Feature

Prof STELLA CHRISTIE Yakin ISI YOGYAKARTA Mampu Menjadi Pelopor DIPLOMASI SENI INDONESIA Secara Global

Prof STELLA CHRISTIE Yakin ISI YOGYAKARTA Mampu Menjadi Pelopor DIPLOMASI SENI INDONESIA Secara Global

Prof STELLA CHRISTIE Yakin ISI YOGYAKARTA Mampu Menjadi Pelopor DIPLOMASI SENI INDONESIA Secara Global

Impessa.id, Yogyakarta: Seminar Nasional Dies Natalis ke-41 ISI Yogyakarta bertajuk "ART & DIPLOMACY: Memperkuat Jejaring Seni, Mewujudkan World Class University", berlangsung Selasa, 8 Juli 2025, di Concert Hall, dan disiarkan secara online melalui kanal youtube: ISI Yogyakarta, menampilkan Pembicara Utama yakni Prof. Stella Christie, Ph.D. (Wakil Menteri Diktisaintek RI). Berikut pernyataan menarik Prof Stella selengkapnya, kami sajikan untuk anda.

Saat Prof Stella berada di podium, beliau mengawali acara dengan menceritakan pengalaman menarik yang dialami sewaktu kuliah S2 di Harvard University Amerika Serikat, disaat makan siang di kantin kampus, dirinya ditanya oleh teman baru sekuliahan, anda berasal dari mana? Saya jawab dari Indonesia. lantas dia heran, Indonesia itu dimana? Seketika Prof Stella merasa heran, ini orang pintar karena berhasil diterima di Harvard, tapi kok o-on, gak tau Indonesia, padahal kalau di peta dunia, Indonesia itu negara yang besar.

Lantas Prof Stella berpendapat, “Kalau banyak orang yang tidak tahu keberadaan Indonesia, disitulah kelemahan diplomasi kita. Kita kurang diplomasi, kita kurang dikenal sebagai bangsa, Kalau muncul pertanyaan apakah kita seharusnya dikenal atau tidak? Jawabannya kita harus dikenal, karena Indonesia mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam seni dan budaya,” ujarnya.

Lebih lanjut Prof Stella menjelaskan, “Seni dan Budaya Indonesia, kalau kita boleh jujur dan obyektif, kalau kita membandingkan seni dan budaya Indonesia dari segi faktor keragaman, kita berada dipapan atas. Untuk itu kita seharusnya mempunyai kekuatan diplomatik yang luar biasa. Secara teoritis kita seharusnya papan atas dalam diplomasi, kemanapun kita pergi orang harus tahu siapa dan dimana Indonesia.”

“Kalau kita berpikir tentang China, maka langsung teringat Kungfu-nya, kalau tentang Jepang langsung teringat pada Sushi, makanan khas Jepang, kalau berpikir tentang Perancis langsung teringat pada Mode, kalau berpikir tentang Italia langsung teringat akan Pizza-nya, kemudian Korea dengan K-Pop-nya, nah itulah diplomasi, yang terkenal itu semuanya adalah seni dan kebudayaan,” tegas Prof Stella.

Menurut Prof Stella, Kunci dari diplomasi seni dan budaya adalah struktur. Hasil dari seni dan budaya itu adalah alat diplomasi yang paling efektif. Seni dan budaya itu harus ada strukturnya agar dikenal, diketahui, dan disebarkan di dunia. Yang pertama adalah rekognisi, rekognisi status dari keahlian mengenai seni dan budaya tersebut. Rekognisi bagi mahasiswa yang lulus memperoleh ijazah, dan pada sistem perekonomian dunia, ijazah adalah token ekonomi. Mengapa disebut token ekonomi? Karena untuk bisa mengetahui kemampuan mahasiswa, baik itu kemampuan lebih atau kemampuan biasa saja, atau bahkan tidak mempunyai kemampuan, maka diperlukan pengakuan atau pernyataan dari orang lain. Ini adalah tantangan dan juga tujuan, dengan adanya struktur sertifikasi, struktur ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang berbobot, itulah yang menjadi token ekonomi, modal diplomasi masa depan bangsa.

“Saat ini kita belum sampai pada diplomasi paling atas walaupun kita sebenarnya mempunyai bakat yang luar biasa, papan atas dari seni dan kebudayaan, konten seni dan kebudayaan Indonesia luar biasa. Jadi struktur sertifikasi itulah yang harus dicapai oleh perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi seni. Dari struktur, apa peran perguruan tinggi? Mengapa perguruan tinggi adalah kunci dari diplomasi seni dan budaya? Untuk bisa Indonesia mempunyai peran dan status di dunia lebih baik lagi,” ujar Prof Stella.

