Ketika Garis dan Kata Bermakna, Pameran Kaligrafi Nasional 2024 Di Leman Art House Yogyakarta
Impessa.id, Yogyakarta: Ada yang menarik dari Pameran Kaligrafi Batik dan Kaligrafi Kontemporer Nasional yang diikuti oleh 118 seniman dan berlangsung pada 11-26 Januari 2024 di LEMAN Art House Jalan Tegal Sari RT/RW 05/02 Bayen, Purwomartani Kalasan Sleman, Yogyakarta, yakni Ketika Garis dan Kata Bermakna.

Dr. Drs. Hadjar Pamadhi, MA.Hons. dalam pengantar Pameran Kalihgrafi Nasional 2024 yang berlangsung di LEMAN Art House Jalan Tegal Sari RT/RW 05/02 Bayen, Purwomartani Kalasan Sleman, Yogyakarta pada 11-26 Januari 2024, menyebutkan bahwa; By words we learn thoughts, and by thoughts we learn life. Words have energy and power with the ability to help, to heal, to hinder, to hurt, to harm, to humiliate, and to humble. (Yehuda Berg).

“Kata merupakan huruf berangkai; dari keinginan mengutarakan pikiran, perasaan dan gagasan. Di sinilah kata itu sebenarnya merupakan niatan seseorang untuk mengomunikasikan ide, gagasan, perasaan melalui goresan. Ketika goresan itu sebagai tumpahan kata, bisa berisi lantunan doa, ucap sukur, sedih, gembira maupun lontaran umpatan,” tutur Hadjar Pamadhi..

Secara panjang lebar dalam tulisannya, Hadjar Pamadhi mengulas, “Kata-kata itu bagai sebuah ungkapan digoreskan dengan rasa indah, maka hadirlah ornamentasi goresan kata. Ketika goresan itu adalah ekspresi nonkompromis; abstrak dan bebas, kata itu adalah lontaran sahwat estetika dengan penuh pikiran, perasaan untuk memperoleh aksara indah, kaligrafi,” ujarnya.

Dikatakan, ekspresi estetik ini pernah diungkapkan dalam kata mutiara: By words we learn thoughts, and by thoughts we learn life. Kata itu indah, karena dalam kata tersimpan beribu makna; keindahan goresan kata terletak pada: mana yang terkandung dalam kata, goresan yang ornamentik, diisi pula dengan pikiran dan perasaan yang ornamentik, ekpresi keteknikan yang estetik, serta bentuk sebagai representasi dari objek formal (makna) Al Quran.

Secara etimologi kata kaligrafi yang diangkat dalam tajuk pameran senibrupa ini berasal dari bahasa Yunani, callos berarti indah dan graphein berati tulisan (Girling, ed., 1978). Tulisan sendiri merupakan rangkaian goresan aksara yang mengorganisasi menjadi kata. Jadi, kaligrafi berarti tulisan indah atau seni menulis indah. Menurut beberapa pustaka, pertama kali kaligrafi ditemukan berada pada relief makam raja-raja Mesir Kuno; misalnya di Abidos dan sekitar kawasan sungai Nil.

Kaligrafi Mesir Kuno masih bersahaja, kata itu digoreskan di atas batu alam atau tanah liat, sering pula dikategorikan sebagai ukiran suci yang berupa mantra dan puji-ujian. Pada saat itu kaligrafi Mesir Kuno hampir sama dengan aksara Cina yang berasal dari pictograph yang berisi logograph maupun alfabet.

Konteks piktograf, huruf atau aksara terinspirasi dari Binatang, tetumbuhan dan pemandangan alam dikemas menjadi lambang dalam bentuk manusia, hewan, benda atau asesori dewa-dewa maupun property dewa. Kaitan dengan sistem kosmologi dihadirkan oleh aksara Cina dengan menjadikan alat komunikasi antara manusia dengan manusia dan manusia dengan dewa.

Disinilah kaligrafi semakin semarak di jaman kejayaan kerajaan-kerajaan Mesir Kuno kemudian dilanjutkan di jaman kerajaan Muslim kaligrafi menjadi prasyarat berkomunikasi. Kaligrafi terus berkembang (masa Dinasti Umayyah, 661-750) di Damaskus. Beberapa seniman kaligrafi Islam mengembangkan kaligrafi Al-Kufi dengan melahirkan model Tumar, Jalil, Nisf, Suluts, dan Sulutsain.

