Empu Gampingan Gelar Pameran Bertajuk Wadon Di Benteng Vredeburg Yogyakarta, 9-23 April 2022
Impessa.id, Yogyakarta: Komunitas perupa perempuan alumni ISI Yogyakarta Kampus Gampingan, bernama Empu Gampingan menggelar pameran bertema “Wadon” di Benteng Vredeburg Yogyakarta, 9-23 April 2022, menampilkan karya lukis dan instalasi dari 19 perupa.
Dyan Anggraini Rais dalam sambutan pembukaan pameran bertajuk “Wadon” di Benteng Vredeburg Yogyakarta, Sabtu (9/4/2022) menuturkan, bahwa kita bersyukur tinggal di Jogja karena Jogja adalah lahan subur untuk tumbuhnya komunitas ataupun kreativitas seni budaya yang tidak pernah berhenti melahirkan karya-karya kreatif.
Terkait tema pameran “Wadon” yang dihelat oleh Komunitas Empu Gampingan tersebut, Dyan Anggraini Rasi mengatakan, bahwa perempuan memiliki kedudukan yang tinggi karena perempuan adalah ‘ibu’nya keturunan manusia, jadi atas kodratnya sebagai pemangku keturunan, mengandung, melahirkan, menyusui, dan seterusnya, yangn mengisyaratkan gugusan nilai-nilai tentang kelembutan, ketulusan, pengorbanan, yang tidak banyak mendapatkan perhatian, karena hal itu dianggap sudah alamiah, ativitas wilayah domestic, justru karenanya hal itu menjadi pengalaman yang sempurna yang tidak dimiliki oleh kaum pria sehingga menjadi hal yang penting yang mesti kita sadari.
Liesti Yanti Purnomo selaku Ketua Komunitas Empu, ketika dikonfirmasi Impessa.id mengungkapkan Empu adalah kelompok kolektif perempuan yang aktif dengan anggota berasal dari beragam lintas disiplin dan latar belakang yang berbeda, dan Empu sebagai wadah aspirasi bagi para perempuan yang memiliki latar belakang pendidikan seni di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta Angkatan 90-96, yang pada waktu itu kampusnya masih di jalan Gampingan Nomor 1, depan Pasar Serangan.
Empu berdiri pada tahun 2012 dimulai dengan pameran di LIP Sagan, dilanjutkan pameran di Nandur Srawung, kemudian pameran di Korea karena secara kebetulan salah satu anggota Empu bernama Ira sedang residensi di Korea, yang lantas mengajak anggota Empu yang lain untuk ikut mengirim karya masing-masing via OnLine, untuk di print oout dan dipamerkan di Negeri Ginseng tersebut, dan kini Empu menggelar karyanya di Beteng Vredeburg (9-23 April 2022).
Liesti Yanti Purnomo dengan studio di kawasan Janten-Ngestiharjo-Kasihan-Bantul, dalam pameran bersama itu menampilkan karya lukis berjudul “Another Coffee Break”, suatu tampilan realis-decoratif acrylic diatas kanvas kemudian dilapisi mika yang direspon lagi seolah menjadikan adanya efek dimensi baru dan efek bayangan yang muncul di atas lukisannya suatu eksperimen unik, “Jadi ini seperti upcycle, karya baru diatas karya lama,” tuturnya kepada Impessa.id.
Bagi Liesti, pameran ‘Wadon’ memberikan nuansa segar setelah lebih dari sepuluh tahun dirinya vakum dari kegiatan berkesenian berhubung kesibukan domestik keluarga dan pekerjaan, namun setelah munculnya dukungan dari suami dan anak-anak yang telah dewasa, Liesti kembali menekuni DNA nya sebagai seniman. Adapun kemunculan komunitas Empu Gampingan sebagai wadah berkumpulnya alumni ISI Gampingan untuk berkarya.
Ketua Pameran Endang Lestari kepada Impessa.id berpendapat yang utama adalah keluarga dan karir diluar kegiatan berkesenian. “Wadon” merupakan sebuah pengabdian tanpa batas, baik untuk keluarga, berkarya dan berkehidupan sosial di masyarakat. Lebih dari sekedar jargon untuk mendapatkan perhatian, 19 anggota Wadon bersamaan dengan momentum Hari Kartini, mewujudkan tindakan nyata keseharian mereka yang ditampilkan dengan semangat kebersamaan dan saling mengeluarkan kreativitas untuk berkarya. Wadon, singkatan dari Woman Do Unlimited, Wani Do Nglangkah Wani Do Nrabas.
Endang Lestari yang menekuni seni keramik dengan studio di kawasan Kalasan-Tirtomartani-Sleman, menampilkan karya berjudul ‘Unlimited Seemless’ sebuah proses menghargai obyek melalui media tanah liat atau keramik yang di-explore dan di-olah dengan berbagai teknik, sehingga menghasilkan berbagai macam rupa bentuk dan wujudnya.
