Itok-Radetyo Sindhu Utomo, Gelar Pameran Tunggal, De-Signing Phantasmagoria, di Indiearthouse Yogyakarta, 22 Mei Hingga 4 Juni 2022
Itok-Radetyo Sindhu Utomo, Gelar Pameran Tunggal, De-Signing Phantasmagoria, di Indiearthouse Yogyakarta, 22 Mei Hingga 4 Juni 2022
Impessa.id, Yogyakarta: Radetyo Sindhu Utomo yang akrab disapa Itok, menggelar pameran tunggal perdananya bertajuk “De+Signing Phantasmagoria” di Indiearthouse Jl. AS-Samawaat No99 Bekelan Tirtonirmolo Kasihan Bantul Yogyakarta, pada 22 Mei hingga 4 Juni 2022.
Dalam sambutan pada pembukaan pameran yang dilakukan oleh Samuel Indratma, kurator pameran Sudjud Dartanto menjelaskan makna dari tajuk “De+Signing Phantasmagoria” tersebut.
A term in tension, phantasmagoria takes on the weight of modern dialectics of truth and illusion, subjectivity and objectivity, deception and liberation, and even life and death. (Tom Gunning, Illusions Past and Future: The Phantasmagoria and its Specters, 2004)
“Fantasmagoria adalah citra dari sebuah kerja artistik untuk menghidupkan opsi estetika yang tidak selalu berurusan dengan kategori keindahan yang umum, misalnya pada gambaran keindahan alam raya, namun sebuah ‘keindahan magis’. Kita dapat mengartikannya sebagai penjelajahan atas estetika apokaliptik (ketersingkapan),” tutur Sudjud Dartanto.
Dikatakan, Radetyo ‘Itok’ Sindhu Utomo, sosok yang lama melintang di dunia desain grafis, kini menghadirkan sisi subyektifasnya melalui pameran tunggalnya yang mengekslorasi berbagai rentetan citra fantasmagoria yang digambar secara organik. Hasilnya seperti sulur cerita yang terkait dan berkelindan antara satu fragmen narasi ke narasi yang lain dan membentuk lanskap citra luas, dan tidak cukup hanya memahami dan memandang dalam satu penggalan saja. Sembilan karya gambar yang dihadirkan Itok menghadirkan citra estetika yang jarang dieksplorasi oleh perupa. Itok mengambil sudut pandang dari ruang liminal dan dari situ ia menemukan mata air inspirasi yang baginya menggairahkan.
Sebagai pribadi yang besar dengan cara pandang sebagai desainer, Itok memandang gambar sebagai solusi atas berbagai pertanyaan eksistensial dan permenungan spiritual: makna menjadi manusia dalam perjalanan hidupnya yang penuh dengan cerita atas pencarian spiritual dalam kehidupan sosial dan peradabaan yang melatarbelangi. Solusi dalam konteks ini tentu bukanlah solusi praktis, namun sebuah strategi keluar dari hukum atau kaidah narasi yang memerlukan keterkaitan logis. Oleh Itok, hubungan logis itu dibuyarkan menjadi hubungan imajiner, hasilnya adalah kebebasan dalam mengeluarkan apa yang Itok tafsir atas permenungannya pada ‘ada dan tiada’. Pameran Itok tersebut menjadi caranya dalam mendesain (designing) sekaligus menandai (signing) sebuah fantasmogaria dalam kesadaran estetiknya.
“Itok ikut mewarnai Jogja,” aku Nasirun ketika dikonfirmasi Impessa.id, disela-sela pameran. “Terimakasih kepada Kanjeng Korona, karena senyap ini, maka uneg-uneg mereka terkanvaskan dan menjadi bahasa rupa, Dia punya kegelisahan untuk direperesentasikan kepada publik. Yogyakarta menunggu terus presentasi-presentasi bagi orang-orang yang dipaksa atau tidak dipaksa, harus berkontemplatif, bukan kontempolatif didepan internet atau menonton drama korea, Lha ini ada kegembiraan, ada imun, dan yang terakhir saya kira kita selalu menyebut kata seleksi alam, ya alam-lah yang hari ini yang menyeleksi, dalam siklus seratus tahun mungkin dia mengalami pandemi. Itu yang menarik. Di karyanya ini detail, detail sekali, memang sih terasa disainnya masih kuat. Tapi sebagai awal ya luar biasa. Pas eranya tentang visual art yang tidak melilhat dari mana keberangkatan, apa dari applied ataupun fine," jelas Sang Maestro Nasirun.
Pendapat Nasirun terkait konsistensi. "Tentu ditantang oleh kuntinyuitas. Kenapa pendahulu kita juara? karena dia merasakan. Apakah ini sebagai bahasa curhat, curhat rupa karena dia punya latarbelakang, ataupun mau gak sih ada iktiar untuk merasakan. Karena kalau merasakan tanpa disadari kita melakukan riset, tetapi kita gak pernah nyebut riset, on the spot, melihat rasanya Tamansari, bisa melihat rasanya Prambanan, rasanya Kaliurang, walaupun gambarnya itu pribadi, person-nya tetep Itok ataupun saya, tetapi Tuku Rasa. Semesta sebagai saksi tentunya," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, kepada Impessa.id, Sudjud Dartanto menuturkan, “Warna dari Itok menambah vocabulary khasanah seni gambar seni rupa di Indonesia. Itok adalah orang yang besar dalam ecosystem disain. Apa yang dia pamerkan sekarang adalah oposisi dari kebiasaan dia sebetulnya. Oposisi dalam arti saat ini dia mengeluarkan hal-hal yang bersifat sangat subyektif. Apa yang kita lihat di pameran ini nilai penting bagi masyarakat, kita akan belajar ilmu gambar. Kita memiliki orang-orang tangguh, salah satunya adalah Itok, dengan kemampuan itu mudah-mudahan ini bisa menginspirasi orang untuk menekuni seni gambar.
