Feature

Pesta Panen Wiwitan Di Sanggar Anak Alam Yogyakarta, Ritual Wujud Syukur Kepada Tuhan Atas Panen Yang Tiba

Pesta Panen Wiwitan Di Sanggar Anak Alam Yogyakarta, Ritual Wujud Syukur Kepada Tuhan Atas Panen Yang Tiba

Pesta Panen Wiwitan Di Sanggar Anak Alam Yogyakarta, Ritual Wujud Syukur Kepada Tuhan Atas Panen Yang Tiba

Impessa.id, Yogyakarta : Ada pelajar dari Jakarta yang kesehariannnya berkutat di dalam ruang belajar, ketika tur ke desa di Kulon Progo Yogyakarta, dan melihat sawah, ada tanaman padi yang telah menguning disitu, yang setelah dilakukan proses pengulitan menjadi butiran-butiran beras. Dia heran, ternyata nasi yang dia santap setiap harinya itu berasal dari tanaman padi, selama ini setahunya beras itu adalah produk industri. 

Hal itu terungkap dalam sambutan yang disampaikan Anton Jumiran, Penyuluh Pertanian dari Kecamatan Kasihan, Bantul, pada acara Pesta Panen Wiwitan yang digelar Sanggar Anak Alam – SALAM Yogyakarta dengan Kelompok Tani “Suka Tani” Desa Nitiprayan, Selasa (23/4/19) berkaitan dengan Peringatan Hari Bumi tanggal 21 April. 

Dijelaskan, melalui Pesta Panen Wiwitan, kita harus mencintai Bumi Pertiwi, karena darinya satu butir Padi yang ditanam itu akan tumbuh menjadi 20 anakan tanaman Padi. Dari setiap anakan batang dalam rumpun Padi itu akan mengeluarkan tangkai Bulir Padi berisi sekitar 200 Butir Padi. Sehingga dari setiap satu butir Padi yang ditanam, dapat menghasilkan 4-ribu butir Padi atau Gabah dalam bahasa Jawa. “Suatu anugerah Tuhan yang sungguh luar biasa diberikan untuk kita,” ungkapnya. 

Pesta Panen Wiwitan ditandai dengan pemotongan beberapa tangkai bulir Padi di suatu areal persawahan yang siap panen, dilakukan oleh Sesepuh Desa, diiringi doa oleh Legenda Penari Topeng Losari Cirebon, Nanik Sawitri, yang mengenakan konstum tari lengkap dengan Keris dan Topeng keramat peninggalan leluhurnya, disaksikan seluruh warga desa yang menyaksikan prosesi Pesta Panen Wiwitan siang itu. 

Alunan Gejog Lesung nan bertalu-talu yang dimainkan ibu-ibu warga desa Nitiprayan mengiringi arak-arakan dari persawahan menuju halaman Sanggar Anak Alam, disambut tari-tarian Tolak Bala yang ditarikan oleh ibu-ibu, orang tua dari anak-anak yang menuntut ilmu di SALAM. Penari Topeng Losari kenamaan Nanik Sawitri yang begitu akrab dengan komunitas Sanggar Anak Alam, memunajatkan doa sesaat sebelum dirinya unjuk kebolehan, mengambil fragmen menarikan Tari Klasik Topeng Losari secara apik, mempesona semua yang hadir disitu. 

Ketika dikonfirmasi Impessa.id usai pentas, Nanik Sawitri nyaris tidak bisa mengeluarkan kata-kata, dirinya begitu tersentuh dengan pesan leluhurnya, neneknya, 37 tahun lalu peristiwa yang pernah dia saksikan sendiri tatkala leluhurnya menarikan tarian sakral tersebut di Losari, kini dia lakukan sendiri, persis seperti pesan neneknya yang ditujukan kepada dirinya. “Kelak engkau akan menarikan tarian ritual lengkap ini di Wetan, maksudnya di Timur,” tuturnya mengingat pesan yang dia ingat dari neneknya. 

