Buku dan Musik Gaet Milenial di MocoSik
Impessa.id, Yogyakarta - Anas Syahrul Alimi, Founder MocoSik Festival, mengatakan bahwa konsep MocoSik #3 berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pada Jumat, (23/8/2019) ketika berlangsung konferensi pers sekaligus membuka MocoSik Festival. “Hasil penjualan buku seluruhnya untuk penerbit,” kata Anas.
Hal itu sebagai wujud kepedulian terhadap kondisi literasi saat ini. Efek dari disrupsi, buku perlahan ditinggalkan. CEO di Rajawali Indonesia itu memberi contoh bahwa beberapa penerbit besar di Barat tengah mengalami collapse. Sebab itu, MocoSik mengingatkan akan pentingnya buku. Sebagai salah satu strategi menggaet milenial, buku dipadukan dengan musik. Musik yang kata Anas, mampu menjadi bahasa universal, efektif menggaet massa milenial.
Selain Anas, turut berbicara pula Bakkar Wibowo (Co-founder MocoSik), dan Irwan Bajang (Direktur Program MocoSik). Tak ketinggalan, Senior Vice President Stakeholder Management PGN, Santiaji dan Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti.
Salah satu sasaran MocoSik adalah generasi milenial. Seperti yang diungkapkan Bakkar, banyak penulis dan musisi yang tampil akrab dengan milenial, seperti Yura Yunita dan Tulus dihadirkan di MocoSik 2019. Menurut Direktur Program MocoSik, Irwan Bajang, pengisi Obrolan MocoSik naik drastis. "Lebih dari 60 orang," katanya. MocoSik juga menghadirkan agenda baru, antara lain menulis di era digital dan ada kelas menulis lagu. "Itu belum ada di tahun sebelumnya," pungkas Bajang.
Santiaji, direktur PGN, BUMN selaku sponsor utama MocoSik, mengungkapkan bahwa keterlibatan PGN sebagai bentuk kepedulian dan komitmen terhadap dunia literasi Indonesia. Selain itu, Hariyadi Suyuti, Walikota Yogyakarta, juga mengapresiasi MocoSik. Bahkan, kata dia, boleh jadi kedepannya pemerintah kota Yogyakarta bakal terlibat lebih dalam festival buku dan musik pertama di Indonesia ini. .
Beberapa artis pengisi juga dihadirkan dalam konferensi pers tersebut, antara lain Dialog Dini Hari, Gallaby, juga Agus Noor. Dialog Dini Hari, melalui vokalisnya, Dadang Pranoto mengungkapkan bahwa MocoSik adalah event terbaik mereka di tahun ini. Baginya, penting sekali acara-acara seperti MocoSik ini, karena buku amat lekat dengan dunia musik.
Selepas itu, PGN melanjutkan talkshow dan mengenalkan kepada khalayak tentang energi gas yang diproduksi PGN. Diskusi bertajuk “Gas Untuk Kehidupan” itu bertujuan untuk mensosialisasikan energi gas bumi kepada masyarakat Indonesia agar bisa dimanfaatkan lebih luas.
Obrolan MocoSik: Terima Kasih Emak, Terima Kasih Abah: Cerita Sinema, Kisah Buku
Ody Mulya Hidayat terlihat bersemangat. Berkali-kali ia memancing audiens untuk bertanya. Baru saja ia bercerita tentang kebingungan yang melanda pasca rilis film Dilan, beberapa waktu lalu. Karena di film, Dilan dikisahkan gagal merajut asmara dari kekasih, persis di novelnya, "Penonton tak terima," katanya sembari melempar tawa.
Namun, F.X. Rudy Gunawan (penulis skenario Terima Kasih Emak, Terima Kasih Abah) bersepakat tentang kekonsistenan Ody. Rudy juga mengapresiasi karya sastra yang diangkat jadi film. Keluhan dari para penonton, adalah melemahnya cerita, dan langkah menfilmkan karya sastra adalah salah satu jalan keluar. BEKRAF, kata dia, juga mendukung hal ini.
Lantas ia berkisah, tentang kekuatan teks dan audio visual. Kata Rudy, itu berbeda. Membaca, sebagaimana kata Rudy, menyuguhkan kita tafsir bebas. Akan tetapi, dalam film tafsir yang disuguhkan telah final. Tak ada ruang sedikitpun tentang interpretasi, itu berbeda sekali dengan membaca.
Menurut Zen R. S., beberapa orang terlalu keras kepala melihat bentuk lain. "Problem filmmaker kita adalah ketidaksanggupan membiarkan sastra, sebagai tulang rusuk semata." Dan, lanjut Zen, para penonton pun tak bisa lolos dari jebakan itu. "Sekali tak bisa dinego, film tak akan pernah bisa memuaskan mereka," pungkas Zen.
Obrolan MocoSik: Buku dan Seni Rupa
"Sore ini kita membicarakan sesuatu yang kiranya tak perlu dibicarakan," kata Buldanul Khuri, pemandu diskusi. Satu per satu para perupa mulai duduk, Samuel Indratma, Ong Hari Wahyu, Jumaldi Alfi, dan Ugo Untoro. Kelakar mengiringi kedatangan empat perupa itu.
"Buku itu seperti bahasa dia (Ugo Untoro). Koe ra tekan mas (Buldan)," kata Dodo Hartoko, mencibir Buldan. Riuh rendah tawa penonton. "Jogja itu berutang sama Samuel. Kalau bicara mural, bapaknya ya Samuel," kata Dodo, mengenalkan perupa kepada audiens.
