Feature

Merayakan Hari Menggambar Nasional Perupa Papiek Hadirkan Karya Emas Hijau Nan Apik

Merayakan Hari Menggambar Nasional Perupa Papiek Hadirkan Karya Emas Hijau Nan Apik

Papiek didampingi Mikke Susanto, turut Merayakan Hari Menggambar Nasional lewat Karya Emas Hijau Nan Apik

Impessa.id, Yogyakarta: Menyemarakkan Hari Menggambar Nasional 20 Mei, Bulan Menggambar Nasional dan Indonesia Menggambar 2022, banyak seniman, perupa di Yogyakarta melakukan aksinya dengan menggelar pameran hasil karya gambar, karya lukis mereka di beberapa Ruang Pamer yang tersebar diberbagai lokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Salah satu diantara sekian seniman yang berpartisipasi memeriahkan Indonesia Menggambar 2022, ada seniman bernama Albertoes Papiek yang akrab disapa Papiek, seniman kelahiran Madiun tahun 1963, yang memulai berkesenian tanpa pendidikan formal dan Papiek aktif dalam berkeseniannya di Yogyakarta lewat karya-karya yang dikenal sebagai perupa drawing dalam teknik stroke on silk.

Dalam pameran seni rupa bertajuk “Telaah Rasa” diikuti 13 perupa yang berlangsung di Kopi Macan Gallery & Coffeshop Bugisan Yogyakarta pada 14-18 Mei 2022, Papiek sebagai salah satunya, memajang karya berjudul “Emas Hijau” Acrylic On Canvas berukuran 100 x 120 cm.

Dalam bincang-bincang santai di sore hari dengan Impessa.id di suatu kedai kopi, Papiek menuturkan bahwa ide menggambar “Emas Hijau” itu muncul disaat terjadinya kenaikan pita cukai rokok, yang menyebabkan para petani tembakau merasa resah, muncul dilema, di satu sisi hasil pertanian mereka dibutuhkan, namun di sisi lain mulai tak diminati karena dengan alasan naiknya cukai rokok maka ‘tengkulak tembakau’ memainkan harga beli langsung dari para petani.

“Tembakau itu bagaikan emas hijau, didalam gambar tersebut ada sosok keluarga yang diartikan tembakau menghidupi keluarga, ada gambar bangunan yang bermaksud tembakau berikut cukai rokok sebagai hasil ikutannya memberi kontribusi dalam APBN, diteruskan ke APBD untuk pembangunan. Sehingga janganlah ‘dimatikan’ tetapi berilah ‘jalan keluar’ mengingat ‘kretek’ merupakan ciri khas Indonesia, hanya diproduksi di Indonesia,” ungkap Papiek, sambil menambahkan bahwa disebalik polemik itu ada persaingan bisnis global agar tembakau Virginia dari Amerika Serikat masuk ke pasar Indonesia menggantikan tembakau hasil pertanian petani Indonesia. Sesuatu hal yang ironis.

Mengenai pameran “Telaah Rasa” yang maknanya diambil dari suatu pemikiran tentang proses perjalanan dinamika kehidupan yang dirasakan oleh setiap manusia di dunia. Kita, aku, dan kamu, memiliki banyak sekali emosi yang muncul setiap detik baik secara sadar maupun tidak disengaja. Apabila kita berefleksi, sering kali kita menjumpai weird feelings yang membuat bingung, bagaimana cara mendeskripsikan perasaan tersebut, bagaimana cara memunculkan atau memusnahkan perasaan itu. Hal tersebut menjadi fase dimana perasaan sudah terlalu meluap. Perasaan atau emosi yang terlalu meluap akan menjadi boomerang bagi diri sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Proses “Telaah Rasa” dinilai sangat penting bagi umat manusia karena banyak diantara kita yang lupa bagaimana cara untuk memahami hingga berdamai dengan perasaan terutama adalah emosi yang negatif.

Dalam pengantar kuratorial pameran disebutkan sering kita temui proses dimana manusia mencari ruang untuk menalaah rasa dengan berbagai metode dan media. Bisa dikatakan bahwa setiap manusia memiliki caranya sendiri untuk memaknai setiap emosi yang dikeluarkannya. Ada yang harus berlibur ke pantai dengan ombak yang indah, ada yang menghabiskan uangnya untuk berbelanja, ada yang harus menonton film kesukaan sambil makan cemilan, ada pula yang menelaah rasa hanya dengan diam dalam keheningan. Proses yang sangat kompleks ini memiliki satu titik temu bagi setiap pribadi, yakni adalah seni. Dimana manusia akan mendapat kelegaan dan penghiburan yang mampu melengkapi proses telaah rasa.

