Feature

Jun Kitazawa, Seniman Jepang, Gelar Karya Di Galeri Lorong Nitiprayan, Jeblog, Tirtonirmolo, Kasihan-Bantul, Yogyakarta, 6 Juli - 2 Agustus 2022

Jun Kitazawa, Seniman Jepang, Gelar Karya Di Galeri Lorong Nitiprayan, Jeblog, Tirtonirmolo, Kasihan-Bantul, Yogyakarta, 6 Juli - 2 Agustus 2022

Jun Kitazawa, Seniman Jepang, Gelar Karya Di Galeri Lorong Nitiprayan, Jeblog, Tirtonirmolo, Kasihan-Bantul, Yogyakarta, 6 Juli - 2 Agustus 2022

Impessa.id, Yogyakarta: ‘Fragile Gift’ yang diinisiasi oleh Jun Kitazawa, dirancang sebagai sebuah proyek jangka panjang yang mengeksplorasi sejarah pendudukan Jepang di Indonesia beserta warisan-warisannya. Masa pendudukan Jepang terbilang singkat, yakni 3,5 tahun, tetapi menimbulkan trauma yang mendalam bagi masyarakat Indonesia. Nakajima Ki-43 Hayabusa, pesawat tempur taktis yang digunakan Kekuatan Udara Angkatan Darat Jepang (JAAF) semasa Perang Dunia II, menjadi titik berangkat Jun Kitazawa untuk membicarakan sesuatu yang seringkali absen dalam narasi sejarah arus utama di Jepang.

Pameran dengan kurator Arham Rahman, merupakan langkah awal bagi proyek ‘Fragile Gift’, yang dibuka pada 6 Juli 2022 di Galeri Lorong, Yogyakarta, berlangsung hingga 2 Agustus 2022. Pameran ini juga merupakan pameran tunggal pertama Jun Kitazawa di Indonesia. Sebelumnya, seniman asal Jepang yang kini berdomisili di Yogyakarta tersebut, pernah mengerjakan sebuah proyek yang diberi tajuk ‘Nowhere Oasis’, terinspirasi dari angkringan di Yogyakarta. Angkringan tersebut diboyong ke Tokyo, berkolaborasi dengan orang-orang Indonesia yang tinggal di sana, mereka membuka warung angkringan di pinggir jalan. Lewat proyek tersebut, Kitazawa berupaya memunculkan ‘estetika sehari-hari’ yang dia pandang mulai hilang dari masyarakat Jepang. Proyek ini mendapat banyak perhatian dari masyarakat Tokyo dan pernah ditampilkan pada salah satu side event Biennale Jogja Equator 5, 2019.

Pertemuannya dengan orang-orang di Indonesia, termasuk sejumlah orang yang hidup di masa pendudukan Jepang, mendorong Kitazawa untuk mengerjakan proyek ‘Fragile Gift’. Dari pertemuan-pertemuan tersebut, Kiazawa mendapatkan banyak cerita tentang kehidupan di Indonesia, khususnya Jawa pada masa-masa pendudukan Jepang.

Di dalam pameran, Kitazawa menampilkan sejumlah karya, termasuk bagian karya on progress, layang-layang Hayabusa yang akan diterbangkan di Jepang. Bagian-bagian dari rencana karya tersebut adalah sebuah potongan sayap, sayap-ekor pesawat, dan ekor layang-layang dengan panjang 30 meter dan lebar 4,5 meter. Di atas ekor kain layang-layang tersebut dicetak 61 kutipan pernyataan/kesaksian penyintas atau orang-orang yang pernah hidup di zaman Jepang. Kutipan-kutipan tersebut dikumpulkan dari berbagai jenis sumber yang tersedia secara daring, yakni kanal-kanal YouTube (wawancara dan dokumentasi media), media massa, dan kutipan dari arsip Tokyo Tribunal.

Adapun gambar dan foto yang dicetak di atas kain yang membungkus potongan sayap serta sayap-ekor pesawat bersumber dari majalah propaganda pemerintah militer Jepang di Indonesia pada masa pendudukan, yakni majalah Djawa Baroe, yang telah diapropriasi oleh Kitazawa. Sumber yang sama juga dimanfaatkan dalam membuat sejumlah karya drawing yang turut ditampilkan dari pameran.

Selain karya-karya tersebut, Kitazawa juga menampilkan purwarupa dari layang-layang Hayabusa. Layang-layang Hayabusa, selain terinspirasi dari pesawat Nakajima Ki-43 Hayabusa yang salah satunya tersimpan di Museum Dirgantara Mandala, Yogyakarta, juga turut mengadopsi konsep bentuk layang-layang raksasa di Bali. Kitazawa sempat berkunjung ke Bali dan menyaksikan sebuah layang-layang yang berbentuk seekor naga. Kitazawa menggabungkan konsep dari dua objek tersebut, menghasilkan sebuah bentuk layang-layang dengan badan pesawat Hayabusa dan ekor panjang dari seekor naga dalam mitologi Jawa-Bali.

Nakajima Ki-43 Hayabusa yang kini berada di Museum Dirgantara Mandala merupakan satu dari empat pesawat peninggalan Jepang di samping dua pesawat Cureng (Yokusuka K5Y-Shinsitei) dan sebuah pesawat Guntei. Pesawat tersebut turut dipergunakan saat perang kemerdekaan setelah sayap-ekornya diberi lambang merah putih. Pesawat tersebut telah berada di Indonesia selama kurang lebih 80 tahun, menjadi saksi sejarah zaman pendudukan Jepang sekaligus saksi bagi relasi dua negara pasca-kemerdekaan hingga sekarang.

Proyek ‘Fragile Gift’ berkepentingan untuk membawa kembali Ki-43 Hayabusa ke Jepang secara simbolis dalam bentuk layang-layang. Ia kembali dalam wujud yang berbeda dengan segala beban sejarah yang dipikulnya. Proyek itu juga diharapkan dapat menjadi proyek kolaborasi, di mana orang-orang dari Indonesia dan Jepang bisa saling berdialog tentang hubungan di masa lalu yang pahit sembari membayangkan masa depan semacam apa yang bisa dibentuk secara bersama-sama. (Sarah Rayhana-Studio Belimbing/Antok Wesman-Impessa.id)