Feature

Sultan HB X Pimpin Reboisasi Lereng Merapi Lestarikan Sumber Mata Air

Sultan HB X Pimpin Reboisasi Lereng Merapi Lestarikan Sumber Mata Air

Sultan HB X Pimpin Reboisasi Lereng Merapi Lestarikan Sumber Mata Air

Impessa.id, Sleman, Yogyakarta (20/01/2025): Kawasan barat Merapi mengalami kebakaran seluas 200 ha pada erupsi Merapi Tahun 2010 lalu, hingga berdampak pada kerusakan mata air. Selain mencari pasokan sumber air dari daerah lain, DIY juga berupaya melakukan perbaikan hutan dengan menanam pohon di kawasan Merapi.

Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X memimpin giat tanam pohon bersama Pemda DIY, Kraton Yogyakarta dan Pengurus Pusat Organisasi Pemuda Lintas Agama, Senin (20/01/2025) di Nawang Jagad, Kaliurang, Sleman. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kelangkaan air bersih yang mengalami peningkatan seiring terjadinya deforestasi, betonisasi, polusi hingga global warming. Ada 3 jenis pohon langka yang ditanam, yaitu sawo kecik, kepel, dan pronojiwo.

Sultan menjelaskan bahwa selain dampak erupsi Merapi pada 2010 yang mengurangi ketersediaan air, pertumbuhan penduduk dan pembangunan infrastruktur juga menjadi faktor penyebab. DIY menurut Sri Sultan membutuhkan pasokan air sebesar 800 liter per detik. Jumlah ini dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang mencapai 27.000 liter per detik. Apalagi, lonjakan jumlah penduduk DIY yang diproyeksikan mencapai 4 juta jiwa pada tahun 2025-2030, sehingga dipastikan akan meningkatkan kebutuhan air.

“Lereng Merapi tidak akan mencukupi seperti dulu. Sebelah barat telah terbakar beberapa tahun lalu seluas 200 hektare. Itu memang kembali, tapi tidak mungkin punya kecukupan. Oleh karena itu, penting pelestarian lingkungan di kawasan lereng Merapi untuk menjaga keberlanjutan sumber daya air,” papar Sri Sultan.

Sri Sultan berharap gerakan menanam pohon dan menjaga lingkungan tetap lestari ini menjadi gerakan masif di masyarakat. Gerakan ini juga diharapkan bisa meningkatkan kesadaran masyarakat. Terkhusus agar lebih mencintai lingkungan dan alam sekitarnya.

“Dengan gerakan ini saya berharap, lingkungan itu tidak rusak tapi makin bagus, sehingga di lereng Merapi akan banyak tanaman. Dengan banyak tanaman tumbuh, mata air baru yang memungkinkan masyarakat itu juga di Sleman bisa menikmati dengan baik,” ungkap Sri Sultan.

Sri Sultan juga sangat mengapresiasi keterlibatan ormas lintas agama. Hal ini menjadi simbol dari persatuan dan tujuan yang sama, dalam upaya menjaga alam yang ditempati sekarang. "Itu simbol daripada kemauan yang sama, saya kira kesadaran itu juga harus tumbuh ke anak-anak muda," tutup Gubernur DIY tersebut.

Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Datu Dana Suyasa, GKR Mangkubumi mengatakan, pasca erupsi Gunung Merapi 2010, banyak sungai-sungai yang tertutup lahar. Alam di kawasan Gunung Merapi tiap tahun juga semakin rusak. Kurangnya sumber mata air terjadi tidak hanya karena lahar gunung, namun juga banyaknya aktivitas manusia yang merusak salah satunya pertambangan pasir.

Menurut GKR Mangkubumi, jika alam rusak, maka akan mempengaruhi elemen-elemen yang lain, misalnya saja gumuk pasir hingga air di sekitarnya. Belum lagi ditambah dengan aktivitas eksploitasi yang dilakukan oleh manusia.

"Kami ingin lebih banyak lagi pohon-pohon yang ditanam. Karena sejujurnya, sejak erupsi Merapi tahun 2010 yang agak besar itu banyak sekali sungai-sungai, dan aliran sungai yang tertutup. Nah, dengan penanaman yang semakin banyak ini, yang kemudian akan menimbulkan kembalinya sampai mengalir ke selatan. Mudah-mudahan dari teman-teman dari lintas agama bisa mengajak teman-teman lainnya untuk bersama-sama menanam yang lebih luas lagi,” jelas GKR Mangkubumi.

Menurut GKR Mangkubumi, sangat penting untuk merawat keseimbangan pada alam semesta. Masyarakat dihimbau untuk jangan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan sesaat. Maka, meskipun giat tanam pohon yang dilakukan saat ini belum berdampak, namun bukan berarti tidak akan berguna. Target dan tujuannya adalah untuk target 1000 tahun ke depan.

Kepala Bebadan Pangreksa Loka, RM Gusthilantika Marrel Suryokusumo yang menginisiasi acara ini mengungkapkan, permasalahan lingkungan harus senantiasa bisa diantisipasi sebelum terjadi. Pencegahan ini, juga bisa diterapkan untuk menangani kemungkinan krisis air.

Kegiatan ini melibatkan pemuda agama lintas agama, dan bergerak di bawah Bebadan Pangersaloka, di bawah naungan GKR Mangkubumi. Tugasnya adalah menanggulangi permasalahan lingkungan, di tengah tantangan dan perkembangan zaman.

“Permasalahan yang paling krusial adalah bagaimana mengembalikan gunung sebagaimana fungsinya. Sesuai arahan Ngarso Dalem, gunung bali gunung, atau gunung kembali menjadi gunung. Artinya, melestarikan lingkungan supaya kembali seperti peruntukannya. Air dan lingkungan ini adalah sumber kehidupan bersama. Permasalahan lingkungan ini biasanya tidak terlihat, sampai sudah terjadi. Ketika sudah muncul dan sudah terjadi, itu artinya sudah terlambat," ungkap Marrel.

Lokasi Nawang Jagad menurut Marrel dipilih karena merupakan destinasi wisata di lereng Gunung Merapi. Pada pandemi Covid-19 lalu, lokasi ini mendapatkan alokasi Bantuan Keuangan Khusus (BKK) Gubernur DIY tahun 2020-2021. Bantuan tersebut diharapkan agar destinasi di lereng Merapi tersebut dikembangkan menjadi wisata berbasis alam melalui konsep eco-tourism dan green tourism.

Pengembangan destinasi yang sepenuhnya dikelola para pemuda Kaliurang itu sedari awal tidak mengubah bentuk alam. Menurt Marrel, semua dibiarkan sesuai dengan kontur alam pegunungan. Menawarkan keindahan alam dengan view gunung Merapi.

"Sekarang bisa memberikan hasil tidak hanya untuk dirinya sendiri tapi juga untuk lingkungan dan masyarakat sekitar. Wisata tidak harus membangun bangunan permanen, wisata tidak harus merusak bentang alam. Wisata bisa bersahabat dengan alam," tutup Marrel. (Tim Humas Pemda DIY/Antok Wesman-Impessa.id)