Seniman selain Papiek yang terlibat di dalam pameran masing-masing, Alminada Satrio atau yang biasa dipanggil Al, seniman kelahiran Jombang, 19 Juli 1999. Berdomisili di Sidoarjo, Al aktif berkarya dan berpameran. Kemudian Gabriella Prima Puspita Sari atau yang lebih akrab dipanggil Sari lahir di Sragen, Jawa Tengah 1981. Menempuh pendidikan di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Saat ini Sari aktif berkesenian di Yogyakarta.

Kartiko Prawiro, perupa asal Yogyakarta yang aktif berkesenian sejak menempuh pendidikan di Jurusan Seni Murni ISI Yogyakarta. Kartiko aktif berpartisipasi dalam puluhan pameran baik pameran dalam negeri maupun luar negeri. Lalu Krismarlianti, seniman juga penulis yang peduli dengan perilaku manusia dan masalah sosial. Karya-karyanya diilhami oleh masalah kehidupan, makna hidup yang tersembunyi, hal-hal yang semrawut dalam dinamika warna. Saat ini, dia tinggal di Taranaki, Selandia Baru.

Berikutnya, Prakadetto Alansa, seniman kelahiran Gunung Kidul, hobi melukis sejak kecil, Alan melanjutkan pendidikannya di kampus ISI Yogyakarta. Kecenderungannya untuk melihat segala sesuatu dari berbagai sisi menjadi daya ciptanya dalam berkarya. Rahmad Afandi, lahir di Yogyakarta 2 April 1994. menempuh pendidikan di ISI Yogyakarta, terlibat dalam menginisasi beberapa kolektif seperti, Garda Belakang dan Barasub. Di tahun 2016 bergabung dan aktif dalam komunitas SURVIVE! Garage. Dalam kerja kreatifnya Rahmad sering menggunakan medium, silk screen, wood cut, painting, video, instalasi dan performance art untuk menyampaikan gagasannya.

Rocka Radipa, seniman kelahiran Paninggaran tahun 1976, menempuh pendidikan di ISI Yogyakarta. Rocka sering menggunakan kuningan sebagai media karya, dengan teknik brass etching. Proses kreatif dan riset dalam berkarya menjadi sebuah kepatutan alamiah baginya, dengan mengeluarkan dan mendapatkan energi balik. Kemudian Rona Narendra, seniman asal Yogyakarta yang berlatar belakang pendidikan di ISI Yogyakarta. Bagi Rona, kebebasan adalah kunci, eksplorasi dan pembaharuan yang berkesinambungan. Namun ada kalanya kembali ke titik-titik yang sudah pernah dilewati, menjadi sebuah nostalgia dan penghiburan. Saat ini Rona aktif berkarya sebagai ilustrator, desainer batik, dan desainer grafis.

Susiyo Guntur lulusan dari Program Studi Desain Komunikasi Visual (DKV) Institut Seni Indonesia tahun 2017. Saat ini, selain melukis Susiyo juga kerap berkarya dalam mendesain cover dan layout buku. Menjadi pendiri komunitas kolektif Circle Insight, aktif berkarya dan mengikuti dunia seni rupa, khususnya di Yogyakarta. Seniman selanjutnya ada, Setiyoko Setiyoko, akrab dipanggil Yoko, kelahiran Sukoharjo 1992. Pada tahun 2019, menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Yoko aktif berpameran di dalam maupun luar negeri, juga telah menyelenggarakan dua pameran tunggalnya, "Nyewu Ibu" pada tahun 2020 dan "Jerami" pada tahun 2019.

Varin Deasyafira, lahir di Bogor, 10 Maret 1997, menempuh pendidikan formal di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta. Serta Warisdyo Bayu Susiyo Guntur 3D Designer/3D Generalist asal Yogyakarta yang telah berkecimpung di dunia desain grafik sejak menempuh pendidikan di STSRD Visi Yogyakarta S-1 DKV 2014. Menjadi 3D designer, 3D compositor, 3D drafter, dsb di Jogja Cross Culture, FBK Geger Sepehi Virtual Performance, Sumonar Fest, Museum Diorama Arsip Yogyakarta. (Feature of Impessa.id by Antok Wesman)