“Tarian ritual ini terjadi terakhir 37 tahun lalu, tahun 1983, Ruwatan oleh Ibu Dewi, penari Topeng Losari Generasi ke-4 di Losari, dan kini tempat ini yang dipilih oleh Semesta untuk kembali melakukan ritual ini, di tahun ganjil, tanggal Jawa ganjil, tanggal 17 Ruwah, angkanya 23, Kami nyasar ke Salatiga, kemudian tanggal 17 Jawa, ketika kami membeli telur untuk Ibu, 17 butir. Banyak sekali fenomena yang kami alami dan itu diluar nalar kami, tapi kami tahu bahwa ini memang sudah terstruktur dan kami hanya sebagai pelaksana saja,” ungkap Nanik semangat. “Hari ini, saya mulai dibukakan mata, bahwa saya harus percaya segala sesuatu yang tidak bisa dibaca oleh mata telanjang. Tadi saya menari selesai jam 3, pas adzan berkumandang,” imbuhnya. 

Nanik Sawitri yang pada penampilannnya di Sanggar Anak Alam Yogyakarta membawa serta lengkap ketiga Topeng Pusaka, masing-masing Panji Sutera Winangun, Kelana Kancil dan Kelana Bujang, yang mewakili ke-tiga dimensi, Tuhan-Tubuh-Bumi. Padahal pada sebelum-sebelumnya dia hanya membawa dua topeng. “Ini diluar nalar, saya saat berangkat dari Losari, dalam kondisi terburu-buru, tapi malah bisa membawa ketiga topeng, ini hal yang luar biasa,” ulas Nanik Sawitri, sebagai penari Topeng Losari Generasi ke-7. 

Kepada Impessa, Nanik juga mengingat pesan Cak Nun ketika berjumpa di Jakarta, bahwa akan terjadi persitiwa besar yang menimpa dirinya, sesuatu yang baik. “Saya hanya bisa bersyukur diberi kesempatan yang baik ini ditengah-tengah orang-orang yang tulus, orang-orang yang punya energi besar, yang jelas, disini, hari ini, saya diberi kesempatan yang luar biasa, dan belum tentu hal ini bisa terjadi lagi,” pungkasnya. 

Dalam kesempatan itu Amy dan Cary Smith, keduanya wisatawan dari London, Britain, yang untuk pertamakalinya berkunjung ke Yogyakarta, menyaksikan acara seni-budaya Nusantara di Desa Nitiprayan tersebut, kepada Impessa menuturkan kesannya masing-masing. “Festival ini sangat bagus, sangat menarik, ini pertamakalinya saya melihat,” tutur Amy. Senada dengan Amy, Cary pun merasa senang dapat hadir ditempat ini, ditengah-tengah publik yang ramah, melihat budaya yang berbeda. 

Sri Wahyaningsih, selaku pendiri Sanggar Anak Alam menjelaskan tujuan digelarnya Pesta Panen Wiwitan yaitu agar petani tetap berdaya. “Kita, tak henti-hentinya menyuarakan hal ini, dan acara sedekah bumi ini juga didukung oleh tari ritual Topeng Losari, jadi klop, melalui budaya kita bisa berkolaborasi, kita bisa merajut persaudaraan, dan kita berjuang bersama-sama supaya petani kita tangguh kembali,” jelasnya. 

Salah satu orang tua dari siswa yang ditemui Impessa.id, bernama Reren Indranila, mengaku senang jika anaknya belajar di SALAM. “Lewat acara Wiwitan ini kami bisa mengajarkan juga kepada anak-anak, mulai dari petani, bercocok-tanam padi, membajak sawah, mengairi sawah dan seterusnya hingga panen padi dan kemudian mengolahnya menjadi Nasi Wiwitan, dihidangkan lengkap dengan sayur lalap ada daun Kenikir, Telur rebus, Tempe-Tahu Terik dicampur potongan daging Ayam, membuat meleleh air liur,” tutur Reren Indranila. 

Reren juga menambahkan bahwa di Sanggar Anak Alam tidak disediakan Tempat Sampah Plastik, hanya ada Tempat Sampah Organik, sehingga manakala ada anak-anak yang ke sanggar membawa sampah plastik ya terpaksa harus membawanya kembali ke rumah. Cara dini membiasakan anak-anak ikut peduli dengan sampah sebagai persoalan kita semua. 

Budi Widanarko sebagai Ketua Panitia melalui Impessa.id menjelaskan makna Pesta Panen Wiwitan itu. “Kami berharap anak-anak didik SALAM beserta orang-tua mereka mengenal akan budayanya sendiri, demikian halnya bagi warga masyarakat terutama generasi mudanya, adanya wujud syukur kepada Tuhan atas panen yang tiba, semoga panen ini bisa mencukupi kebutuhan banyak orang,” tutup Arko, sapaan akrabnya. (Antok Wesman)