SETIA UTAMI Sukses Gelar Pameran Tunggal AMY's CHILDHOOD STORY Di Jogja Gallery, 10-30 September 2024
SETIA UTAMI Sukses Gelar Pameran Tunggal AMY's CHILDHOOD STORY Di Jogja Gallery, 10-30 September 2024
Impessa.id, Yogyakarta: Seria Utami alias Amy, panggilan masa kecilnya, dalam pameran tunggal perdananya bertajuk "Amy's Childhod Story" di Jogja Gallery Jalan Pekapalan Alun-Alun Utara Yogyakarta, pada 10-30 September 2024, dirinya ingin menunjukkan cita rasa dan hasrat seninya, yang justru bermula dari hobi semasa kecilnya.
Yaksa Agus dalam tulisan pengantar pameran “Amy’s Childhood Story” menyebutkan bahwa melalui karya-karyanya, Tamy mengajarkan tentang suatu keterbukaan dan baginya proses berkarya menjadi ekspresi batin akan suatu kegelisahan.
“Apa yang dilakukan Tamy bukan sekadar hobi mengisi waktu luang, mulai dari scrapbook, mail art, yang ia garap dengan teknik kolase, hingga karya lukisan dan patung, adalah sebuah rangkaian proses ekspresi terapi kasih. Puluhan buku-buku diary sebagai catatan perjalanan dan pengalaman batin Tamy dihadirkan dalam pameran dan dia menggunakan scrapbook sebagai diary-nya Setiap halaman buku dipenuhi tempelan-tempelan gambar-gambar beraneka macam. Di setiap halaman seolah-olah Tamy mencatat lewat simbol-simbol dan gambar sebagai bahasa ungkap. Semua yang tertuang mengungkap banyak hal di setiap lembarnya,” ungkap Yaksa.
“Sementara karya lukisan dan karya patungnya menjadi sebuah media ungkapan dan luapan batin secara lepas bebas. Naluri bermain-main yang dilakukan Tamy begitu mengalir lepas begitu saja. Curahan hati juga hadir dalam ratusan lembaran kertas dengan teknik kolase atau menempel. Tamy juga membuat catatan cerita melalui surat-surat dan lembaran kartu pos. Surat-surat dengan cita rasa seni dan kartu pos dikirim kepada sahabat-sahabat korespondensinya,” imbuh Yaksa lebih lanjut.
Saat ditemui Impessa.id, Setia Utami atau Tamy, mengaku merasa lega sudah bisa melaksanakan pameran tunggalnya. “Apa yang saya pikirkan, emosi dan perasaan, semuanya seperti keluar di hari ini, apa yang saya pikirkan dari kecil sampai saya ber-kepala tiga, sudah lega, sudah keluar,” akunya.
Terkait dengan harapan atas terlaksananya pameran tunggalnya itu, Tamy menuturkan, “Kedepannya saya ingin melalui scrapbook ini agar orang-tua mulai terbuka atas minat anak, ada yang beranggapan kalau anak menyusun kertas itu sebagai hal yang tidak bermanfaat, atau dianggap terlalu banyak bermain, padahal anak itu sedang belajar mengenal bentuk, mengenal warna, memang tampaknya anak itu sedang bermain, padahal sebenarya anak itu sedang belajar mengasah emosinya, mengasah sensitifnya, belajar mengenal dirinya sendiri. Harapannya orang tua yang melihat pameran saya ini terbuka adanya value bagi si anak sehingga orang tua tidak menyepelekan apa yang dilakukan anak, namun men-support minat anak.”
Disela-sela pameran, Impessa.id menemui seorang Event Organizer muda dan melalui experiences menangani pameran seni, Grace Meliala, menyatakan, “Begitu saya masuk ke ruang pameran di Jogja Gallery dan melihat karya-karya kolase Tami, saya langsung merasa sebagai suatu ‘tamparan’ buat para hobbies yang gemar mengoleksi lalu gemar melakukan kolase maupun yang ‘hari ini’ disebut dengan Teknik Jurnaling, tapi karya kolase Tamy ini sudah high-level karena tatkala melihatnya saja sudah terbaca, bukan hanya biaya material, tetapi juga waktu yang dikeluarkan, dan sebagaimana diungkapkan oleh penulis Alex Luthfie bahwa Tamy tanpa basic sebagai akademisi di kesenian, dia menabrak semua keilmuan termasuk keilmuan di kesenian, adalah tentang tempel-menempelnya, warnanya, obyek yang ditaruh didalamnya, baik benda mati yang ditempelkan maupun benda hidup yang dikeringkan, seperti tanaman, bunga kering, daun,”
Lebih Lanjut Grace Meliala menambahkan, “Jadi komitmen Tamy yang perlu digarisbawahi, karena ada seniman yang begitu simpel, sekedar menuliskan huruf atau menuliskan angka lalu goresan yang sederhana, tapi kalau berbicara itu telah dilakukan berpuluh-puluh tahun, akhirnya menghasilkan ratusan bahkan ribuan karya, yang dipertaruhkan adalah komitmennya. Itu yang mahal dari suatu proses, yang buat saya hampir sama dengan yang Tamy lakukan. Dengan latar belakang di Akuntansi, di Sastra Inggris, Tamy masuk diwilayah seni kolase, itu sungguh pencapaian besar baginya.”
Proses panjang yang dilakukan Setia Utami untuk menggelar pameran akhirnya berhasil. Bahkan Daru Artono dari manajemen Jogja Gallery sempat takjub selama dirinya bertugas baru kali itu men-display karya hampir sebanyak seribu karya, padahal biasanya sekitar puluhan sampai ratusan saja. Itu belum yang ada di scrap-book, kalau dilepaskan satu-persatu bisa mencapai dua-tiga kali lipatnya.
Menurut Grace, ada yang menarik dari karya Tamy yang dipajang di Jogja Gallery, yaitu mail-art dimana Tamy berkolaborasi dengan beberapa seniman, “Apa yang Tamy kerjakan sebetulnya sesuatu yang sangat dekat dengan masyarakat, baik dari kartu pos, stiker, kertas, permainan tempel-menempel yang itu mungkin sudah diajarkan sejak kecil, itu menjadi trigger buat anak-anak untuk termenung dan fokus sama apa yang dia kerjakan. Tamy melakukan itu semua sudah lama dan memperdalam dengan material-material yang dimiliki kemudian dirinya mencari wax yang warna apa, lalu stempel yang bentuknya bagaimana, dia tahu kenyamanan-kenyamanan pada saat dia melakukan itu semua.”
“Selama mempersiapkan pameran tersebut selama sekitar dua tahun, ibu jarinya sampai tidak bisa digerakkan, tidak bisa ditekuk, karena intensitas yang begitu tinggi pegang gunting, pegang pin-set untuk menempel satu-persatu dengan teliti, bahkan jari-jemarinya sampai melepuh terkena wax, lilin panas. Itu perjuangan yang luar biasa dan sudah tidak bisa disebut hanya sekedar hobby dan lewat begitu saja, tetapi yang dilakukan Tamy sudah seperti yang dikerjakan Seniman,” ungkap Grace Meliala. (Feature of Impessa.id by Antok Wesman)