Gurit Wanodya Sastra Bulan Purnama, Tembi Rumah Budaya Sewon-Bantul, Jumat, 15 November 2019

Widya Ningrum (Kudus) dan Sulis Bambang (Semarang) tampil Di Gurit Wanodya Sastra Bulan Purnama, Tembi Rumah Budaya Sewon-Bantul, Jumat, 15 November 2019.
Impessa.id, Yogyakarta : Bukan untuk yang pertama kali Geguritan ditampilkan di Sastra Bulan Purnama. Sudah beberapa edisi Sastra Bulan Purnama, dalam tahun yang berbeda, kumpulan Geguritan diberi ruang untuk dibacakan, bahkan dibarengkan dengan buku kumpulan puisi, sehingga dua jenis buku, yaitu buku kumpulan geguritan dan kumpulan puisi dibacakan secara bergantian di Sastra Bulan Purnama.
Ini kali ketiga, kumpulan Geguritan berjudul “Wanodya” diterbitkan, dalam tiga edisi, dari tahun 2017-2019. Setiap tahun para Penggurit Perempuan dari kota yang berbeda-beda menerbitkan buku kumpulan Geguritan, dan disebut Seri Geguritan “Wanodya”. Para Penggurit perempuan itu ialah Alfiah Ariswati Sofyah (Karanganyar), Esti Suryani (Surakarta), Nia Samsihono (Jakarta), Ninuk Retno Raras, Tri Sumarni (Yogya), Puspo Endah (Kediri), Resmiyati (Klaten), Sulis Bambang, Yani S.Sastro (Semarang), Suratmini (Bojonegoro), Tino Jooshe (Surabaya), Trinilya Kinasih (Blitar), dan Widya Hastuti Ningrum (Kudus).
Perempuan Penggurit dari kota berbeda itu membacakan Geguritan karyanya dalam acara Sastra Bulan Purnama edisi 98, yang diselenggarakan jumat, 15 Nopember 2019, pkl. 19.30 di Tembi Rumah Budaya, Jalan Parangtritis Km 8,5, Tembi, Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Tajuk dari Sastra Bulan Purnama edisi 98 adalah “Geguritan di Tengah Wanodya”.
Selain para perempuan Penggurit yang tampil membacakan geguritan karyanya, juga tampil pembaca tamu Sri Surya Widati, Tara Nusantara, Rieta En dan Arieyoko. Penampilan musik diisi oleh kolaborasi Bengkel Sastra Taman Maluku dan Institut Karinding Nusantara. Untuk mengawali pertunjukan, puisi yang ditulis dalam bahasa Cilacap, atau yang dikenal dengan sebutan Bahasa Panginyongan mengawali pertunjukan.
Ons Untoro, koordinator Sastra Bulan Purnama mengatakan, bahwa perempuan penggurit dari berbagai kota yang memiliki profesi berbeda-beda, seperti guru, dosen, ibu rumah tangga dan profesi lainnya, berusaha menjaga bahasa daerah, khususnya bahasa Jawa, terus digunakan, meskipun logatnya berbeda-beda.
“Saya kira, usaha mereka untuk menjaga bahasa Jawa tidak dilupakan, dan mereka menjaga bahasa Jawa dalam bentuk menulis karya sastra dalam hal ini Geguritan, perlu untuk diapresaisi dan diberi ruang,” ujar Ons Untoro.
Halim HD, pekerja jaringan kebudayaan yang tinggal di Solo, dalam pengantarnya di buku Wanodya menuturkan, “Wanodya ingin menyatakan dan menyampaikan, inilah suara mereka. Suara dari pengalaman keseharian dan dengan bahasa Jawa yang berangkat dari basa keseharian”.
“Dalam konteks bahasa Jawa keseharian inilah, kita bisa mencatat adanya suatu perkembangan sastra Jawa yang tidak berpusat, bahasa Jawa krama hinggil. Sebagaimana anggapan yang selama ini telah membentuk persepsi kita tentang karya sastra Jawa” ujar Halim HD.
Arieyoko, dari Komunitas Sastra Etnik, yang menerbitkan kumpulan Geguritan “Wanodya” mengatakan, “Buku ini sebagai wujud konkret Sastra Etnik Jawa yang masih terus hidup subur-menyubur, berkembang mewangi, menjadi keragaman dari sekian ratus sastra-sastra etnik lainnya”. (Ons/Antok Wesman)