Pameran KREMA Anala dan Renjana, Karya Mahasiswa Angkatan 2020, FSMR ISI Yogyakarta
Impessa.id, Yogyakarta, 24 November 2021, Dalam sambutan pembukaan Pameran KREMA 2020, Anala dan Renjana” yang diinisiasi mahasiswa Fakultas Seni Media Rekam Institut Seni Indonesia -FSMR ISI Yogyakarta, Angkatan 2020, Dekan FSMR ISI Yogyakarta Dr Irwandi MSn, mengatakan, “Silahkan Ruang Auvi dan Galeri Pandeng ini dimanfaatkan sebagai ajang presentasi karya dan juga mengenal lingkungan kampus, termasuk para Dosen serta orang-orang yang mungkin belum dikenal mengingat kuliah masih secara daring, mudah-mudahan pandemi segera berakhir sehingga semester depan anda sudah bisa kuliah secara luring,” ujarnya.
Pameran perdana bertajuk “Kreasi Mahasiswa 2020: Anala dan Renjana”, berlangsung pada 24-26 November 2021, menghadirkan 98 karya, terdiri dari 62 karya foto dipamerkan di Galeri Pandeng, serta 11 karya film pendek fiksi, 5 karya film animasi, serta 20 karya illustrasi dari animasi yang digelar di Ruang Auvi Dekanat FSMR ISI Yogyakarta.
“Krema, merupakan simulasi atau pemanasan yang akan anda hadapi ketika kuliah besuk, di Jurusan Fotografi misalnya, pameran-pameran merupakan hal yang lazim didalam mengakhirkan Mata Kuliah, Mata Kuliah praktek sebagian diakhiri dengan pameran, di Jurusan Televisi juga demikian, output karya anda adalah praktikum, yaitu karya, sehingga kegiatan ini merupakan lahan anda untuk berlatih, berorganisasi dan bekerja dalam tim, untuk mendesiminasikan karya-karya anda kepada masyarakat, sehingga saya berharap tema ini dapat anda resapi dengan sungguh-sungguh, agar semangat berkarya anda sesuai dengan apa yang telah anda cita-cita-kan yaitu menjadi Anala dan Renjana," jelas Dekan Dr Irwandi MSn.
Dalam kesempatan itu, Drs H Risman Marah MSn, Dekan Pertama FSMR ISI Yogyakarta kepada Impessa.id mengungkapkan tantangan selama perkuliahan secara daring, “Ini tantangan baru buat kita semuanya, ya dosen-nya, ya mahasiswanya, karena memberi kuliah dan menerima kuliah tapi tanpa hadir, melalui zoom. Semua itu dibutuhkan kejujuran yang bener-bener, karena kita tidak mengawasi, kapan mereka memotret, apakah itu mereka sendiri yang memotret apakah orang lain, mereka betul-betul dimintai kejujurannya, bahwa itu betul-betul orisinal karyanya. Itu tantangannya jaman sekarang. Kalau dijaman dulu kita mau memotret bareng-bareng, kita tahu persoalan setiap mahasiswa, ini salah, itu salah, kalau selama ini, selama kuliahnya masih daring, maka kita tidak bisa membimbing secara personal. Semoga segera pandemi berakhir dan bisa kuliah tatap-muka. Ini kan kuliah seni, gak lucu kalau tidak berhadap-hadapan,” jelas fotografer senior tersebut.
Hadir dalam pembukaan Pameran Perdana mahasiswa FSMR Angkatan 2020 itu, Pembantu Dekan 1 Dr Edial Rusli SE MSn, Pembantu Dekan III Arif Sulistiyono MSn, Ketua Jurusan Fotografi Oscar Samaratungga SE MSn, Ketua Jurusan Televisi Lilik Kustanto SSn MA, Ketua Prodi Film dan Televisi Latief Rakhman Hakim MSn dan Drs H Risman Marah MSn serta Dosen Fotografi Dr Arif Khoid Rozaq.
