Feature

Taman Sesaji Omah Budaya Kahangnan Pajangan Bantul Yogyakarta, Gelar JAMASAN TOSAN AJI

Taman Sesaji Omah Budaya Kahangnan Pajangan Bantul Yogyakarta, Gelar JAMASAN TOSAN AJI

Taman Sesaji Omah Budaya Kahangnan Pajangan Bantul Yogyakarta, Gelar JAMASAN TOSAN AJI

Impessa.id, Yogyakarta: Gallery Budaya atau Omah Budaya KAHANGNAN yang berlokasi di Jalan Pringgading RT 1 Guwosari, Pajangan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan Taman Sesaji -nya yang fokus pada Edukasi Literasi Sesaji, pada Jum’at (12/7/2024) menggelar Jamasan Tosan Aji, bersama, Ki Tedjo Murtopo praktisi Mpu Keris, Pelestari Tosan Aji dan Pelukis; dengan nara tanggap Eko Hand, seorang perform Mantra dan pelukis, dan nara hubung Hangno Hartono, budayawan wayang dan pelukis.

Taman Sesaji, adalah ruang tradisi yang eksis dengan kegiatan-kegiatan tradisi yang melibatkan sesaji didalamnya. Taman sesaji yang di gerakkan oleh Ki Hangno Hartono dan Eko Hand kali ini merespon tradisi Jamasan Tosan Aji dengan menggandeng seorang praktisi tosan aji Ki Tedjo Murtopo, seorang praktisi Tosan Aji yang komplit. Selain sebagai pelestari dan pemerhati, Ki Tedjo juga menekuni seni tempa tosan aji, yang di masa lalu disebut Mpu Jamasan Tosan Aji ini tentunya suatu peristiwa tradisi yang sangat lekat dengan sesaji. Sebelum dilakukan jamasan, dilakukan diskusi seputar tosan aji dan aktivitas apa aja yang dilakukan selama proses penciptaan, perawatan dan pelestarian tosan aji.   

(Hangno Hartono)

Penciptaan Tosan Aji adalah unik dan sebagai wujud pengejawantahan ilmu pengetahuan Sangkan Paraning Dumadi. Sebagai analogi pada proses terciptanya jabang bayi adalah perestiwa peleburan dua unsur (kedua unsur ragawi, kedua unsur jiwani) pada saat saresmi, demikian juga dengan tosan aji, terjadinya tosan aji adalah akibat terjadinya peleburan antar material yang digunakan. Tanpa adanya peleburan (dalam titik didih yang berbeda) antar material bilah-bilah Tosan Aji yang di inginkan tidak akan terjadi.

Kemudian pada saat bilah Tosan Aji sudah jadi, maka Sang Mpu memberikan narasi kepada pemesannya bahwa Tosan Aji tersebut adalah paparan dari refleksi kehidupan dari sang pemesan itu sendiri. Bilah Tosan Aji tersebut adalah media untuk mengenali diri dan asal usul (sangkan paran) dan juga penegas pemahaman bahwa Tosan Aji adalah "rewang” kanggo leladi kamulyaning manungsa. Suatu konsep tegas bahwa Tosan Aji adalah perangkat atau piranti sebagai alat bantu manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup menuju sangkan urip.

Tosan Aji sangat lekat dengan sesaji. Eksoteri dan isoteri melekat pada Tosan Aji dan tidak bisa dipisahkan, hal ini juga yang mendasari Tosan Aji juga tidak bisa dipisahkan dari sesaji. Sesaji adalah rumusan pengetahuan sebagi bentuk atau wujud atau simbol pemuliaan manusia manusia kepada Sang Mahahidup juga merupakan bentuk atau wujud atau simbol kesepakatan antara manusia dengan alam semesta dan entitas hidup lainya.

Dalam tradisi sesaji yang berkaitan dengan Tosan Aji mengenal adanya sesaji yang mengacu pada hari baik untuk melakukan sesaji pada Tosan Aji dan juga mengenal adanya sesaji yang mengacu pada Tayuh.

Mengenai seni Tayuh Eko Hand menyampaikan, “Sesaji yang mengacu pada tayuh ini bisa dimaknai sebagai refleksi interaksi manusia dengan Tosan Aji secara pribadi sehingga manusia mendapatkan informasi tertakait tradisi sesaji dan tata cara lainnya  secara khusus untuk Tosan Aji tersebut dari para pemilik terdahulu dari masa ke masa. Bahkan bisa mendapatkan banyak informasi, yakni, Nama Mpu pembuat Tosan Aji, Penamaan Tosan Aji dari Mpu pembuat, Pemesan atau pengguna (pemilik) pertama Tosan Aji, Maksud, tujuan dan kegunaan Tosan Aji, dan Kata kunci berupa mantra untuk pemanfaatan daya Tosan Aji tersebut secara maksimal. Informasi yang didapat itu juga bisa digunakan untuk melacak tangguh Tosan Aji tersebut,” ungkap Eko Hand.

