Karya Patung Terracotta HERU SISWANTO Yang Dipamerkan Di Jogja Gallery Mendapat Apresiasi Kolektor Seni
Karya Patung Terracotta HERU SISWANTO Yang Dipamerkan Di Jogja Gallery Mendapat Apresiasi Kolektor Seni
Impessa.id, Yogyakarta: Seniman Patung Heru Siswanto bersama sembilan kawannya menggelar pameran seni 2D-3D dalam tajuk “Kelompok Merdeka” yang digelar di Jogja Gallery Jl. Pekapalan Alun-Alun Utara Yogyakarta, pada 15-29 Agustus 2024.
Heru Siswanto, kelahiran Bantul, 21 April 1979, beralamatkan di Ngrompang RT 94 Banyon, Pendowoharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta, berkarya sejak 1999 lewat karya Tugas Akhir di SMKN 3 Kasihan, Bantul Yogyakarta dan setahun berikutnya menggelar karyanya dalam Pameran Lorong di ISI Yogyakarta, dan aktif berpameran di berbagai acara.
Karya-karyanya pun telah terpampang di ruang publik di berbagai kota diantaranya, “Gandrung Terakota 1000”, Patung Penari di Taman Gandrung Terakota Banyuwangi, “Diponegoro dan Sudirman”, Ikon Kota Bantul Yogyakarta, Ikcon Desa Wisata Cikakak, Wangon, Banyumas,, Ikon Wisata Goa Kiskendo, Kulon Progo, Patung “Semangat Pemuda” di Baturaden, dan Patung “Soekarno” di Menara Teratai Pandang di Purwokerto.
Dalam pameran tersebut Heru Siswanto memajang beberapa karya terracotta nya, antara lain yang berjudul “Antlion”, “The Man and Horse of Kasongan”, “Tayub” dan Linuweh”. Kepada Impessa.id, Heru Siswanto menjelaskan makna dari setiap karyanya tersebut.
Karyanya yang berjudul “ANTLION” yang dalam Bahasa Jawa adalah “UNDUR-UNDUR”, hewan kecil yang mampu membuat hewan lain tak berdaya di habitatnya, hidup di tanah pasir kering. Biasanya sering ditemukan di samping rumah dan membuat jebakan dengan tanah halus. Serangga ini berjalan mundur sehingga membuat cekungan ketika ada semut atau hewan yang melintas masuk.
Antlion akan maju dan menarik kedalam sehingga semut akan masuk dan tertimbun pasir. Ibarat seorang panglima, pengatur strategi dan membuat lawan tak berdaya. Berani bersikap, bertarung dan mengambil resiko. Ilmu yang dapat diambil dari hewan ini adalah kita akan mampu berdaya dan memaksimalkan diri ketika berada di lingkungan sendiri namun sebaliknya kita akan lemah, gagap dan tak berdaya apabila berada di luar lingkungan.
Kemudian untuk karyanya yang berjudul “THE MAN AND HORSE OF KASONGAN” Heru menuturkan bahwa Kasongan merupakan suatu daerah yang tak lepas dari sejarah peradaban gerabah. Berawal dari matinya seekor kuda Prajurit Belanda di persawahan milik warga Kasongan pada jaman penjajahan Belanda. Karena takut, tentunya pemilik Kyai Song, sosok sesepuh sekaligus prajurit Diponegoro sekitar tahun 1830 mengajarkan membuat gerabah, generasi berikutnya adalah Ki Jembuk dilanjut oleh Ngadiyo, yang mengajarkan kepada anak cucunya membuat barang-barang gerabah.
Muncul tokoh-tokoh yang mempengaruhi perkembangan gerabah Kasongan diantaranya penduduk lokal, yaitu Ki Jembuk dan Ngadiyo, Akademisi diantaranya Widayat dan Sapto Hudoyo, serta dari pihak swasta dan Pemerintah.
Dengan berjalannya waktu Kasongan melahirkan pengusaha-pengusaha baru diantaranya, Yanto, Harmandi, Wali Joko, Suburjo sampai dengan Prof. Timbul Raharjo. Dari sini muncul ide membuat karya kuda yang merupakan icon gerabah Kasongan yang tidak lepas dari bentuk kuda tradisional dengan sedikit disederhanakan.
