Yogyakarta Ska Festival Berlangsung Di Taman Cafe JEC, Minggu, 15 Desember 2019
Impessa.id, Yogyakarta : Cukup banyak ternyata jumlah grup musik Ska di Daerah Istimewa Yogyakarta tercatat ada 20 band, baik sejak grup band Ska tahun 1996 sampai grup band Ska tahun 2019. Yk Ska Crew sebagai komunitas pelaku dan pecinta musik Ska di Yogyakarta yang merupakan wadah untuk saling belajar dan bertukar pikiran serta menjalin berbagai koneksi berhasil menggandeng 11 band untuk tampil memeriahkan perayaan besar grup musik Ska bernama “YK SKA FEST -Yogyakarta Ska Festival” dengan tema “Mlampah Dados Manunggal” berlangsung Minggu, 15 Desember 2019, mulai pukul 10 pagi hingga pukul 11 malam, di Kokambar Café, Taman Cafe Jogja Expo Center – JEC Yogyakarta, dengan tiket masuk On The Spot 25-ribu rupiah.
Gumilang Bagas salah satu panitia Yogyakarta Ska Festival, ketika ditemui Impessa.id mengakui bahwa dirinya mengenal musik Ska di Yogyakarta di era 1996-an saat itu masih SMP yang kemudian membuatnya menyukai musik yang berasal dari Jamaika, Amerika Latin, hingga kini membentuk grup musik Ska bernama Kopiluwak Ska, dan dengan banyaknya grup band Ska di Jogja muncul hasrat untuk membentuk komunitas grup band Ska se DIY, dan event Yogyakarta Ska Festival – Yk Ska Fest 2019 merupakan wujud kebersamaan setelah sukses menggelar event serupa tahun 2018 di Liquid Cafe Yogyakarta.
“Di Yk Ska Fest kali ini, kami inginkan festival secara outdoor dengan penekanan pada edukasi tentang sejarah musik Ska, mulai lahirnya Ska di Jamaika hingga perkembangan Ska di Jogja, yang kami sajikan lewat Museum of Ska di Yk Ska Fest 2019,” ujar Gumilang.
Ska adalah genre musik yang berasal di Jamaika pada akhir 1950-an sebagai genre musik yang dominan di Jamaika dan popular di kalangan para mod (Sub-budaya) di Britania Raya. Sejarah Ska dibagi menjadi tiga periode yakni, Ska asli Jamaika dari tahun 1960-an sebagai Gelombang Pertama, kebangkitan Ska 2 Tone di Inggris pada akhir 1970-an disebut sebagai Gelombang Kedua, dan gerakan Ska Gelombang Ketiga yang dimulai pada 1980-an, dan meraih kepopuleran di Amerika Serikat pada 1990-an.
Musik SKA diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar tahun 1990-an saat Musik SKA Gelombang ketiga menguasai industri musik di Amerika serikat. Band SKA Pertama di Indonesia bernama kasetSKA, dari Pejaten, Jakarta Selatan, sering membawakan lagu-lagu SKA Punk di tahun 1995. Kemudian band Noin Bullet, Artificial Life, Es Coret, Skalie, Shaggydog, Tippex, Jun Fan Gung Fu, AlaSKAQ dan masih banyak lagi, bak jamur di musim hujan, menjadi tren dikalangan anak muda Indonesia khususnya di Jakarta.
Puncak kejayaan sekaligus kejenuhan musik Ska terjadi di tahun 2003-an yang menjadikan komunitas Ska minoritas. Konsistensi musisi Ska di Indonesia khususnya di Jakarta, dan semangat berkarya-nya mulai membuahkan hasil di tahun 2007, band-band Ska bermunculan di poster-poster acara komersil dan pensi-pensi sekolah. Selain di Jakarta, di Bandung serta di sejumlah kota besar di Indonesia, event-event Ska tahunan pun mulai konsisten digelar, di Bandung, Solo, Semarang dan Jogja.
Annas Aghanasa dari grup musik Ska Apollo 10, selaku ketua Yk Ska Fest 2019 kepada Impessa.id menjelaskan idenya menyatukan grup musik Ska di DIY kedalam wadah Yk Ska Fest. “Di Jogja memang banyak grup musik Ska namun terbatas pada lingkup mereka sendiri, semisal aku punya komunitas tetapi hanya ditempat tinggalku saja di Keparakan, demikian dengan yang lain, nah melalui Yk Ska Fest, komunitas-komunitas yang ada di Jogja tersebut kami satukan kemudian bareng-bareng bikin acara bersama, sehingga penggemar-penggemar musik Ska juga bisa disatukan dalam suatu acara besar seperti Yk Ska Fest ini,” tuturnya.
Yk Ska Fest selain pentas musik ber-genre Ska, juga menampilkan potensi minat dan bakat, seni budaya, industri lokal yang dimiliki masyarakat di Yogyakarta dan sekitarnya. Yk Ska Fest merupakan acara puncak dari beberapa event yang telah Yk Ska Crew selenggarakan, dan Yk Ska Fest kali ini memasuki tahun yang ke 3, mengusung konten baru berjudul “Museum Of Ska”, sebuah area penngetahuan dan pembelajaran tentang sejarah musik Ska yang berkembang dari generasi pertama hingga berkembangnya jenis musik Ska di Indonesia. Berbagai tradisi, fashion, live style dan dokumentasi dari beberapa pelaku musik Ska terdahulu di tampilkan dalam museum itu.
Di dalam Yk Ska Fest 2019 digelar Talk Show bersama tokoh musik Ska di Yogyakarta dan sekitarnya, mengungkap tentang apa itu musik Ska, sejarah terbentuknya, dan bagaimana perkembangannya serta bagaimana genre musik Ska masuk ke Indonesia bahkan sampai di Yogyakarta.
Salah satu musisi Ska perempuan Wipti Eta yang adalah vokalis Band Sri Plecit, ketika ditemui Impessa.id mengakui sebagai seorang perempuan untuk masuk kedunia musik Ska itu penuh tantangan. “Gampang-gampang sulit gitu, karena menemukan posisi atau punya posisi tawar yang baik sebagai seorang perempuan tuh memang cukup sulit sebenernya. Bahkan gak cuman di skena musik, gak cuman di Jogja aja. Jadi diluar jogja juga kayak gitu, karena pasti banyak banget pandangan-pandangan kalau perempuan itu yang cuma dilihat dari fisik, dari bagaimana dia dandan dan lainnya, tetapi secara kapasitas sering di nomor duakan, entah kenapa mungkin keberuntungan berpihak pada saya gitu, jadi saya mulai masuk ke skena musik itu mulai dari SMA (SMA N 8 Yogyakarta), setelah lulus saya masuk jadi anak band di tahun 2009, harus berusaha sendiri untuk bisa mingle dan bisa diterima sama temen-temen di skena Ska khususnya,” akunya jujur.
Melalui Yk Ska Fest Wipti berharap, genre musik Ska di Tanah Air, yang menurutnya masih terbatas berada di segmen masyarakat menengah akan semakin dikenal semua orang dan disuka oleh kalangan millenial secara lebih luas. (Antok Wesman-Impessa.id)