Berikut bincang-bincang Impessa.id bersama beberapa mahasiswa peserta pameran fotografi;
Jacqueline Shim yang akrab disapa Jacky, dengan judul karya “The False Face” atau “Muka Yang Palsu”, Which part would you alter first? Society’s Mindset. “Bagian mana yang akan kamu rubah, yaitu pemikiran masyarakat. Jacky menyebutkan, “Melalui karya ini saya ingin menyampaikan bahwa itu sebuah ungkapan perasaan diri saya sendiri. Sebenarnya karya ini merupakan luapan keresahan saya, terkadang saya itu masih kurang percaya diri, dengan penampilan saya, walaupun banyak orang yang mengatakan kamu itu seharusnya bersyukur, kamu dah ini, kamu dah itu, tetapi difase-fase tertentu, kata-kata orang yang membangunkan itu tidak membangunkan saya sama sekali, jadi kayak saya merasa tidak percaya. diri, dan lain-lain, ketika melihat orang lain kayaknya merasa ada yang kurang dengan diri saya, Dalam karya ini saya visualkan dengan seorang wanita menggunakan topeng. Jadi topeng ini saya lambangkan sebagai wajah palsu, untuk dia itu pengin fix-in kedalam standard yang ada, dimana setelah saya perhatikan beberapa riset, standard di Indonesia ya tidak jauh dari kulit putih, hidung mancung, rambut lurus dll, yang saya gambarkan kedalam topeng yang mana didalam topeng ini memiliki skin-tone yang beda dengan wajah sang model. Skin-tone nya jauh lebih fair, hidungnya mancung, alisnya tebal, melambangkan dia itu pengin masuk kedalam beauty standard tanpa dia sadari bahwa dirinya itu sebenarnya sudah cantik. Melalui ini saya ingin menyampaikan bahwa tidak ada wanita yang tidak cantik, semua wanita itu pasti cantik, mereka memiliki keunikan masing-masing,” ungkap Jacky panjang lebar.
Menurut Jacky, pameran luring ini memungkinkan para penikmat karya itu bisa interaktif langsung melihat karya, apalagi ada mahasiswa yang membuat instalasi menggunakan kaca pembesar sehingga membuat lebih interaktif.
Sementara itu, Marin Safin Uno yang akrab disapa Safin asal Jember-Jatim yang belum mengenal Kasongan sebagai sentra kerajinan grabah di Yogyakarta, kemudian mengangkatnya menjadi ide karyanya berhubung lokasinya dekat dengan kampus. Safin mengagumi semangat pengrajin grabah Kasongan Ibu Parimi, yang menekuni membuat grabah sejak remaja, setelah lulus Sekolah Dasar, namun tetap bersemangat menekuni kerjaannya hingga kini usianya telah mencapai 61 tahun, sehingga Safin mengangkatnya kedalam karya fotografinya berjudul “Focus For The Best Result”.
Priska Agnaristy yang akrab disapa Priska, mengangkat karya berjudul “Unssen Beauty”, Kecantikan Yang Tidak Terlihat. Ketika kecantikan alami terhalangi oleh standard kecantikan umum, maka perempuan berusaha untuk terlihat sempurna, walaupun sebenarnya menyiksa dirinya. “Aku ingin menyampaikan kepada wanita-wanita bahwa sebenarnya kecantikan itu tidak berpatok pada standard kecantikan (kulit putih, tinggi, kurus, rambut lurus, hidung mancung) belaka, tapi dari lahir itu kita sudah diciptakan cantik. Disini aku menampilkan wajah seorang wanita yang ditutupi perban menandakan dia itu sedang kesakitan, Kesakitan karena dia itu berusaha mempercantik dirinya dengan aku kasih bunga mawar pink, mengingat bunga Mawar sering dipakai untuk produk kecantikan, Disitu Bunga Mawar berdampingan dengan Perban. Aku kan pendek, ingin tampak tinggi lalu aku pakai highgil meski kaki harus nahan sakit. Terus wajah makai make up, sebetulnya kan wajah kena bahan kimia terus-menerus, sehngga muncul flek, muncul jerawat..sebenarnya aku memvisualkan ini supaya wanita lebih percaya diri.
Peserta lainnya, Hanafi Salman, mahasiswa baru asal Mojokerto memilih “Suwung” sebagai judul karya fotografinya dan Ketika dikonfirmasi Impessa.id, Hanafi begitu sapaan akrabnya menuturkan proses kreatifnya. “Judul karya saya ini berangkat dari keresahan yang saya alami, sekitar bulan Juni-Juli, dua bulan saya mengalami ‘suwung’, kosong, tanpa tujuan, bingung mau apa, tidak tahu harus berbuat apa, kuliah untuk apa, kedepan bagaimana, itu pas ditengah pandemi juga, mungkin banyak juga orang lain yang seperti saya, ternyata ketika mendapat tugas dari dosen, saya terhenyak, ternyata kondisi ‘suwung’ diri saya tersebut dapat menjadi ide untuk membuat karya, dan inilah hasilnya,” sergahnya. Kini paralel dengan tema pameran “Anala dan Renjana” yang tak lain adalah semangat bak api nan tak kunjung padam, Hanafi telah menemukan makna hidup yang harus dia jalani sekaligus mengharap masyarakat ikut melihat langsung secara Off-Line dan mengapresiasi karya-karya mahasiswa “Corona” sebutan untuk mahasiwa baru Angkatan 2020 yang kuliahnya sejak awal dilakukan secara daring atau On-Line.
