Feature

Joelya Nurjanti Gelar Pameran Tunggal Perdana Bertajuk Teriris Hujan, di Mediterranea Restaurant Yogyakarta, 17 Mei – 17 Agustus 2023.

Joelya Nurjanti Gelar Pameran Tunggal Perdana Bertajuk Teriris Hujan, di Mediterranea Restaurant Yogyakarta, 17 Mei – 17 Agustus 2023.

Joelya Nurjanti Gelar Pameran Tunggal Perdana Bertajuk Teriris Hujan, di Mediterranea Restaurant Yogyakarta, 17 Mei – 17 Agustus 2023.

Impessa.id, Yogyakarta: Aa Nurjaman dalam tulisan kuratorial pameran tunggal perdana Joelya Nurjanti di Mediterranea Restaurant Yogyakarta yang berlangsung pada 17 Mei – 17 Agustus 2023, menuturkan bahwa karya-karyanya nampak beragam metafor yang mengutarakan permasalahan kejiwaannya dan Joelya mengusulkan judul “Teriris Hujan”.

Suatu judul yang menimbulkan pertanyaan: ada apa dengan hujan? Padahal karya-karyanya bisa dibilang tidak menampilkan gambaran realistik tentang hujan, tetapi kenapa istilah ‘hujan’ seakan mewakili keseluruhan metafor dalam karya-karyanya? Judul itu memerlukan sudut pandang yang tepat guna membedah beragam metafor dalam karya-karyanya. 

Joelya Nurjanti atau panggilan akrabnya Ia, lahir dan tumbuh besar di kota Bandung. Beragam pengalaman pahit menempanya untuk menjadi seorang perempuan maupun seorang ibu yang mandiri. Dalam suatu pertemuan Ia mengemukakan alasan tentang hujan yang begitu menginspirasi karya-karyanya,

“Aku sangat senang dengan hujan, dengan aroma tanah yang terasa intim disertai kesejukan yang merasuk jiwa. Dan terlebih dari itu semua, dalam suasana hujan aku bisa mengungkapkan perasaanku sepuasnya tanpa diketahui orang-orang disekelilingku. Ibuku, anak-anakku, adik-adikku, karena aku menumpahkannya sambil hujan-hujannan. Ketika air mataku bercampur-baur dengan air hujan, mataku tidak kelihatan sembab,” (Joelya, 20 Maret 2023).

Pengalaman kehidupannya bagaikan kertas putih yang diremas, kemudian dibukakan dan diratakan kembali, yang tentu saja selalu menyisakan lipatan-lipatan tajam. “Aku bisa saja memaafkan, tapi tak mungkin bisa melupakan.” Tetapi sebenarnya pengalaman itulah yang kini begitu berharga, sebab dari sana timbul gagasan-gagasan metaforis yang kemudian tekspresikan ke dalam karya-karyanya.

Sudut Pandang ‘Persona’

Ia merasa selama hidupnya menjadi orang lain. Apa-apa yang dilakukannya bukan berasal dari hati-nuraninya, tetapi selalu didasari pengawasan pihak lain. Maka dalam menganalisis karya-karyanya saya menggunakan konsep ‘persona’ yang didefinisikan oleh Carl Gustav Jung dalam buku Diri yang Tak Ditemukan yang merupakan salah satu dari teori Psikologi Analitik. Menurut Jung ‘persona’ adalah topeng yang dipakai oleh pribadi sebagai tanggapan atas tuntutan-tuntutan kebiasaan dan tradisi masyarakat serta kebutuhan-kebutuhan arketipal. Topeng bertujuan menciptakan kesan tertentu pada orang lain untuk menyembunyikan hakikat pribadi (Jung, 2018: 182).

Dalam buku Diri yang Tak Ditemukan diungkapkan dua dasar kejiwaan yaitu shadow dan psyche (psike) atau (ego) untuk mencapai tujuan tertinggi yaitu ‘self’. Shadow adalah Hasrat untuk menguasai yang disertai keingginan jahat yang disebut bayang-bayang atau imajinasi tentang keburukan. Sedangkan psike atau ego adalah kepribadian yang terbentuk berdasarkan pertimbangan rasio atau akal sehat.

Apabila kita padukan, teori Jung masih sejalan dengan teori gurunya, yaitu Sigmund Freud. Freud membagi kepribadian menjadi dua: id sebagai hasrat dan ego sebagai rasio. Segala tindakan manusia, menurut Freud, berdasarkan id atau hasrat, yang kemudian diarahkan melalui pertimbangan rasio (ego)nya. Di luar itu terdapat tingkatan yang lebih tinggi yaitu super ego. Super ego adalah jiwa yang terbentuk oleh suatu hal di luar kekuatan manusia, Tuhan Yang maha Kuasa. 

Berpijak kepada konsep Jung, saya menganalisis sikap Ia sebagai seorang ‘persona’, yaitu seseorang yang bukan dirinya sendiri. Dan melalui karya-karyanya Ia menumpahkan keinginannya untuk menjadi diri sendiri.

Rupaku ‘Persona’ku

Karya-karya Joelya baik lukisan maupun drawing yang dipamerkan memperlihatkan objek-objek gambaran metaforis dari tubuh-tubuh yang tak lengkap, semisal karya yang sedang merindukan kedamaian seperti tercermin pada metafor ‘love’ di dadanya. “Aku bagai pungguk merindukan bulan”. Karya drawing berjudul “I Play a Losing Game” (2021), menggambarkan wajah tokoh Batman tetapi bermulut tengkorak dan memiliki tiga pasang mata.

