Event

Hari Bersastra Yogya 2018, Tasyakuran 18 Tahun Studio Pertunjukan Sastra

Hari Bersastra Yogya 2018, Tasyakuran 18 Tahun Studio Pertunjukan Sastra

Hari Bersastra Yogya 2018, Tasyakuran 18 Tahun Studio Pertunjukan Sastra

Impessa.id, Yogyakarta: Acara Hari Bersastra Yogya merupakan agenda rutin tahunan yang diselenggarakan oleh Studio Pertunjukan Sastra. Tahun ini merupakan tahun ke 6 (enam) penyelenggaraan Hari Bersastra Yogya yang sekaligus merupakan acara perayaan hari jadi Studio Pertunjukan Sastra ke 18 (delapan belas) dan penanda 13 (tiga belas) tahun bergulirnya acara Bincang-Bincang Sastra.

Bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan DIY dan Rumah Baca Ngudi Kawruh, Studio Pertunjukan Sastra menggelar serangkaian acara Hari Bersastra Yogya bertema Sambang Desa “Lawan Sastra Ngesthi Mulya” yang mengedepankan serba-serbi sastra Jawa dalam dua bagian pertama adalah Sarasehan dan Pelatihan Sastra Jawa, kedua adalah Pementasan Sastra Jawa. Penyelenggaraan berlangsung di kompleks Rumah Baca Ngudi Kawruh, Onggopatran RT 03, Srimulyo, Piyungan, Bantul pada Sabtu 27 Oktober 2018 pukul 09.00 hingga pukul 23.00 WIB.

Gelaran Hari Bersastra Yogya tahun 2018 meliputi pelatihan mendongeng berbahasa Jawa bersama Bagong Soebardjo dan sarasehan sastra Jawa dengan narasumber Dhanu Priyo Prabowo dan Sugito Ha Es. Acara tersebut berlangsung pada pukul 09.00 sampai pukul 12.00 WIB. Sementara malam harinya, mulai pukul 19.00 sampai pukul 23.00 WIB digelar Pementasa Sastra Jawa menyajikan pementasan Dolanan Anak Tradisional oleh anak-anak binaan Taman Baca Ngudi Kawruh, Onggopatran, Srimulyo, Piyungan, Bantul.

Selanjutnya adalah konser tembang dolanan anak yang dipentaskan oleh  Komunitas Walang Pro menghadirkan tembang-tembang karya Ki Hadi Sukatno. Dihadirkan pula penggurit Yogyakarta dari lima generasi, mereka adalah, Krishna Mihardja, Sulistyarini A.S., Eko Nuryono, Asti Pradnya Ratri, dan Jefri Btara Kawi. Sementara itu, Yohanes Siyamta menyajikan pembacaan cerita jagading lelembut karyanya. Acara ditutup dengan sajian pementasan kolaborasi Komunitas Ngopinyastro dengan Komunitas Walang Pro mementaskan pertunjukan Wayang Cerkak yang diangkat dari Cerkak berjudul “Dasamuka” karya Djajus Pete.

“Acara Hari Bersastra Yogya tahun 2018 hadir secara langsung di tengah masyarakat. Kesadaran bahwa masyarakat juga memiliki karya sastra secara kolektif dalam ingatan dan menyebar secara lisan membuat penyelenggaraan acara ini menjadi penting adanya. Keberadaan sastra di kampung-kampung merupakan potensi bahkan aset bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kekayaan intelektual ini perlu disadari dan dijaga dengan melibatkan masyarakat luas sebagai pelaku sastra,” ujar Mustofa W. Hasyim, ketua Studio Pertunjukan Sastra.

“Pada dasarnya acara ini mengupayakan gerakan literasi di masyarakat, utamanya mengenai jagat sastra Jawa di Yogyakarta. Spirit yang diteladani pada kegiatan ini ialah semangat yang pernah disampaikan Ki Hajar Dewantara, yakni “lawan sastra ngesthi mulya”, lewat sastra kita terus berupaya menjadi manusia sejati,” imbuhnya.

Sukandar selaku koordinator acara menambahkan bahwa yang coba ditempuh tetaplah sama, jalan belajar, upaya tegur sapa. Hanya saja, kali ini yang coba dipertemukan, di-rembug adalah Sastra Jawa dan pertunjukan atau pementasannya. Sastra Jawa yang dihadirkan pun lebih mengedepankan Sastra Jawa Modern, meski juga menampilkan Sastra Jawa Klasik.

"Disadari bersama bahwa keberadaan Sastra Jawa Modern dan Sastra Jawa Klasik di masyarakat DIY boleh dibilang tidak berjarak. Macapat masih hadir di komunitas-komunitas kecil di kampung-kampung meski dari tahun ke tahun jumlahnya semakin berkurang. Perlu perhatian khusus bagi para pandhemen macapat untuk terus dipupuk keberadaannya sehingga dapat lestari di tengah era globalisasi," ujar Sukandar.

Menurutnya, Geguritan, Cerkak, dan Jagading Lelembut sebagai karya sastra Jawa modern acapkali dijumpai di media massa berbahasa Jawa, baik koran maupun majalah. bahkan juga hadir di radio. Para sastrawan Jawa modern pun tetap setia menuliskannya meski media sastra Jawa seperti koran dan majalah kini terbatas keberadaannya. 

Masyarakat Jawa juga akrab dengan karya sastra yang hadir dalam gending atau tembang, di antaranya Tembang Dolanan Anak dan Tembang Lokal yang hanya dimiliki masyarakat setempat dan sekitarnya. Tembang Dolanan Anak pada masanya dihadirkan orang tua untuk menimang anak-anaknya sebagai tradisi turun-temurun secara kolektif di masyarakat. Demikian pula dengan Tembang Dolanan Lokal yang berkisah mengenai tempat-tempat lokal di mana tembang itu berkembang dan hadir sebagai ingatan, kenangan, memori kolektif masyarakat.”

“Sastra Jawa modern konon lahir sebagai bentuk ekspresi masyarakat. Tidak semua orang bisa membaca tulisan dalam serat babad yang arkhais, gelap, penuh dengan sanepa. Di tengah perjalanan, sastra Jawa modern hadir dengan bentuk baru. Meskipun hingga hari ini masih diperlukan rekadaya yang tidak setengah-setengah. Buku lahir, perlombaan-perlombaan hadir, fetival demi festival pesta warna, dan banyak hal lagi yang telah dilakukan oleh “daerah istimewa” ini.

Melalui acara Hari Bersastra Yogya, Studio Pertunjukan Sastra mencoba memberikan tafsir bagaimana sastra Jawa dibaca, direspons, dan dipanggungkan. Tentu saja hal tersebut dapat terwujud dengan memadukan bentuk kesenian lainnya, musik, teater, tari, dan rupa, sebagai tegur sapa kreatif, dengan sastra sebagai pintu masuknya, semua terbuka kemungkinan dalam penyajian,” ungkap Sukandar.

“Penyelenggaraan acara ini terwujud berkat jalinan kerja sama langsung dengan masyarakat, Taman Baca Masyarakat (TBM), komunitas sastra Jawa, pelaku seni tradisi, dan dukungan penuh dari Dinas Kebudayaan DIY. Adapun semangat yang digalakkan adalah usaha memungut kembali hal-hal yang terlewat dan tak selesai, berusaha menemukan kemungkinan baru dalam merespons dan menyosialisasikan sastra, khususnya Sastra Jawa,” pungkas Sukandar. (SPS/Tok)