Event

Jogja Cross Culture 2019 Di Nol Kilometer, Menuju Kota Budaya Dunia

Jogja Cross Culture 2019 Di Nol Kilometer, Menuju Kota Budaya Dunia

Jogja Cross Culture 2019 Di Nol Kilometer, Menuju Kota Budaya Dunia

Impessa.id, Yogyakarta : Jogja Cross Culture, pilot project gerakan budaya hasil partnership antara komunitas budayawan - seniman muda Jogja dengan Pemerintah Kota Yogyakarta digelar pada Sabtu dan Minggu, 3 dan 4 Agustus 2019 di area Nol Kilometer Yogyakarta.

Konsep jalinan partnership tersebut berusaha menjalankan misi Kota Yogyakarta sebagai Kota Budaya Dunia. Pintu terbuka secara resmi dengan kesediaan Wakil Walikota Yogyakarta, Heroe Purwadi, menjadi Ketua Panitia dan dari dia pula, Program Jogja Budaya dikemas dengan tema besar Jogja Cross Culture.

Secara nasional, Yogyakarta masih menjadi kota budaya yang paling diminati. Pada 2018, dalam Forum ASEAN Ministers Responsible for Culture and Art, Kota Yogyakarta dikukuhkan sebagai Kota Budaya ASEAN periode tahun 2018-2020. Pengakuan internasional itu membuat Yogyakarta dipandang sebagai aset budaya nasional, ditempatkan sejajar dengan kota budaya lain di dunia.

Merespon pengukuhan tersebut, Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta menggandeng komunitas seniman-seniman muda Jogja menyusun Program Jogja Budaya, gerakan berbasis budaya, mengusung semangat Gandeng Gendong yang diluncurkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Gandeng Gendong adalah perwujudan filosofi gotong royong berbagai elemen masyarakat yang terbagi menjadi 5 K yakni, Kota, Kampung, Kampus, Komunitas dan Korporat. Khusus bagi Jogja, elemen ditambah dengan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.

"Tugas kami di kebudayaan adalah melakukan pembinaan, baik untuk para pelaku seni dan juga masyarakat. Acara ini juga mengetengahkan hakikat dari kebudayaan di Yogyakarta. Budaya yang telah menyesuaikan dengan perkembangan zaman tetapi ruhnya tidak berubah," papar Eko Suryo Maharsono, Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta.

Pada elemen Kampung, 14 Kecamatan di Kota Yogyakarta bergabung dan terlibat langsung di beberapa rangkaian acara, seperti pembuatan Jenang Khas Kota Yogyakarta, yang diberi nama Jenang Golong Gilig, yang di-launching di acara tersebut. Mereka terlibat pula dalam penampilan Tari Rakyat yang digelar di kawasan Nol Kilometer berkolaborasi dalam Njoged Njalar. Keterlibatan lain dari perwakilan wilayah yaitu pada aktivitas yang mengedepankan edukasi sejarah, dikemas dalam tajuk “Historical Trail Njeron Benteng”, terbuka untuk umum dengan mengajak publik menyusuri tempat-tempat bersejarah di Njeron Benteng.

Konsep partisipatif menjadi penting bagi gerakan budaya, seperti yang disampaikan Budayawan Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, “Cross Culture itu mungkin selalu kontekstual tetapi prinsipnya itu pelibatan, melibatkan banyak pihak sehingga silang budaya memunculkan pemahaman lintas budaya.”

Keterlibatan Kampus pun diusung sebagai ruang persiapan Cross Culture Performance. Gelaran acara di tanggal 4 Agustus 2019 juga diisi dengan peluncuran program Gandes Luwes dari Pemerintah Kota Yogyakarta, dan puncaknya adalah Historical Orchestra dan Cross Culture Performance yang mengharmonisasikan Karawitan, Musik Orchestra, Choir, dan seniman-seniman Jogja yang berkolaborasi dengan seniman internasional di satu panggung. Tepas Keprajuritan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat berpartisipasi pula di Cross Culture Performance.

Elemen Komunitas juga terlibat, selain komunitas seni musik, tari, visual, juga bergabung komunitas permainan traditional, multimedia, dan forum-forum masyarakat online Jogja. Komunitas-komunitas itu mewakili budaya tradisi dan budaya kekinian.

Lintas budaya secara era juga dipresentasikan pada tanggal 3 Agustus 2019 dalam penampilan Wayang Kota, kolaborasi Wayang Ukur yang diperkenalkan oleh Sigit Sukasman dengan lima dalang generasi milenial, menampilkan lakon “Kancing Jaya”.

Program Jogja Budaya yang sejak awal dikonsep menjadi gerakan budaya di seluruh elemen masyarakat, menyadarkan bahwa budaya bukanlah sebuah komoditas, tetapi cara hidup yang tumbuh dan berkembang pada sebuah kelompok dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Titik tekan program adalah bagaimana budaya itu hidup dan menghidupi. Gerakan pembinaan dan penguatan budaya di kelompok-kelompok itulah yang sebenarnya menjadi focal point.

“Istimewanya lagi, di Jogja terjadi saling silang budaya sejak awal berdirinya Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dan semuanya mampu berkembang dan bersanding. Inilah kemudian menciptakan sebuah melting pot budaya dalam satu kota. Tepat kiranya, Jogja menjadi bagian dari Kota Budaya Dunia,” ujar RM Altiyanto Henryawan, Program Director Jogja Cross Culture. (Iwan Pribadi/Antok Wesman)