Diskusi yang berlangsung cair itu diwarnai cerita oleh Ong tentang novel Pram, Arok Dedes, edisi pertama. Ia bilang, itu adalah salah satu hasil kesalahannya. Akibat memvisualkan Ken Arok hanya berbekal sejarah yang diajarkan di SD, dia keliru. Ken Arok diilustrasikan memakai keris, padahal dalam novel tak ada hal macam itu. "Karena rumah saya menjadi tempat para penerbit berkumpul, saya hanya mendengar buku dari obrolan," Ong berdalih. Tawa penonton kembali riuh.
"Saya dengan Pak Buldan bertakdir," kata Jumaldi Alfi. "Pak Bul (panggilan Buldan) enggak bisa saya setip dari kehidupan saya." Alfi berkisah, yang menarik baginya bukan sekadar masalah uang. "Untuk bikin kover, saya diajak dialog (sama Pak Buldan)." Waktu itu Alfi menggarap buku Bentang seri psikoanalisa. Dan itu yang paling membekas dalam diri Alfi hingga kini.
Samuel berkisah lain. Waktu itu, tempat pamer tak banyak dan kolektor belum tumbuh. Di situlah kover buku menjadi titik terang. Meski Samuel tidak sering terlibat membikin kover, "tapi saya membikin ilustrasi."
"Kalau bikin sampul buku, belum ada sepuluh," kata Ugo Untoro. Ugo mengakui bahwa dirinya adalah pencinta buku. "Tapi bukan pembaca buku," sembari memamerkan koleksi sampul buku-buku yang dicintainya. Sampul buku seperti Cerita Silat Ko Ping Ho dan Naga Sasra Sabuk Inten, berhasil menarik dan membekas di hatinya. Hingga rampung, diskusi itu menjadi diskusi paling penuh kelakar.
Obrolan Buku: Irama Lain Monolog Jogja
Perempuan bertopeng dan bersampur merah itu perlahan memasuki panggung Ontosoroh. Sembari menabur bunga ke sekitar, rapalan mantra jawa berdentangan. "Selamat malam semuanya," kata perempuan itu sembari melepas topeng. Apakah selesai? Tidak. Bahkan, monolog itu baru saja lekas.
Itulah salah satu pokok problematika malam hari ini: monolog. Selain nasibnya kian gelap, juga ternyata perdebatannya tak berujung hingga kini. Indra Tranggono dan Banyu Bening dipandu Latief S. Nugraha bicara panjang lebar ihwal monolog di Yogyakarta.
Sejak tahun 1980an, aku Indra, ia mulai mengamati dunia keaktoran. Begitu lanyah Indra mengkisahkan dunia keaktoran. Ketika ia menyaksikan pertunjukan monolog, kontan Umar Kayam menegur, "Koe ki do ngerti monolog ra to?" kisahnya. Umar Kayam, menurut kisahnya, langsung mengajak makan dan bicara soal monolog. Menurut Kayam, monolog itu dimainkan satu orang satu karakter dan isinya mengkisahkan pedalaman batin si pemain.
"Problem monolog bukan hanya teknis, tapi psikologis, bahkan spiritual," kata Indra. Hal itu tidak bisa dijawab hanya dengan kemampuan teknis. Selain itu, monolog juga butuh dana besar, nyaris seperti drama. Karena di belakang sang aktor, banyak kelindan orang yang terlibat. Tranggono menyarankan, kalau mau memainkan monolog, pilih naskah yang bagus.
Banyu Bening, pendiri akuaktor.com, berkata bahwa monolog merupakan bagian dari naskah. Naskah dialog tunggal yang panjang. "Monolog itu kan artinya perkataan tunggal, Bukan pertunjukkan tunggal," demikian kata Banyu.
Monolog, lanjut Banyu, di keaktoran itu mustahil. Aktor itu 'menjadi', meninggalkan karakter seseorang sebentar untuk 'menjadi' tokoh. Monolog itu pemuliaan keaktoran. Menyanyi, menari, akting dilakukan sekaligus. “Mungkin persoalannya adalah bukan pada duitnya, tapi adalah masalah aktornya bernyali atau tidak,” tanya Banyu.
Panggung Musik MocoSik
Panggung Musik MocoSik dimulai bersamaan ketika Obrolan MocoSik masih berjalan. Sebagai pembuka, gempita tembang-tembang Nosstress berhasil membikin penonton berdendang. Di lagu penutup, empat sekawan asal Pulau Dewata ini berhasil mengajak penikmat musik melantunkan tembang bersama.
Dilanjutkan oleh Gallaby, penyanyi ayu jebolan ajang pencarian bakat teve swasta itu, berhasil membuat suasana panggung membahana. Lantas, Agus Noor juga sukses berkolaborasi dengan Sri Khrisna Encik, Bagustian Iskandar dan Sruti Respati.
Selanjutnya, tak disangka, turut hadir Fajar Merah, putra aktivis Wiji Thukul. Hadir di sela penampilan Dadang Pranoto cs. Fajar, bersama Dialog Dini Hari, berkolaborasi dalam lagu "Aku Adalah Kamu", lagu bertema kemanusiaan yang lekat.
Panggung Musik MocoSik dipungkasi dengan penampilan memukau Efek Rumah Kaca. Ketika lantunan tembang "Putih" dari album Sinestesia dimainkan, terlihat nyaris seluruh penonton ikut bernyanyi. Cholil juga sempat membincang ihwal Papua sebelum menyanyikan tembang "Merdeka". Terakhir, Panggung Musik MocoSik hari pertama dipungkasi dengan lagu "Sebelah Mata." (Tim Marcom Mocosik/Antok Wesman)