Kaligrafi merujuk pentingnya sebuah kata indah (kaligrafi), karena di dalam ekspresi keindahan itu dapat dibaca pikiran dan dalam pikiran itu berisikan kehidupan. Kata indah ini merupakan esensi dari hidup dan kehidupan seseorang; kata itu bermakna ketika diekspresikan berdasarkan niatan personal.

Yehuda Berg kemudian menegaskan bahwa: Words have energy and power with the ability to help, to heal, to hinder, to hurt, to harm, to humiliate, and to humble. (Kata-kata memiliki energi dan kekuatan dengan kemampuan untuk membantu, menyembuhkan, menghalangi,menyakiti, menyakiti, mempermalukan, dan merendahkan hati). Seperti halnya kata-kata yang digoreskan pada kanvas, sebenarnya adalah catatan perupanya yang ingin goresan kata sebagai representasi dari dirinya.

Dalam dunia metafisika, para perupa ingin berkomunikasi melalui karya rupanya. Kadang kata yang menjadi ungkapan rasa ini sebagai simbol (tampak dara), atau bahkan goresan itu adalah doa (Ongkara) (catatan khusus dari IG Nengah Nurata) seperti halnya Asmaul Husna (penyebutan nama Allah dalam Islam) yang teruwujd sebagai ekspresi jiwa maupun batinnya, dengan demikian, sebuah gramata kaligrafi (bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letak dan cara merangkainya menjadi tulisan yang tersusun indah).

Secara garis besar dapat ditarik suatu pengertian, bahwa kaligrafi dihadirkan secara fisik merupakan karya rupa yang dikemas dengan rasa indah; secara metafisis, kaligrafi adalah ekspresi jiwa yang berisi lantunan doa, lafal harapan sebagai jimat ketika dihadirkan dengan kontemplasi suci, umpatan jiwa penuh pikiran dan perasaan.

Goresan yang membekas hasil dari konsentrasinya seorang perupa hingga memiliki energi batin; kadang goresan disertai suara diiringi musik, namun kadang goresan ini berupa karya rupa baik dua maupun tiga dimensi yang hadir ketika atma perupa melakukan pengembaraan batin.

Kelengkapan suasana diujudkan melalui doa, lafal kitab suci ataupun bayangan batin yang selalu mendampingi ujud kaligrafi. Beberapa perupa Indonsia yang mengembangkan kaligrafi seperti: AD Pirous, Achmad Sadali, Amri Yahya, Syaiful Adnan dan Didin Sirojuddin mengangkat ekspresi aksara sebagai kaligrafi seni dengan media khas: batik, cat air, tekstur dan cat minyak serta cat akrilik.

Jika dirangkum, terdapat tiga frasa kaligrafi: (1) Kaligrafi sebagai karya tulis indah dengan penguatan alfabetanya. (2) Kaligrafi Seni, menguatkan logograf aksara dengan tenik dan ide ornamentik, (3) Seni Rupa Kaligrafi dengan penguatan ekspresi bentuk dengan lebih banyak menginterpretasikan aksara ke dalam logograf kontemporer.

Akhirnya, dalam pameran Kaligrafi Nasional 2024 bertajuk: Ketika Gores Kata Bermakna ini sebagai ekspresi seni rupa memanfaatkan media kain dengan teknik batik lukis, lukisan di atas kanvas, aksara timbul (seni tiga dimensi) yang bebas menginterpretasikan keindahan aksara.

Karya-karya yang tampil dengan media batik, tata susun warna dengan teknik tutup celup menjadi arahan utama panitia; terdapat empat langgam:
a) Keindahan aksara dan kata ditampilkan dalam bentuk alfabet; seperti perupa: Agung Suryahadi, Ahmad Dzawil, Bambang Sungkono, Agus Winarto, Kamiran Suriyadi,S.Sn, Boby esSyawal, Annisa’us Zacroh, Cholidun, Lully Tutus, Ashari, Donna Artha, M.H Chaerul, Mahrozi Khudori, Mihdan Anies, Dody Tri Haryanto, Beny Kampai, Efendy Leong, Prof. Muhammad Baiquny, Najib Wijaya, Nanang Alfan Amrullah, Hanang Mintarto, Heru Daryatmo, I Gusti Nyoman Winarta, Alfiatus Solicha, Irfan Ali Nasrudin, Nurali, Pratiwi Endang Lestari, Daliya, Zipit Supomo, Riyan Yoga, Sunaryo, Wahyu Kencono Wijayanto, Zen Achmad, Bagus Purnomo, Yaya Maria, Abdur Roghib.s, A’idatus Salsabila, Ikhman, Ashady, Assiry, Bj Arifin, Edwin, Eko Mbendol, Farkhah,. Mereka menguatkan aksara atau huruf sendiri sudah mempunyai kekuatan atau energi sehingga memperindah aksara menjadi utusan utamanya.