“Dalam prosesnya saya merancang dan merakitnya selaras dengan pengalaman personal yang saya alami, secara naluri sebagai seorang perupa, dan juga seorang perempuan, tentunya kita merasakan banyak hal misalnya hal-hal domestik yang kita alami, rumah tangga, karir, kesenimanan, berkarya, semua itu menjadi satu. Dalam kompleksitas kita sebagai seniman dan sebagai perempuan yang punya bobot tanggungjawab yang kompleks itu saya ingin menghadirkan karya itu dalam bentuk cerita yang begitu beragam. Dalam kepenuhan otak saya, membicarakan tentang diri, tentang masyarakat, tentang rumah tangga bahkan tentang kekaryaan saya. Melalui tema itu saya menggambarkan sesuatu yang tanpa batas, berkarya itu ibarat tiada hentinya, seperti kita melakukan aktivitas keseharian kita, aktivitas kekaryaan kita mengeksplor beragam media dan disini saya mengeksplor media sebagai bahan tambahan dari karya Tugas Akhir S-2 saya yang kebetulan punya spirit yang sama dengan tema pameran kali ini, dan saya ingin mengajak kembali tentang perkembangan yang akan datang, dari wujud yang realis saya mengajak sesuatu bentuk yang lebih abstrak, tentang kompleksitas hidup manusia kedepannya. Itu yang membuat proses pengembangan terhadap karya yang tampak abstrak namun dari elemen-elemen yang realis, ada batu karang, ada bunga, ada benda organik, ada obyek yang ditampilkan seperti teknologi yang diwakilkan oleh lighting warna hijau, untuk menghadirkan bahwa hal yang kecil harus dihargai, digabungkan dengan hal yang masa depan, misalnya diwakilkan oleh teknologi,” jelas Tari.
Menurut Tari, rutinitas dan keseharianlah yang menjadi point sekaligus memotivasi dalam menciptakan karya. Melalui karyanya berjudul “Unlimited Seemless” seolah menjawab ketiada-hentian atau sesuatu yang tanpa batas itulah yang membuat dirinya tetap terus bersemangat dalam berkarya.
Sementara itu, Dr Drs Hajar Pamadi MA (Hons), mendapat gelar kehormatan Honors dari Charleston University Australia, Kurator, serta Dosen S1, S2, S3 di UNY, Dosen S2 dan S3 di UGM, dan Dosen S2 di Universitas Mercu Buana, yang ditemui Impessa.id, disela-sela pameran bersama oleh komunitas perupa perempuan alumni ISI Gampingan Yogyakarta dalam tajuk ‘Wadon” di Benteng Vredeburg, mengatakan, “Saya melihat pameran kali ini satu tingkat kualitasnya dari pameran sebelumnya, yang mana ekspresinya bisa tertampung, dalam arti the real expression,” ungkapnya.
Lebih lanjut dijelaskan, ada dua ekspresi yang mereka lakukan, ekspresi sebagai eksistensi diri, maka banyak yang hadir, saya melihat sebagian besar karya merupakan ekspresi katarsis, pemurnian jiwa, ingin mengungkapkan hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh orang lain, sehingga itu menyebabkan eksis dan dirinya tidak terbebani dari masalah-masalah. Ada yang melakukan dengan teknik sublimasi, secara pelan mereka mengemukakan ekspresinya, dan ada yang menggunakan ekspresi total dengan ledakan, seperti halnya meledakkan balon sehingga isi balon lepas semua. Ada dua kriteria pameran disini yakni ekspresi katarsis dan ekspresi eksistensi. Berhubung lebih banyak karya ekspresi katarsis, sehingga ‘rasa’ yang muncul. Inilah kebanggaan saya terhadap wanita yang mereka harus menyisihkan waktu untuk melukis, Biasanya kan mereka terbebani dengan beban-beban keluarga, tetapi kali ini tidak terbebani oleh keluarga, kebutuhan keluarga, dia bisa menyisihkan waktu tetapi waktu tersebut juga sangat bagus, bisa mengelola jiwa dan rasa.
“Seperti karya lukis yang hitam-putih itu, menggunakan pensil lunak, Bagus sekali! yang dia gambar bukan apa yang dia lilhat dalam arti sesungguhnya, tetapi merupakan block-spot, yang didalam kepolisian tatkala ada kecelakaan ada titik-titik yang diberikan oleh polisi, itu disebut block-spot. Lha ini konsep block-spot-nya pelukis luar biasa! Mereka kadang-kadang sulit untuk untuk melakukan di kanvas maka mereka melakukan dengan kain, dengan apa saja yang bisa lakukan, yang penting seni itu bukan hanya tekniknya, tetapi adalah ekspresi jiwa, bagaimana mengelola hati, bagaimana mengelola rasa dan dicampur dengan pikiran-pikiran yang murni untuk diungkapkan. Memang ada karya yang kurang bagus, tetapi kurang bagus itupun karena kebetulan ada kesibukan yang lain, ternyata mereka masih sibuk bekerja, dan ada yang masih bekerja di rumah, namun masih bisa menyisihkan waktu untuk pameran, itu luar biasa. Secara keseluruhan saya melihat karya-karya yang dipajang sudah pantas sebagai karya seni, lebih dari sekedar eksistensi diri,” aku Dr Hajar Pamadi. (Features of Impessa.id Seri 1, by Antok Wesman)