“Apa yang indah itu tidak harus apa yang orang umum kenal, estetika yang disampaikan Itok adalah estetika oposisi dari keindahan itu, hitam-putih, citraan yang kemudian orang bilang itu mencekam, ada memang kecenderungan kreator untuk tertarik untuk menghadirkan apa yang disebut estetika ketersingkapan, istilahnya apocalypso, estetika yang menghadirkan dunia yang ada dalam tapal batas misteri dan yang nyata, fiksi dan realisme, yang khayal dan yang nyata, Itok itu berdiri di tengahnya. Ketika dia berdiri di tengah maka kesempatan kita untuk melihat apa yang dia lihat, itulah apocalypse, tersingkap. Nah ketersingkapan ini hadir dalam ke-sembilan gambar. Kita melihat ada figur, ada alam benda, kemudian ada gambaran atau obyek atau arsitektural imaginer yang hadir dengan kekuatan fantasional, kekuatan fiksional, kekuatam ilusionis. Ini yang membuat kita bisa melihat bahwa kenyataan itu juga bisa hadir dengan cara seperti ini, dari tangan seorang seniman,” ungkap Sudjud.
“Bagi saya seniman memiliki banyak hal yang ingin dia kabarkan dari kenyataan yang seringkali tampak logis, tapi bagi seorang Itok tak lain bagi saya kenapa FantasMagoria, ini istilah yang saya ambil dari teater horror, yang pernah muncul di abad 17 di Perancis yang kemudian menyebar ke Inggris, dan dimana waktu itu dipakai Lentera Ajaib atau Magic Lantern untuk memproyeksikan hal-hal yang bersifat oposisional juga dengan hal yang lumrah orang kenal. Itu gejala yang kita kenal sebagai estetika FantasMagoria. Heridono pernah menjadikan ini sebagai tema, Jumpet juga pernah menghadirkan tema seperti ini dan saya kira pada kasus Itok, saya melihat terjadi perjumpaan sekali lagi dengan corak seperti ini. Ini bukan sekedar surealisme, tetapi ini adalah satu fenomena estetik yang menurut saya menarik untuk kita lihat bagaimana orang ketika memiliki kesadaran di tapal batas, barangkali itu cocok dengan usianya yang lebih dari 40 tahun, sudah merenungi tentang kehidupan, kematian, kemudian hal-hal yang dibayangkan, figur-figur yang menjadi simbolisasi dari Malaikat, dan simbolisasi dari hal-hal yang bersifat supranatural,” imbuhnya lebih lanjut.
Menurut Sudjud Dartanto, pameran tersebut bermanfaat untuk menambah pengetahuan mengenai dimensi estetik yang unik dari seorang kreator yang besar dari ecosystem disain. “Ini menarik dan temanya saya beri Designing FantasMagoria (dari Bahasa Yunani) men-design FantasMagoria kemudian men-signing, menyatakan FantasMagoria, dimana Itok berangkat dari keyakinan bahwa kehidupan ini ada disainernya, dan disainernya adalah Yang Maha Menciptakan, Dia adalah the Great Designer, dan Itok kayaknya sedang berpetualang untuk masuk kedalam kesadaran. Fantasma berarti pikiran yang memilliki kekuatan imajinasi, yang liar, biasanya asosiasinya ke hal-hal yang supranatural, sedangkan Magoria adalah gathering, sehingga FantasMagoria itu mengumpulkan fantasma-fantasma,” ujarnya.
25 tahun menekuni dunia disain, meski sejak kecil gemar melukis, Itok memang bercita-cita menjadi pelukis, sehingga terpendam. Gambar yang dihadirkan dalam pameran tunggal perdananya di Indiearthouse mengungkapkan kegelisahan-kegelisahan yang berkecamuk didalam hati-sanubarinya, seperti masalah ketuhanan, kenapa saya diciptakan, kenapa saya dilahirkan tidak bisa memilih waktu, gak bisa memilih agama, gak bisa memilih sukupun, pertanyaan-pertanyaan basic sih. Dia yang menciptakan kenapa ditiadakan lagi gitu lho, figur disetiap gambar yang ada itu mewakili dirinya sendiri. Selama 3,5 bulan Itok yang adalah Creative Director Petak Umpet di Jalan Kabupaten Sleman, berhasil menyelesaikan sembilan karya gambarnya, dan tengah mempersiapkan enam kanvas yang masih kosong untuk melanjutkan konsistensinya menggambar. Bagi Itok, teman-teman seniman di Jogja sangat terbuka, membantu menyemangati dirinya untuk menggambar, bahkan mereka menjadi tentor secara teknis, tanpa mempengaruhi karyanya sama sekali. (Feature of Impessa.id by Antok Wesman)