Yulianti, Pelajar Yang Tertarik Belajar Membatik Di Desa Wisata Wukirsari, Bantul, Yogyakarta
Impessa.id, Yogyakarta, Indonesia, November 2025: Siang itu sebuah mobil keluarga meluncur menuju Desa Wisata Wukisari di kawasan Imogiri-Bantul, yang berjarak sekitar 17 km dari pusat Kota Yogyakarta, dapat ditempuh dalam 30-40 menit perjalanan menggunakan kendaraan pribadi.
Yulianti hatinya berbunga-bunga setelah keinginannya untuk belajar membatik di desa wisata yang berhasil meraih The Best Tourism Village 2024 dari Organisasi Pariwisata Dunia di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa -United Nation World Tourism Organization/UNWTO, itu terwujud, diantar oleh ayah-Ibu dan adiknya.
Angan-angan-nya apa nanti yang bakal dia lakukan disana, telah membuatnya speechless, membuat ibunya terheran-heran.
“Tumben diem, biasanya banyak ceritanya,” sergah ibunya.
“He..he, iya Bu, lagi mikirin wujud apa nanti ya yang ku batik,” jawab Yulianti singkat, sambil meneruskan lamunannya.
“Kakak mau membatik apa kak”,” seru si kecil Daryl yang duduk dipangkuan ibunya.
“Bagusnya apa ya, dik, adik suka gambar apa?” tanya Yulianti.
“Terserah kakak,” jawab sang adik
Itulah sepenggal percakapan ringan di perjalanan menjelang memasuki areal Desa Wisata Wukirsari yang dirunut melalui google-map, papan petunjuk menuju lokasi ada disetiap persimpangan jalan, mudah melacaknya meski baru pertamakalinya keluarga pak Wibowo mengunjungi desa wisata itu.
Sesampainya di gerbang bertuliskan “Selamat Datang di Desa Wisata Wukirsari” mobil diparkir di tempat yang teduh, dibawah kerindangan pepohonan. Bersama-sama kami turun dari mobil dan ayah segera bertanya kepada bapak-bapak yang tampaknya sedang bertugas menerima tamu.
“Selamat Siang pak,” sapa ayahku.
“Selamat sinag, selamat datang di Desa Wisata Wukirsari,” ada yang bisa saya bantu pak?” tanya bapak-bapak itu sambil tersenyum ramah kepada kami semua.
“Kenalkan saya Wibowo, ini isteri saya, dan ini anak-anak saya, anak saya ini (sambil menunjuk ke diriku) ingin belajar membatik disini, apa syaratnya?” tanya ayahku.
“Saya Warno pak, saya petugas jaga disini, yang ingin membatik sendirian saja atau semuanya ingin membatik?” tanya pak Warno.
“Sendiri, dia sendiri pak yang ingin belajar membatik,” jawab ayahku
“Baik pak Wibowo, mari pak, silahkan masuk di aula, disana ada pak Nur yang akan menjelaskan lebih lanjut,” imbuh pak Warno.
“Baik pak, terimakasih,” jawab ayahku.
Memasuki ruang aula terasa ada hembusan angin sejuk dari kipas angin besar yang terpasang di dinding, aula itu sangat luas, ruangannya berbentuk huruf L, terdapat banyak kursi-kursi, dan disalah satu sudut ruangan terdapat ruang duduk tamu terdiri dari satu set sofa dan meja, sementara dinding-dindingnya terpajang foto-foto dokumentasi kegiatan yang disatukan kedalam frame berwarna kuning ke-emasan, berlapiskan kaca, agar foto-foto itu terlindungi dari kelembaban. Sedangkan di sisi dinding yang lain terdapat almari kaca berisi plakat-plakat dan medali penghargaan atas prestasi yang berhasil diraih Desa Wisata tersebut.
Seketika ayah bersalaman dengan pak Nur, pengelola desa wisata Wukirsari, dan setelah bertegur-sapa dan pak Nur menguraikan panjang lebar sejarah keberadaan Desa Wisata itu, termasuk perjuangan warga desa bertahun-tahun, dari level kabupaten, level propinsi dan level nasional, hingga berhasil diakui dunia, akhirnya ayah menjelaskan maksud kedatangan kami. Singkat cerita, saya ditawari paket minimum belajar membatik berdurasi sekitar dua jam, bisa kurang dari itu namun bisa lebih dari itu tergantung situasinya.
