TEN FINE ART Bali Ikut Meramaikan LEBARAN SENI RUPA JOGJA
Impessa.id, Yogyakarta: Kelompok seniman dari jalan Danau Tamblingan Sanur, Bali yang tergabung kedalam TEN FINE ART, masing-masing, I Wayan ‘Anyon’ Muliastra, I Made Budiadnyana, I Made ‘Dolar’ Astawa, Ida Bagus Putu Purwa, AA Ngurah Paramarta, I Wayan Paramarta, I Made ‘Romi’ Sukadana, I Ketut Teja Astawa, dan Vinsensius Dedy Reru, turut mewarnai Lebaran Seni Rupa Jogja melalui pameran di Kedai Kebyn Forum -KKF Yogyakarta pada 24-30 Juni 2024 yang diinisiasi oleh NR Manajemen Yogyakarta., dan secara resmi dibuka oleh Soewarno Wiusetrotomo.
Maria Novita Riatno, dari NR Manajemen dalam tulisan pameran HUT Ke-20 Ten Fine Art, pada 27 Juni 2024, menyebutkan bahwa karya seni rupa memainkan peran penting dalam memperkaya tatanan budaya suatu komunitas. Melalui karyanya mereka menangkap esensi dari pengalaman, tradisi, dan nilai-nilai manusia, melestarikannya untuk generasi mendatang. Dengan menggambarkan lanskap lokal, peristiwa bersejarah, dan isu-isu sosial. Selain itu, karya kreatifitas sering kali menjadi cerminan keragaman masyarakat, yang memungkinkan untuk merayakan perspektif dan narasi yang berbeda.
Kehadiran seniman dapat berkontribusi pada vitalitas ekonomi dan wisata suatu komunitas. Pameran, event artistik, galeri, dan instalasi seni publik menarik pengunjung, menstimulasi bisnis lokal, dan berkontribusi pada kemakmuran daerah tersebut secara keseluruhan. Seniman sering kali berkolaborasi dengan para profesional kreatif lainnya, seperti musisi, penulis, dan pemain, sehingga menciptakan permadani yang kaya akan persembahan budaya yang menarik perhatian wisatawan dan penduduk setempat. Sebagai hasilnya, masyarakat mendapat manfaat dari peningkatan visibilitas, pertukaran budaya, dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam pada itu, ketika Impessa.id menemui Dolar Astawa, salah satu perwakilan dari Ten Fine Art, dirinya mengungkapkan rasa senangnya setelah pameran kelompoknya tersebut sepenuhnya di-handle oleh NR Manajemen Yogyakarta.
“Ada NR Manajemen kolaborasi dengan kita itu sangat, sangat membantu, dan mempermudah terselenggaranya, terpilihnya sebuah event sehingga segala sesuatunya lebih professional, masalah waktu, masalah pen-display-an, masalah semuanya, itu sangat luar biasa, dam mudah-mudahan muncul NRM-NRM yang lain, yang bisa menjembatani seniman ke penikmat. Ini sangat penting, ada jembatan antara seniman pelaku seni dengan penikmat seni. Secara teknis itu sangat luar biasa, mulai dari persiapan sampai terselenggaranya pameran. Dulu sebelum ada manajemen professional seperti NRM ini, seniman kalau ingin berpameran selalu melakukan pekerjaan semuanya sendirian, itu sangat berat bagi seniman. Kini dengan adanya manajemen professional seperti NRM sangat bermanfaat bagi para pelaku seni, dan kami, Ten Fine Art senang bisa nimbrung di momentum Lebaran Seni Rupa di Jogja kali ini,” ungkap Dolar Astawa kepada Impessa.id.
Dr Mikke Susanto, Dosen ISI Yogyakarta ketika dimintai pendapatnya terkait kehadiran manajemen professional yang menangani pameran kepada Impessa.id beliau menuturkan.
“Kolaborasi dan ajakan untuk kerjasama itu hal biasa di pameran, dan kali ini ketika NR Manajemen mengajak sebuah kelompok dari luar Jogja itu juga tidak biasa. Jadi sebenarnya diluar kebiasaan, meskipun ada orang ngomong, banyhak kelomppok-kelompok yang diajak, tetapi bukan oleh organizer atau manajemen yang professional, Nah ketika sekarang ada di Jogja itu artinya ada korelasi untuk menindaklanjuti perpanjangan infrastruktur Jogja di Bali atau sebaliknya. Sehingga misalnya temen-temen perupa Bali ketika pameran di Jogja, jembatannnya sudah terbentuk,” tutur Dr Mikke.
Dikatakan, “Dengan asumsi itu maka kita bisa memulai satu kerjasama lebih lanjut, bkan hanya Bali, tetapi nanti juga perupa-perupa dari daerah lain. Diluar Jawa bahkan. Sehingga ketika banyak seniman dari luar Jawa bertanya kepada kita bagaimana caranya agar bisa pameran di Yogyakarta? Nah salah sartu jalurnya adalah menarik perhatian manajemen professional. Oleh karena itu jadi tidak bisa lagi seorang perupa, Seniman di daerah luar sana mengaku amatiran. Sehingga dalam hal ini semua perupa dimanapun harus berlaku professional, sehingga nanti ada keseimbangan dan matrikulasi yang sama, posisi maupun reputasi,” ungkap Dr Mikke.
