Event

Regulasi dan Pedoman Pembelajaran Al Quran Nan Ramah Teruntuk Disabilitas

Regulasi dan Pedoman Pembelajaran Al Quran Nan Ramah Teruntuk Disabilitas

Regulasi dan Pedoman Pembelajaran Al Quran Nan Ramah Teruntuk Disabilitas

Impessa.id, Yogyakarta: Pendidikan Al Quran merupakan aspek yang cukup penting bagi kehidupan setiap muslim. Pendidikan Al Quran juga merupakan hak bagi setiap umat Islam. Tak terkecuali bagi saudara kita disabilitas, mereka juga memiliiki hak untuk membaca dan mempelajari Al Quran. Mereka berhak untuk mendapatkan pendamping, mendapatkan kemudahan akses ke fasilitas agama. Namun pada realitanya, di Indonesia, pendidikan Al Quran ternyata masih memerlukan perhatian yang lebih khusus pada segala aspeknya. Seperti misalnya memberikan kemudahan bagi disabilitas untuk mendapatkan akses dalam mempelajari Al Quran. dan perlu adanya pengembangan pada metode pembelajaran bagi disabilitas secara luas.

Untuk memenuhi hal itu, diperlukan kebijakan yang ramah terhadap disabilitas. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan arah kebijakan mengenai disabilitas dan pendidikan Al Quran. Sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Waryono Abd Ghofur dalam kegiatan Peningkatan Kompetensi Metode Pembelajaran Alquran yang diselenggarakan Kementerian Agama di Hotel Travello Bandung pada 18-20 Mei 2022. Penyampaian Dr. Waryono merujuk kepada sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya ‘Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian, tetapi Ia melihat hati dan amal kalian’.

Dari bagian sabda Rasulullah tersebut nilai yang dapat diambil ialah bahwa fisik, harta dan segala apapun yang nampak di mata manusia bukanlah menjadi tolok ukur bahwa manusia tersebut mulia di hadapan Allah SWT. Penyampaian Dr.Waryono yang kedua, merujuk kepada Al Quran surat Al Hujurat 13 yang artinya ‘Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal’.

Dari sabda Rosulullah SAW dan firman Allah SWT tersebut dapat diambil poin penting bahwa di hadapan Allah hanya tingkat ketaqwaan, hati dan amal perbuatan manusia lah yang membuat manusia tersebut istimewa. Tidak peduli dengan perbedaan apapun yang melekat di dalam diri manusia tersebut. Tidak peduli suku bangsa, laki-laki atau perempuan, disabilitas atau bukan, semua di mata Allah SWT ialah sama, yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaan manusia tersebut.

Ketiga, hal dasar yang perlu dijadikan sebagai pijakan ialah larangan membuli, sebagaimana Allah berfirman dalam Al Quran surat Al Hujurat ayat 11 yang artinya, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.’

Dari ayat tersebut memberikan anjuran kepada setiap umat Islam bahwa sebagai seorang manusia alangkah baiknya, alangkah indahnya apabila menghargai kelebihan dan kekurangan orang lain. Sebagai manusia pun dilarang untuk memberikan label yang berkonotasi negatif kepada seseorang yang memiliki perbedaan. Sebagai manusia juga dilarang untuk mencela, mengolok-olok, menghina, merendahkan seseorang yang ada di sekitar kita. Boleh jadi orang tersebut derajatnya di hadapan Allah lebih mulia daripada orang yang mengolok-oloknya. Ketiga hal inilah yang mungkin menjadi perhatian sebagai dasar menentukan kebijakan yang ramah terhadap disabilitas. Khususnya kebijakan yang tidak ada lagi diskriminasi dan adil kepada semua kalangan.

Secara lebih luas, dengan menggunakan perspektif yang berbeda, Dr. Muhrison dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menguraikan bahwa ada cukup banyak hal yang perlu untuk diperhatikan dalam meningkatkan pelayanan terhadap penyandang disabilitas. Pertama bahwa masyarakat perlu menyadari dan memahami bahwa disabilitas bukanlah “manusia yang tidak sempurna”, mereka dapat dikatakan sebagai manusia sempurna. Hal ini karena Tuhan menciptakan manusia secara sempurna pada kondisi dan versinya masing-masing. Misalnya seperti penyandang tuna netra, mereka bukannya tidak mampu membaca sehingga disebut sebagai manusia tidak sempurna. Akan tetapi, mereka mampu membaca dengan cara yang berbeda. Inilah yang kemudian membuat pemaknaan secara tepat kata difabel pada definisi diferently able bukan pada diferent ability.

Perwakilan TPQLB Yayasan Spirit Dakwah Indonesia yakni Ustad Abdul menilai memang perlu bagi pemegang wewenang untuk membuat kebijakan yang adil dan lebih ramah terhadap disabilitas. Karena memang kebutuhan setiap disabilitas berbeda-beda. Sehingga tidak dapat disamaratakan kebutuhannya. Dengan demikian adapun hal yang perlu diperhatikan ialah regulasi dan pedoman dalam memenuhi hak disabilitas yang berkaitan dengan pendidikan Al Quran. Perlunya media dan metode pembelajaran yang mudah untuk diakses oleh disabilitas. Fasilitas sarana dan prasarana yang mendukung proses pembelajaran pendidikan Al Quran. Tersedianya sumber daya manusia yang profesional dalam mendampingi disabilitas. (Khabiburrohman/Antok Wesman-Impessa.id)