Mengingat saat itu bertepatan dengan waktunya isoma, istirahat-makan siang dan sholat, maka ayah dan ibu memutuskan menikmati sajian kuliner tradisional di salah satu gazebo diluar aula. Meskipun kedatangan kami tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, istilah kerennya tanpa booking, namun layanan yang terjadi begitu istimewa, kami disodorkan menu Sayur Lodeh Khas Desa Wukirsari, lengkap dengan tempe garit goreng, ayam goreng, kerupuk, sambal, nasi liwet sebakul, serta potongan buah segar, menu sederhana tapi susananya membuat kami sekeluarga puas menghabiskan semua yang tersaji, termasuk es teh manis dan minuman khas Wedang Uwuh, yang cukup menghangatkan tenggorokan.
Setelah melakukan kewajiban sholat dzuhur, saya dipersilahkan oleh pak Nur menuju salah satu gazebo dimana ditempat itu sudah ada seorang ibu-ibu yang sedang membatik kain lebar, dan saya dipersilahkan melihat-lihat dulu tata-cara membatik, mulai dari posisi duduk dan letak kompor diatasnya terdapat wajan kecil berisi lilin cair, kemudian cara memegang canting, kapan saatnya menorehkan lilin cair itu keatas sehelai kain putih yang sudah disiapkan diatas pangkuanku. Juga cara memegang kain putih yang akan ditorehi canting berisi lilin cair itu.
“Terimakasih Bu Rani, tolong saya dibimbing ya Bu,” ujarku, semakin bersemangat.
Karena ayah dan ibu ku tahu persis disaat diriku sedang fokus mengerjakan sesuatu tidak mau ditemani, maka mereka bersama adik kecilku ditemani pak Nur diajak jelajah desa, meninjau Kampung Batik Giriloyo, wisata religi di Makam Raja-Raja Imogiri, wisata alam di Sungai Opak, menuju Bukit Watu Gagak, menikmati pemandangan alam dari atas bukit, serta melihat kerajinan tatah sungging wayang di Dusun Pucung.
Awalnya membatik itu memang susah, karena semangat yang menggebu-gebu, hampir dua jam, tak terasa waktu begitu cepat berlalu, Yulianti berhasil menuangkan gagasannya keatas selembar kain yang kini dipenuhi dengan guratan-guratan lilin kekuningan menutupi seluruh sketsa yang dia buat sebelumnya.
Tak lama kemudian ayah-ibu dan adiknya ditemani pak Nur sudah kembali dari perjalanan mereka keliling kawasan Desa Wisata Wukirsari di Imogiri, Bantul, Yogyakarta.
“Ayah, Ibu, lihat lukisan batik ku ini!,” seruku sambil memperlihatkan kain yang sudah dipenuhi dengan lukisan lilin cair.
“Wah bagus sekali, hebat kau Yul, langsung bisa gitu,” seru ayahku sambil tersenyum bangga melihat hasil karyaku, demikian pula dengan Ibu, bahkan si kecil Daryl menimpali, “Buat aku ya kak!,” teriaknya, sambil berusaha meraih kain batik itu.
Sebelum pulang, kami diajak memasuki ruang Galeri, beragam motif batik karya warga setempat terpajang disepanjang ruang galeri, ada yang sudah dalam bentuk siap pakai, baik untuk pria maupun wanita, jika diamati secara teliti, guratannya sangat rumit dan halus maka layak jika harganya relatif tinggi. Ibuku tertarik dengan salah satu motif dan membelinya, sedangkan ayahku membelikan seperangkat bahan baku batik untukku, mencakup, kain putih, kompor, wajan kecil, canting, lilin, agar aku di rumah dapat melanjutkan membatik yang mulai menjadi kesukaanku, pengisi waktu luangku. (Feature of Impessa.id by Antok Wesman)