Perjalanan histori Kasongan yang dinamis, selaras dengan kemajuan jaman disimbolkan dengan Kuda. Sedangkan figur manusia sebagai simbol ketokohan yang mampu mengisi dan menginovasi untuk kemajuan Kasongan itu sendiri.
Selanjutnya untuk karyanya yang berjudul “TAYUB”, dia mengatakan Tayub merupakan tarian tradisional Jawa yang menggambarkan pergaulan figur laki-laki dan perempuan dalam mereïeksikan hubungan manusia dan alam semesta serta ungkapan rasa syukur kepada semesta dan Sang Pencipta.
Untuk karya nya berjudul “LINUWEH” sosok atau ïgur pemimpin tentunya memiliki kelebihan, kecakapan, wibawa, tegas, berani mengambil resiko, inovatif dan kreatif. Hal ini bisa dilihat dalam karya linuweh, figur manusia naik daun kluweh yang seolah-olah melayang terbang terkena angin yang bertumpu pada hewan Antlion.
Yaksa Agus dalam tulisan pengantar pameran menyebutkan bahwa karya-karya Heru Siswanto, karya-karya patungnya lebih tertarik pada seni tradisi di Jawa, tetapi lebih spesifik dari lingkungan kehidupannya, yaitu kawasan Kasongan, kawasan industri gerabah. Ada upaya untuk menghadirkan semangat dan energi tradisi yang paling dekat dengan kehidupannya. Bahan karya-karya tiga dimensinya seringkali mengeksplor dari apa yang ada di sekitarnya. Spirit kampung halaman dengan sejarah masa lalunya hingga pada perkembanggannya hari ini, adalah yang menjadi bagian dari eksplorasi dan idea karya-karyanya.
Lebih lanjut Yaksa Agus mengulas 10 perupa dari berbagai genre, dan juga perbedaan usia, mengusung nama “Kelompok Merdeka” sebagai nama kelompok mereka, yang terdiri dari Katirin, Sugiyo, Ariel Ramadhan, Arik S Wartono, Ray Bachtiar Drajat, Cipto Purnomo, Daniel Timbul, Heru Siswanto, Komroden Haro, dan Suranto Kenyung. Besar harapan jika kelompok ini terus konsisten berkarya dan menwujudkan kemerdekaan dalam berkarya.
Menurut Yaksa Agus, dalam pameran itu, dirinya menuliskannya judul tulisan dengan kata “Mer(d)eka” dengan memberi tanda kurung pada huruf 'd' karena lebih menggarisbawahi “karya-karya mereka dan seperti apa kata mereka, yang disampaikan melalui bahasa visual masing masing”. Bagaimana mereka menghadirkan “tanda” yang berupa konsep dari karya, dan juga “penanda” yang berupa unsur yang terasa pada karya mereka.
Kata Merdeka dalam bahasa Sansekerta, adalah maharddhika, sementara dalam bahasa Jawa, disebut mardika yang berarti kaya, sejahtera, dan kuat--bebas dari segala belenggu (kekangan), aturan, dan kekuasaan dari pihak tertentu. Dalam kata Bahasa Indonesia, merdeka bermakna bebas atau tidak bergantung namun independen.
Yaksa Agus menyebutkan bahwa atas nama Bangsa Indonesia, para Proklamator menyatakan kemerdekaan dari penjajahan bangsa asing, dan menjadikan bangsa ini memiliki kemerdekaan, dengan karakter dan spirit bangsa sendiri. Muncul pertanyaan, kedudukan seniman sebagai bagian dari Bangsa Indonesia, dan pada masa Soekarno mendapat tempat istimewa, apakah mampu berkarya dengan rasa merdeka?
Ataukah belenggu ketakutan dan ketidakpastian justru diciptakan sendiri dan diamini bersama dan sepuluh perupa yang mengikatnya dalam Kelompok Merdeka menjawab pertanyaan itu melalui karya yang dipamerkan di Jogja Gallery, yang mana antara seniman satu sama lain saling tidak ada keterkaitan. Masing masing bebas menawarkan gagasan tanpa harus dibatasi sekat-sekat tertentu, tema yang mengikat, atau kuratorial yang ketat. (Feature of Impessa.id by Antok Wesman)