“Bangunan ini memang baru, belum mulai intensif, baru mujlai sekarang atau kemarin-kemarin tetapi sifatnya personal. Ada ajakan dari manajemen professional dari Jogja tapi individu-individu yang diuandang. Kali ini pameran yang dilakukan adalah kelompok, jadi ini fenomena baru menurut kita. Pameran ini bisa menandai bahwa semangat untuk menggelorakan Jogja sebagai bagian dari perhelatan nasional, di Tengah ArtJog, itu juga ditandai sebagai bagian dari upaya untk menggerakkan stakeholder seluruh Indonesia,” imbuhnya.
Menurut Dr Mikke Susanto, “Mungkin yang sekarang menjadi perhatian memang Jogja, dengan ratusan pameran selama dua bulan kedepan (Juli-Agustus), paling tidak ini juga menandai bahwa event seni rupa sebanyak ini tidak mungkin dilaksanakan dimanapun di luar negeri, Singapura hanya bisa lima ataupun sepuluh pameran, tapi kalau fenomena ratusan pameran ini dikaji lebih lanjut maka akan melahirkan tesis bahwa ini adalah peristiwa tahunan, annual event, yang tidak di rekayasa. Ini alami, semua orang ingin melaksanakan pekerjaan tanggungjawabnya sebagai seorang Seniman,” jelasnya.
Lebih lanjut dikemukakan, “Ketika ekosistem Jogja sudah sedemikian dinamis, saya tidak menyebutnya ideal, karena ekosistem seni rupa Indonesia itu di Jogja paling lengkap, infrastrukturnya dan ini menyebabkan dinamika pameran, diskusi, seminar, wacana itu lahir terus menerus dan akibatnya ya kita bisa merasakan bahwa hampir tidak pernah libur berpameran, bahkan diluar bulan-bulan ArtJog. Kalau kita merasakan getaran seninya ini bisa sampai Magelang bisa sampai Klaten dan kota-kota disekitar Jogja.
“Hal itu menyebabkan tidak ada kota yang sekondusif Jogja dengan melahirkan ratyusan pameran selama sebulan dan itu diberdayakan sendiri oleh masyarakat, dukungan pemerintah kecil, meskipun ada, artinya ini kan tidak digerakkan oleh pemerintah. Ini digerakkan murni oleh teman-teman seniman, karena ingin menyiapkan dirinya, menyajikan dirinya secara langsung kepada publik. Hal ini menyebabkan masyarakat Jogja punya event tahunan yang luar biasa. Event LEBARAN SENI RUPA,” jelasnya lebih lanjut.
Ketika dimintai pendapat mengenai peluang kedepan, Dr Mikke menyebutkan, “Secara umum peluang lembaga seperti NR Manajemen sangat seksi dimasa depan. Seniman di Jogja itu kira-kira berjumlah 10-ribu-an, kalau satu manajemen mengelola lima seniman saja sudah kewalahan, melayani pameran atau melayani event-event, artinya NR Manajemen bisa melaksanakan profesionalnya semacam ini menjadi sebuah contoh yang bagus, untuk focus kepada manajemen seni rupa, tidak hanya pertunjukan saja, yang selama ini muncul. Di seni rupa model-model NR Manajemen ini bukan yang pertama sih, tapi kemudian bisa menjadi contoh bagaimana menggerakkan anak-anak muda untuk bekerja sebagai pengelola seni. Bukan nhanya sekedar panitia biasa yang secara regular bekerja itu-itu saja,” ujarnya.
Dr Mikke menyatakan bahwa membuat pameran itu juga membuat ide, kuratprial juga, tidak seperti EO -Event Organizer, karena EO itu mengerjakan apa yang sudah direncanakan oleh perencana, kalau manajemen itu membuat ide, membuat gagasan pameran, membuat keputusan-keputusan yang sifatnya memang agak politis dimata masyarakat, semisal, politik pasar mauapu politik ideologis.
“Saya kira NR Manajemen akan memberikan suatu contoh yang menarik karena nanti dimasa depan event itu akan menjadi produk kreatif tak benda, jadi kalaupun pameran yang dipamerkan misalnya lukisan, maka kemudian intangible event akan menjadi kenangan sebuah kota, kenangan sebuah Masyarakat yang beradab. Masyarakat yang tidak tenang tidak akan bisa membuat event. Masyarakat yang tidak mencapai level kebutuhan pokoknya tidak akan bikin event,” tukas Dr Mikke Susanto.
Ditambahkan, lewat pameran TEN FINE ART di KKF Yogyakarta, maka semakin banyak presentasi dari luar Jogja akan semakin bagus untuk menandai bahwa Jogja memang pantas sebagai pusat kesenian, tidak terfokus pada satu titik seperti halnya di Jakarta, di Taman Ismail Marzuki, atau di Galeri Nasional, tetapi di Jogja, hamper semua wilayah menjadi titik-titik penting dalam perkembangan seni di Indonesia.
Mengenai Jogja sebagai Kota Evenet Dr Mikke berpendapat itu bagian dari peringatan, “Bahwa sebuah event ketika digelar kita punya kewajiban-kewajiban didalamnya, kewajiban untuk menjaga dan merawat Jogja ini agar tetap bersih, nyaman dan terkendalli, disatu sisi, kita harus punya sistem agar event-event yang digelar itu juga membuat masyarakat dalam kota sendiri juga merasa punya ‘gawe’ itu yang jauh lebih penting,” tegasnya. (Feature of Impessa.id by Antok Wesman)