Dikatakan, “Kemudian mengenai teori seni, teori budaya, dan portabilitas. Begini penjelasannya, kalau kita pikirkan tentang musik, musik apa yang paling diketahui diseluruh dunia? Sayangnya bukan Gamelan Jawa, tetapi Musik Klasik, kita patut mempertanyakan kenapa yang paling dikenal sebagai standard musik itu adalah Musik Klasik dari Eropa? Bukan Musik Gamelan. Ini bukan karena konten dari Musik Gamelan, Kebetulan saya pun meneliti mengenai Brain and Music bersama rekan-rekan saya, bagaimana manusia memproses musik waktu kita lahir, satu jawaban penting adalah waktu kita lahir otak kita tidak mempunyai bawaan lahir kesukaan akan suatu jenis musik, meskipun sewaktu lahir otak kita sudah bisa memproses tonalitas, memproses ritme itu sudah bisa, tetapi tidak ada bahwa yang lebih disukai itu adalah harmoni, dan bukan Slendro-Pelog. Kita mengetahui jika waktu lahir sering diekspos dengan Slendro-Pelog, itu akan lebih mampu memproses musik tersebut daripada musik harmoni”.

“Jadi secara saintifik, tidak ada kesukaan lebih terhadap musik klasik, tetapi yang terjadi didunia ini didominasi oleh musik klasik. Mengapa? Karena teori musik klasik itulah yang ada, jutaan buku, paper, semuanya ditulis mengenai musik klasik. Pelurunya sangat banyak sekali, sehingga kalau kita belajar piano pasti yang diajarkan adalah harmoni, bukan Slendro-Pelog. Karena lebih banyak ditemukan jutaan teori mengenai ini sehingga teorinya itu membuat budaya tersebut, seni tersebut portable, mudah dijinjing, mudah dikemas, sehingga mudah disebar-luaskan. Mengenai teori kalau di Indonesia, teori itu sering dicemo-oh, diremehkan, ah teori, padahal tidak bisa praktik kalau tidak ada teori. Coba cari materi teori tentang Slendro-Pelog, susah banget ditemukan, terus bagaimana cara mengajarkannya? bagian anatomi dari Slendro-Pelog itu apa? Gak gampang mencari informasi itu, tapi kalau untuk harmoni, itu sudah ditulis semua teorinya, jadi satu hal penting kalau kita lihat apa itu guna teori? Teori yang ditulis itu sangat mudah disebarluaskan, itulah maksud Teori dan Portabilitas,” imbuh Prof Stella.

“Kenapa Balet lebih dikenal daripada Tari Srimpi? Kalau dari kekayaannya, sangat tidak kalah tarian Jawa kita dibandingkan dengan Balet, tetapi apa perbedaannya? Teori mengenai Balet itu sudah banyak sekali, mudah ditemukan, sehingga mudah disebarkan, sehingga kembali ke edukasi yang bisa terjadi lewat teori-teori, yang bisa dijinjing, bisa diangkat, bisa disebarkan yaitu terori menjadi portabilitas itulah yang menjadi kunci penyebaran,” tegas Prof Stella.

“Satu lagi kesukaan saya, Wayang, disini Wayang Kulit. Kalau dilakukan riset terhadap 100 orang di dunia, lantas ditanya siapa yang kenal Wayang? Lalu siapa yang kenal Kabuki? Kalau kita melihat kontennya, tidak bisa dibilang Wayang kalah dengan Kabuki nya Jepang. Wayang mempunyai formalitas dari Mahabharata dan Ramayana, epok yang luar biasa sudah tersistemasi didalam budaya Indonesia. tetapi untuk mencari tahu, apa sistemasi Wayang? Apa teori Wayang? Tidak mudah untuk mendapatkannya, sehingga tidak mudah bisa disebarluaskan. Sebaliknya dengan Kabuki yang begitu terbatas dibandingkan dengan kekayaan Wayang Indonesia, itu formalitas teorinya disebarluaskan secara intensif sehingga lebih dikenal luas, mudah ditemui, mudah dibaca, sehingga itu menjadi diplomasi yang jauh lebih kuat,” papar Prof Stella.

“Itulah yang sebut mengapa perguruan tinggi menjadi sangat penting terlebih seperti ISI Yogyakarta ini, Perguruan Tinggi Seni kita yang paling tua, yang paling dikagumi, yang paling banyak menghasilkan seniman-budayawan, yang utama sekali teoritas penulisan dan juga hasil-hasil praktik langsung yang bisa diportabilitaskan, yang bisa disebarkan, agar setiap kali orang mencari tahu, saya gak tahu wayang, apa itu wayang, coba saya cari tahu dan bisa langsung tahu apa itu wayang, inilah tentang wayang. Sedihnya saya, sewaktu cari wayang lewat google, yang paling pertama keluar pasti dari Wikipedia, bukannya authority book of Wayang dari ISI Yogyakarta,” aku Prof Stella.