b) Tulisan indah dengan cengkok khas perupanya; goresan aksara dan kata digayakan sesuai dengan niatan rasa estetikanya, maka logografnya lebih kuat daripada visi ekspresi spontannya. Perupa: Novandi, Hendra Buana, Tata Sarmanta, Titus Libert, R.Abbas Jasa, Nabiila Kamalia, H. Suharno El-Faiz, M.Pd, Muchlis Zahidy, Anwar Sanusi, Nugroho, Salsabila, Syaiful Adnan, Vauzi Gunawan, Syahroni, Djunaedi Sukarta, Shamady Nura, Ismail Khumaedi, Retno Pramubinasih, Yelvika Mira, Sujarwo, Achmad Syukur, Ki Luthfi Caritagama, Nashrul Haqqi Firman, Tesi Dirlia ,S.Sn, Nasirun, Arita Savitri , Nanang Widjaya, Putu Sutawijaya, mengubah aksara menjadi logograf sehingga kata itu sendiri yang indah bahkan menyatu dengan karakter perupanya.

c) Aksara indah yang dihadirkan melalui kontemplasi suci berangkat dari ayat suci Al Qur’an; dalam pengembaraan batin perupa menginterpretasi objek formalnya sesuai dengan Khat. Seperti
halnya hieroglyph pra-kaligrafi moslem hadir, dan simbol-simbol ini mementingkan grammata (tanda) suci. Beberapa kaligrafer seperti: Gus Mus (KH Mustofa Bisri), Samino, Cholis, Achmad
Syukur, Antok, Carsilah, Sihono, Liliek Parjono R, Abdul Ghani, Neno Rosequeen, Irfan Ali Nasrudin, Irawan Hadi, Suharwedi, Ghufron Najib, Amaluna rosyidah, Tukirno B Sutejo, Sutrisna, Syukron Achmadi, Tales Suparman, Vina rohmatul ummah; aksara indah bersumber dari Al Quran dengan yakin tulisan itu setiap aksara, bunyi serta Persekutuan kalimat mempunyai makna sendiri.

d) Aksara sebagai representasi figur, sehingga ujud yang dihadirkan merupakan simbol-simbol batin hasil pencarian makna dan esensi dari sebuah bentuk atau figur tersebut seperti dikatakan oleh Millard Sheets: Drawing at its best is not what your eyes see but what our mind understands. Seniman kaligrafi Astuti Kusuma, Ambar Pranasmara, Abdul Jalil Hawary, Mumtahanah Najiyah, Chamit Arang, Sabdo, M. Riyanto, Amien Noer Mochamad, Eko Rahmy, I Gusti Nengah Nurata, Qonita Farah Dian, Jedink Alexander, Ari Salwa, J. Hasanto, Ilham Choiri, Agus Baqul, Miftahul Khoir, Butet Kartaredjasa, Barlin Srikaton, Gatut Yuwono, Evrie Irmasari, Wirman AT, Drs. Subagyo, Budi Ubrux dan Risman Marah, Yan Santana, Bayu Wardana, Heri Maizul, Endang Apriyanto, Arul, Suranto Kenyung, merepresentasikan aksara sebagai unsur senirupa, sehingga komposisi itu hadir dari pengolahan arti aksara, arti objek yang ditemui atau memang dicari. Di sini aksara sebagai bagian dari objek material maupun formalnya.

Pameran yang membaharukan ide kaligrafi dengan wahana batik, namun dikembangkan kepada seni kaligrafi kontemporer pada hakikatnya mengikuti irama seni kontemporer yang dipelopori Andi Warhol (1963) dan mengangkat kembali manifesto Ekspresionisme 1911 dengan kebaruan aksara sebagai pemantiknya. Melalui karya-karya tersebut semoga menemukan aksara berenergi hidup dan estetika untuk menghaluskan rasa, gramata-gramata itu akan menjadi sistem baru eksistensi Kaligrafi Kontemporer. (Feature of Impessa.id by Hadjar Pamadhi-Antok Wesman)

