Muhammadiyah Konsisten Bela Masyarakat Miskin Perokok Melalui Fatwa Haram Rokok
Impessa.id, Yogyakarta: Organisasi sosial kemasyarakatan Muhammadiyah melalui Muhammadiyah Steps, secara tegas dan konsisten membela rakyat miskin perokok dan petani tembakau yang diwujudkan dengan telah menerapkan fatwa haram terhadap rokok sejak 10 tahun lalu, termasuk rokok elektronik atau vape.
Memang tak bisa dipungkiri, secara ekonomi, rokok hingga tahun 2020 masih menjadi salah satu penyumbang besar cukai negara sebesar 9 hingga 11 persen dari keseluruhan cukai. Melihat fenomena itu, MTCC (Muhammadiyah Tobaco Care Center) yang telah berganti nama menjadi Muhammadiyah Steps menggelar diskusi publik secara daring dengan mengangkat tema “Strategi Ekonomi Untuk Implementasi Hasil Halaqoh Fatwa Haram Rokok” pada Jum’at (2/9/2020).
Diskusi yang digelar secara daring melalui platform zoom meeting tersebut dipandu oleh dr Supriyatiningsih MKes SpOG, dan menghadirkan beberapa narasumber diantaranya Drs Muh. Agus Samsudin MM, selaku perwakilan Majelis Pembina Kesehatan Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Assc. Prof. Wawan Gunawan Abdul Wahid Lc MAg, selaku perwakilan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr Mukhaer Pakkana SE MM, selaku perwakilan dari Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Muhammad Sayuti MPd MEd PhD, selaku Perwakilan Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, serta dr Sudibyo Markus MBA, selaku Former Ketua Majelis Pembina Kesehatan Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai penanggap.
Sebagai bagian dari komitmen penerapan fatwa haram rokok Muhammadiyah, institusi-institusi pendidikan yang berada di bawah naungan Muhammadiyah, juga melakukan penerapan fatwa tersebut secara ketat. Penerapan fatwa haram rokok bukan tanpa alasan, selain karena dianggap merusak kesehatan, fatwa ini menjadi sebuah usaha dari persyarikatan untuk tetap menjalankan agama dengan sebaik-baiknya dan juga untuk menjaga ummat.
Dr Mukhaer Pakkana SE MM, dalam pemaparannya menjelaskan bahwa berdasarkan hasil riset, mirisnya kebutuhan rokok masyarakat Indonesia termasuk tinggi terutama untuk kalangan kelas bawah. Menurutnya, penaikan cukai rokok yang berpengaruh pada naiknya harga rokok di pasaran dapat menjadi salah satu langkah untuk mengendalikan jumlah konsumsi rokok yang ada di Indonesia.
“Selain untuk mengurangi jumlah perokok, menaikan cukai rokok juga dapat berpengaruh pada adanya kesenjangan antara pemilik pabrik rokok dan para buruh. Jika dianalogikan, industri rokok raksasa ini sebenarnya sama seperti vampir yang sedang menghisap darah masyarakat miskin perokok, mengingat rokok eceran mendominasi omzet penjualan produk rokok mereka di Indonesia,” ungkap Mukhaer Pakkanna.
Data yang dirilis oleh Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta menunjukkan Tabel Ranking Perusahaan Tembakau dan Rokok Terbesar berdasarkan Data Annual Report Perusahaan Tahun 2019, menyebutkan bahwa HM Sampoerna berhasil meraup keuntungan sebesar 13,7 Trilyun (13,7 ribu-milyar) Rupiah. Disusul Gudang Garam dengan keuntungan sebesar 10,8 Trilyun (10,8 ribu-milyar) Rupiah. Adapun Bentoel Group memperoleh keuntungan 50 Milyar Rupiah dan Wismilak untung sebanyak 27 Milyar Rupiah.
Mukhaer Pakkanna dari MEK PP Muhammadiyah dan ITB Ahmad Dahlan Jakarta dalam webinar tersebut mengungkapkan bahwa di masa pandemi banyak orang stress, lantas pelariannya ke rokok, menyebabkan penjualan rokok eceran melonjak tajam sehingga perokok miskin berkontribusi besar terhadap keuntungan mereka. Upah buruh di pabrik rokok pun yang 500-ribu rupiah per-bulan sangat jauh timpangnya dibandingkan gaji direktur dan komisaris yang mencapai milyaran rupiah per-bulannya. Kemudian adanya praktik Monosopni yang diterapkan Perusahaan Rokok Raksasa menyebabkan petani tembakau menjadi tak berkutik. (Ays BHP UMY/Antok Wesman-Impessa.id).