Shavera Jinan mahasiswa baru asal Jakarta menampilkan karya berjudul “The Tragedy of Existence” yang menceritakan keresahan dirinya terkait hubungan manusia dengan alam. “Terlihat banyak manekin ibarat banyaknya kita, diselingi dedaunan berwarna biru yang bermakna sintetis, gak aseli, kita hidup dilingkungan yang semakin kesini itu semakin tidak tahu, lingkungan yang semakin jauh dari alami. Mudahnya kita lebih banyak mengandalkan dari internet, dunia maya, mencari segala hal dari internet, tanpa bersentuhan langsung dengan alam. Semisal, menebang pohon itu tidak apa-apa, toh bisa diganti dengan tanaman baru, padahal tidak sesederhana itu keadaan yang sesungguhnya, karena di pohon yang ditebang itu telah terjadi ekosistem yang telah mapan, ada kehidupan makluk hidup lain di pohon itu, yang jika ditebang maka otomatis ekosistem yang ada langsung terputus, hilang, dampaknya menjadi luas, kemana-mana.
Pameran offline ini bagi kami Angkatan Corona, serasa bangkit kembali dari kondisi tertutup pandemi dengan dampaknya, termasuk larangan berkumpul, larangan tatap muka dan sebagainya. Melalui Krema ini, kami membuktikan kepada khalayak luas adanya kebangkitan itu, semangat kita raih kembali.
Peserta lain yang ditemui Impessa.id bernama Ardhan. Melalui karyanya yang berjudul “Toxic Verbalism” dia mengutarakan hal-hal yang pernah dialaminya sendiri, semisal tentang omongan orang terhadap dirinya, itu membuatnya semakin grogi, "Bukannya membangun tetapi malah ngedropin mental aku sih," akunya. Perkataan orang-orang dia tuangkan kedalam narasi-narasi yang seolah melekat ketubuhnya yang sengaja tanpa mengenakan baju bermaksud ucapan-ucapan itu langsung merasuk kedalam sanubarinya, yang membuatnya down. “Jadi ucapan yang kutulis itu udah kayak melekat, menempel kedalam diri aku, gitu, terus kenapa gak pakai baju itu karena gak ada sekat, sedangkan kepala ditutup pakai keresek sebagai tanda ketidakpercayaan diri dari semua perkataan tersebut. Gara-gara perkataan orang, jadi gak leluasa berkarya, makanya tangannya diiket,” ujarnya.
Bagi Ardhan, pameran secara luring ini membangkitkan semangat mahasiswa setelah vakum berkegiatan selama pandemi.
Sedangkan, Abiyyu Ramadhani melalui karyanya ingin menceritakan potensi terbesar juga potensi yang sangat menonjol dari suatu kebudayaan dan tradisi yang ada di lingkungan tempatnya tinggal di Desa Wirun, Mojolaban, Sukoharjo-Jateng, disitu ada tradisi kebudayaan yaitu para empu-empu yang menghasilkan kerajinan Gong. “Saya memberi judul ‘Empu Budiyono dan Gong’ karena di Desa Wirun terdapat 12 pengrajin Gong dan Empu Budiyono sebagai Empu Termuda namun berwawasan luas karena dia yang memperbaiki Gong-Gong di beberapa Keraton diantaranya di Yogyakarta, Surakarta dan Cirebon,” ungkapnya. Dikatakan pengertian Empu adalah seseorang yang menguasai enam hal, yakni, mampu berdoa, mampu menerima dan mampu mengembalikan. Tiga hal dasar yang dilakukan sepenuh hati dan secara ikhlas, ditambah tiga hal selanjutnya yaitu mampu menguasai bahan dasar, mampu membuat sampai mampu melaras nada dari Gong yang dibuatnya. Gong memiliki arti Gongso, atau Tembogo lan Rejoso, yang dalam Bahasa Indonesianya Tembaga dan Timah. Gongso sendiri mempunyai ati dari jumlah bahan dasar untuk membuatnya dengan perbandingan Tigo lawan Sedoso atau Tiga berbanding Sepuluh. Tiga untuk tembaga dan 10 untuk Timah, dengan lama pembuatannya bisa sampai satu bulan per-buah, dan harga jualnya bisa mencapai 100-juta rupiah. (Feature of Impessa.id by Antok Wesman)