Karya itu menggambarlkan aktivitas dirinya yang selalu merasa dimata-matai di setiap tempat. Karya drawing yang cukup tajam metaforisnya adalah yang berjudul “Teriris Hujan”, hujan membuat Ia lega dan bahagia karena bisa menumpahkan air mata sepuas-puasnya tanpa diketahui orang lain di sekelilingnya.

Dalam lukisan “New Hope” (2021) Ia mengutarakan gambaran harapan baru dengan garis-garis tegas berwarna biru dan kuning yang membentuk tengkorak-tengkorak yang masing-masing memiliki tiga pasang mata. Garis-garis itu ditimpa oleh garis-garis bewarna putih yang membentuk objek-objek yang sama. Terdapat tulisan ‘new hope’, ‘letter’ dan ‘symponi’, suatu ungkapan mengenai keterjebakkan dalam situasi dan kondisi yang sama.

Garis-garis yang membentuk tengkorak itu bisa disebut simbol logika, yang justru menekan perasaannya untuk semakin terkubur dalam kehidupannya. Namun demikian, Ia masih bisa bertahan karena salah satu alasan bahwa setiap cobaan ternyata menimbulkan harapan baru.

Dalam lukisan “Something Worth it to Fighting For” (2022) Ia mengutarakan perjalanan hidupnya sebagai seorang single parent yang selalu merasa bahwa masa depan selalu layak untuk diperjuangkan, walau mata-mata selalu mengintai ketika ia berada di luar rumah. Namun demikian, harapan terus tumbuh, pikiran harus tetap optimis dalam menghadapi apapun yang terjadi.

Kemudian karya lukisan “Mother Heart” (tanpa tahun) yang dengan jelas Ia mengutarakan siapa dirinya. “Jantung hati seorang ibu tidak lain hanyalah harapan bahwa anak-anak akan bertumbuh dengan baik, terarah dan terhormat sebagai manusia”. 

Sedangkan karya yang bisa disebut sebagai kesimpulan adalah sebuah lukisan berjudul “Free Bird” (2022). Dalam lukisan itu Ia menampilkan seekor burung yang sedang terbang. Burung itu memiliki tiga pasang mata, paruh yang menganga dan memiliki gigi-gigi tajam juga memiliki jengger seperti ayam jantan berbentuk tiga buah kerucut yang runcing. Lukisan itu menurut Aa Nurjaman menggambarkan perjuangan seorang Joelya Nurjanti untuk menjadi dirinya sendiri.

Penemuan Diri

Karya-karya Ia mengetengahkan metafor-metafor yang erat dengan kehidupannya. “Yang paling berharga bagiku adalah kebebasan, sebab dalam kebebasan terdapat nilai moral yaitu saling menghargai” (Joelia, 20 Maret), seperti terungkap dalam lukisannya yang berjudul “Free Bird” (2022).

Beragam metafor yang terlukiskan dalam karya-karya Ia adalah tindakannya dalam mengatasi apa yang dalam teori Jung disebut ‘shadow’. Shadow adalah bayang-bayang kegelapan atau pikiran-pikiran negatif yang terdapat pada diri setiap orang. Shadow atau bayang-bayang mencerminkan sisi binatang yang diwarisi manusia dalam evolusinya dari bentuk-bentuk kehidupan yang lebih rendah (Lindzey, 1993: 190). Shadow ini dapat dikatakan sebagai suatu problem moral yang menantang keseluruhan kepribadian ego, karena tidak seorang pun dapat menyadari shadow-nya tanpa usaha moral yang besar (Jung, 1987: 99).

Melalui proses berkarya, Ia mengarahkan kejadian-kejadian masa lalu kepada terjadinya keseimbangan antara ketegangan aktif dengan ketenangan pasif, yang merupakan suatu kerja yang berjalan terus menuju pada tujuan tertentu, yaitu menjadi dirinya sendiri. Jung mengungkapkan bahwa seseorang yang memperjuangkan keyakinannya untuk menjadi dirinya sendiri disebut ‘self’. Self atau diri dapat juga dikatakan sebagai psike (psyche) yang merupakan kepribadian secara keseluruhan sehingga tercapai suatu kesatuan (Lindzey, 1993: 191). Maka melalui pameran ini diharapkan apa yang menjadi shadow, mulai terkikis, tidak perlu lagi menunggu hujan untuk menyembunyikan keadaan.

Melalui pameran tersebut Ia berusaha mengkomunikasikan perasaannya, karena pada dasarnya karya seni adalah bahasa sang seniman dalam mengkomunikasikan pengalaman batinnya kepada semua ruh manusia lain, komunikasi misteri kehidupan yang terdalam tentang segala kejadian. Itu sebabnya pada tingkat terdalam seni selalu ‘religius’ bahkan ‘mistis’.

Sebenarnya mistik dan religiusitas berakar pada pengalaman keseharian, pengalaman tentang keajaiban bentuk akibat drama kehidupan. Maka tak heran kalau John Dewey menyebut karya seni sebagai paradgma pengalaman. Karena pengalaman itulah yang akhirnya mengubah sikap reaktif (menjawab) menjadi kreatif (mencipta); kecenderungan reseptif (mencerap) menjadi formatif (membentuk) (Dewey, 1934). Pengalaman indrawi yang menyentuh intuisi lalu membukakan imajinasi kreatif.

Oleh karenanya kita melihat kehidupan Joelya Nurjanti seperti apa yang dikatakan Carl Gustav Jung sebagai ‘persona’ atau topeng, karena kenyataan hidup sesungguhnya bagi Ia adalah apa yang diimajinasikannya. Melalui pamerannya kali ini, Ia sesungguhnya sedang berproses untuk membuang topeng itu dan menjadi dirinya sendiri”. (Banguntapan 30 April 2023, Aa Nurjaman/Arya Pandjalu/Antok Wesman-Impessa.id)