Tawa renyah mewarnai diskusi Jamasan Tosan Aji ketika Ki Hangno Hartono menyampaikan, “Jamasan Tosan Aji adalah peristiwa budaya yang unik sangat membahagiakan.” Jika dimaknai pada kondisi sosial hari ini memang peryataan Ki Hangno Hartono ini benar adanya, karena peristiwa ini menjadi tradisi yang sudah jarang dilakukan oleh kebanyakan orang.

“Jamasan atau hamasuh bisa dimaknai dengan pembersihan atau penyucian Tosan Aji, hal ini sangat erat dengan sesaji,” ujar Ki Tedjo Murtopo.

Ki Iwan Hardo Pusoro menimpali, “Jamasan adalah penyucian kembali, maksudnya memaknai penyucian tersebut sebagai proses pembelajaran untuk kembali ke asal (sangkan paran).”

Dijawab oleh Ki Tejo, “Itu benar adanya, dalam tosan aji memang memuat ajaran untuk kembali ke asal atau kembali ke sangkan paran. Bahkan dalam dunia Tosan Aji sudah di design dengan pemakaian Tosan Aji di sesuaikan dengan usia. Misal ketika masih muda dengan keris dapur Jalak Sangu Tumpeng. Saat menjelang dewasa memakai keris dapur yang sesuai dan setelah tua dengan tosan aji berpamor Keleng.”

Suasana semakin seru ketika Niko, salah satu peserta jamasan mengkisahkan pengalamannya dengan salah satu kerisnya, “Keris dapur brojol punya saya, hanya dengan dicelupin di air kemudian airnya diusap ke perut orang yang mau melahirkan, langsung brojol, beneran, nggak pakai lama. Sampai saya bilang pada orang-orang yang minta tolong ke saya, saya wanti-wanti kalau mau mengusapkan ke perut yang mau melahirkan harus sudah ada dokter atau bidan atau perawat yang stanby. Iya beneran karena udah sering kejadian, ga pakai lama langsung brojol, sampai heran saya,” tutur Niko.

Menurut Eko Hand, ada dua alasan kenapa dilakukan Jamasan Tosan Aji, yang pertama karena mengacu pada tradisi periodik yang disebut hari tumpak landep, yaitu hari tumpak kasih (sabtu kliwon) yang berada di Wuku Landep. Hari ini dimaknai sebagai hari landep (tajam) maka disepakati bahwa hari tumpak kasih yang jatuh pada Wuku Landep untuk melakukan pembersihan pusaka (Tosan Aji) agar pusaka kembali suci, setajam kondisi awal dan tetap bertuah bahkan lebih kuat lagi tuahnya. Dengan isitilah lain dipasupati kembali.

Dengan mengacu pada versi ini sesajinya berupa bubur Sangkan Paran, bubur Sengkala, Tumpeng Putih, Ingkung, lauknya ikan asin dan terasi merah, sedah (sirih), kelapa puyuh muda dan buah-buahan.

Di era Mataram Sultan Agung terjadi pergeseran periodik dari acuan Wuku setiap 210 hari sekali ke acuan sasi (bulan) dalam tarik kalender Jawa 355 hari sekali pada hari Jumat Kliwon pada bulan Suro sesajinya.

Kini tradisi masih tetap berlangsung dengan mengacu pada hari Jemuwah Kliwon untuk Kraton Yogyakarta dan malem Selasa Kliwon untuk Kraton Pakualaman.

Faktor yang kedua, jamasan dilakukan dengan alasan situasional, yaitu dikarenakan pusaka berkarat, terkena noda atau terkena darah karena dipakai untuk menikam atau alasan lainnya. Sesaji untuk jamasan hari ini yang sering saya temui antara lain ingkung, Tumpeng Robyong dan Kembang Setaman.”  

Setelah acara diskusi, kemudian dilakukan jamasan dengan kidmat, Ki Hangno, Ki Tedjo sudah mengenakan pakaian adat. Dimulai oleh Eko Hand dengan japa jawab, kemudian dilanjutkan njamasi tosan aji oleh Ki Tedjo Murtopo, Eko Hand bergeser posisi sebagai pengering (pengelap air yang menempel pada Tosan Aji) kemudian kembali Ki Tedjo melanjutkan tahap berikutnya, yaitu meminyaki Tosan Aji sampai selesai.

Jamasan Taman Sesaji ditutup oleh Ki Hangno Hartono dengan Closing Statement, “Jamasan Tosan Aji bersama-sama merupakan aktivitas sosial yang membahagiakan, kebahagiaan antar waktu dan antar dimensi. Karena kebahgiaan yang dirasakan saat ini adalah juga pancaran kebahagiaan leluhur di masa lalu yang terekam pada bilah-bilah Tosan Aji yang di jamasi.” (Feature of Impessa.id by Hangno Hartono-Antok Wesman)