Tradisi Suran Di Malam Pergantian Tahun Kalender Jawa Di Yogyakarta
Impessa.id, Jogja : Paguyuban Abdi Dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat menggelar Lampah Budaya Mubeng Beteng, menyambut Tahun Baru Jawa 1 Syura 1952 Be, pada Selasa Wage, tanggal 11 September 2018 malam, karena berdasarkan perhitungan kalender Jawa Sultan Agungan, 1 Surya 1952 Be jatuh pada hari Rabu, tanggal 12 September 2018. Meskipun demikian, sebagian warga masyarakat sudah melakukan hal serupa, berjalan kaki mengelilingi Benteng Kraton Yogyakarta, bergerak melawan arah jarum jam, pada Senin Malam, 10 September 2018, atau tepatnya menjelang Selasa dini hari.
Lampah Budaya Mubeng Beteng merupakan tradisi yang tetap lestari di Yogyakarta, sebagai salah satu kegiatan merayakan pergantian Tahun Baru Jawa bersamaan dengan Tahun Baru Islam, 1 Muharam 1440 Hijriyah. Pada saat yang bersamaan, sebagian warga ada yang melakukan ritual berendam.
Di Sendang Kasihan, yang berada di Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY, penulis menjumpai banyak orang yang melakukan “Kungkum” berendam di kolam peninggalan Walisongo, penyebar agama Islam di Tanah Jawa, menurut pihak pengelola sebagian warga terutama yang berasal dari luar Jogja berendam pada sore hari, namun lebih banyak yang berendam jelang pergantian tahun selama satu hingga dua jam.
Tepat pukul 00 dini hari tampak serombongan remaja anggota Perguruan Pencak Silat POPSI Bhayu Manunggal yang dipimpin oleh Purwidiarta, mengenakan kostum hitam-hitam, setibanya di Sendang Kasihan langsung masuk menceburkan diri, berbaur dengan orang-orang yang telah berendam lebih dahulu.
Ketika dikonfirmasi Impessa.id, pelatih Purwidiarta menuturkan tradisi berendam di Sendang Kasihan disaat pergantian Tahun Baru Hijriyah telah dilakukan rutin oleh Perguruan Pencak Silat POSPI Bhayu Manuggal secara turun-temurun. “Hal ini kami lakukan jelang tanding atau ujian kenaikan tingkat dengan meditasi di air untuk melatih rasa ikhlas, dengan tidak melawan rasa dingin yang merasuk kebadan.
Selama perjalanan dari sanggar di kawasan Prawirotaman Yogyakarta menuju Sendang Kasihan, berjarak sekitar 20 Kilometer, seluruh anggota perguruan melakukan gerakan tutup mulut atau tidak berbicara, dan dilarang membunuh makhluk hidup, kalaupun ber-zikir tanpa suara jadi hanya di batin saja,” ungkap Purwidiarta.
Menurut sang pelatih, tradisi Suran yang dilakukan pihaknya untuk membersihkan batin seluruh anggota, melatih nafas, melatih fokus, melatih ketenangan, sekaligus melatih kekuatan fisik. “Bagi anggota remaja, fokus itu penting, terlebih saat tarung dalam suatu pertandingan, agar tidak goyah terganggu teriakan suporter lawan. Ketika berlaga perasaan tenang dapat memunculkan ide-ide jitu karena mampu mengendalikan emosional diri.
Keberadaan Sendang Kasihan bagi kami sangat membantu dalam proses meditasi bagi anak-anak didik kami, aman tidak ada ular yang masuk ke sendang, sebagaimana ketika kami kungkum di sungai,” imbuh Purwidiarta lebih lanjut. Setelah satu jam berendam di Sendang Kasihan, rombongan yang berjumlah 25 orang itu melanjutkan perjalanan kembali ke sanggar.
Dari budaya tutur di masyarakat, Sendang Kasihan pernah digunakan berendam oleh Pembayun, Putri Panembahan Senopati sebelum dirinya menuju Mangir untuk memikat Ki Ageng Mangir yang berkuasa di wilayah Mangiran. Kecantikan Putri Pembayun berhasil menaklukan hati Ki Ageng Mangir yang kemudian meminangnya menjadi isterinya.
Pengelola Pemandian Sendang Kasihan Yud Daryanto (48 tahun) menuturkan, banyak pengunjung yang berasal dari luar Jogja, semisal dari Lampung, Subang, Purwokerto, dan dari Yogyakarta sendiri juga banyak. “Kami buka 24 jam, tanpa tiket masuk, kami menyediakan kontak infaq donasi seikhlasnya, untuk biaya perawatan Sendang, dan tersedia pula Mushola serta Toilet, bahkan juga kantin hidangan ringan seperti Mie Rebus ataupun Mie Goreng dan minuman hangat,” ujar Yud. (Tok)