti relief Apsara yang terpahat di Candi Pawon menggambarkan dunia Svarloka.
4. Palang roda api menggambarkan sumber energi yang terpancar seperti matahari.
Menjadi selaras dengan semesta menjadi hal yang harus selalu diingat dan dilakukan demi terciptanya habitat yang ramah dengan manusia dan makhluk disekelilingnya selaras dengan semesta sang Jagad Ageng. Sehingga teknologi atau buah karya cipta rasa dikemudian hari setelah pandemi terlahir dari rasa yang berbudi pekerti dan bijaksana bagi kehidupan segala makhluk dan bumi.
Ke-10 perupa dari berbagai genre, dan berbagai daerah yang berpameran dalam tema “Kelompok Merdeka” di Jogja Gallery tersebut, masing-masing, Katirin, Sugiyo, Ariel Ramadhan, Arik S Wartono, Ray Bachtiar Drajat, Cipto Purnomo, Daniel Timbul, Heru Siswanto, Komroden Haro, dan Suranto Kenyung. (Feature of Impessa.id by Djuli Djatiprambudi-Antok Wesman)