Prof Stella lebih lanjut menegaskan, “Ini harus kita kerjakan bersama, yang ingin saya tunjukkan dari semangat dan tujuan ISI Yogyakarta untuk menjadi World Class University adalah bukan suatu angan-angan tetapi suatu yang memang harus terjadi, karena kekayaan seni budaya Indonesia adalah yang nomor satu di dunia, kekayaan seni budaya kita begitu luar biasa, sehingga untuk kita bisa menjadi the World Alternative Figure of Wayang, of Gamelan, of Indonesian Tradition, itu harus datang tentu saja dari Indonesia. Tidak ada yang bisa melakukan itu secara terorganisir kalau bukan dari Perguruan Tinggi.”

“Jadi kita harus percaya diri, kita harus mempunyai confidence, kepercayaan diri yang kuat, bahwa seni dan budaya itu adalah sesuatu yang harus kita pelajari, sesuatu yang harus kita formalitaskan, sesuatu yang harus kita terus-menerus teliti, sesuatu yang terus-menerus kita lakukan, di formalitas institusi perguruan tinggi. Tanpa formalitas institusi perguruan tinggi, tidak akan terstruktur seni dan budaya kita, dan seni budaya kita yang memang dasarnya kuat tidak akan bisa menjadi alat diplomasi. Kepercayaan diri inilah yang kalau kita boleh jujur belum tercermin secara optimal di bangsa dan negara kita. Padahal kalau kita pintar dan jeli, inilah kekayaan kita, inilah yang kita punyai tanpa, terus terang saja, harus bersusah payah. Sudah ada dasar yang paling kuat, dari seni dan budaya kita, bahasa kita. Jadi kita harus bangun kepercayaan diri ini, lewat bentuk-bentuk yang portable, sehingga dari institut perguruan tinggi dari ISI Yogyakarta, kita bisa melahirkan bentuk-bentuk porttable yang bisa disebarluaskan baik diluar negeri maupun didalam negeri,” tambahnya.

“Dahulu sewaktu saya kecil saya sering membaca buku cerita wayang, namun akhir-akhir ini susah ditemukan buku-buku mengenai cerita wayang di toko-toko buku. Padahal saya ingin membelikan buku cerita wayang untuk anak saya, gak gampang menemukan buku cerita wayang. Karena formalitas atau studi itu, mungkin, agak sedikit menurun. Untuk itu hari ini kita bangkit, hari inilah kita yakin dan percaya diri, bahwa kebudayaan dan seni kita adalah asset kita yang harus kita formalitaskan, yang harus kita risetkan, yang harus kita unggulkan, Kepercayaan diri ini sangat penting, dan kepercayaan diri ini hanya bisa dimulai oleh semua civitas akademika ISI Yogyakarta,” harap Prof Stella.

“Jika ISI Yogyakarta yang paling tua di Indonesia ini mempunyai kepercayaan diri, baru itu bisa menyebar di negara kita. Karena kalau di ISI Yogyakarta tidak percaya diri, merasa, ow mungkin bidang lain lebih baik dari seni, kita tidak akan bisa berbicara kepada dunia, tidak akan bisa berbicara kepada seluruh bangsa Indonesia, bahwa seni dan budaya kita adalah modal kepercayaan kita, percaya diri kita nomor satu,” serunya.

Profesor Stella menekankan bahwa kepercayaan diri itulah yang penting didalami, ISI Yogyakarta adalah poros kepercayaan diri, ISI Yogyakarta pula yang bisa menstrukturkan seni dan budaya Indonesia, yang secara riil, secara konkret, menjadi alat diplomasi nomor satu, mengingat seni dan budaya adalah alat diplomasi nomor satu.

“Jadi, kita harus tanamkan percaya diri ini, kita harus terus menekuni formalitas seni budaya kita, agar orang yang ingin tahu mengenai Wayang, mengenai Musik Gamelan, mengenai Tari Jawa, mengenai Seni Lukis, mengenai segala seuatu seni budaya Indonesia, bisa dengan mudah menemukannya, dan saya bangga dengan ISI Yogyakarta,” tutup Prof Stella Cristie.

Usai menyampaikan ceramah, Prof Stella didampingi Rektor ISI Yogyakarta Dr. Irwandi, M.Sn, dan pihak panitia Dies Ke-41, meresmikan mobil listrik Saraswati Green Environment kreasi ISI Yogyakarta, mengelilingi kampus menuju Fakultas Seni Rupa meninjau karya seni kreasi mahasiswa dari ke-9 Jurusannya. (Feature of Impessa.id by Antok Wesman)