Feature

Lima Perupa Perempuan Indonesia, Pameran Aku Mau, Di Grand Ambarrukmo Yogyakarta

Lima Perupa Perempuan Indonesia, Pameran Aku Mau, Di Grand Ambarrukmo Yogyakarta

Lima Perupa Perempuan Indonesia, Pameran Aku Mau, Di Grand Ambarrukmo Yogyakarta

Impessa.id, Yogyakarta: Spirit RA Kartini terus bergema dan melanda, merasuk di semua lini kehidupan masyarakat, telah terbukti saat ini banyak perempuan-perempuan hebat tampil berkarya di Tanah Air, yang sebagiannya ditunjukkan dalam pameran seni rupa kontemporer bertemakan “Menuangkan spirit dari sosok Pahlawan Nasional Kartini”, di Ballroom Lantai 5 Grand Ambarrukmo Yogyakarta.

Pameran yang dibuka oleh Prof Dr Wening Udasmoro SS MHum DEA, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM dihadiri oleh tokoh-tokoh perempuan dan juga komunitas perempuan pesepeda DIY yang siap menaklukan rute tour sepeda sejauh apapun yang digelar. Dalam kesempatan itu, General Manager Grand Ambarrukmo Yogyakarta Aris Retnowati mengungkapkan bahwa saat ini terdapat lebih dari 25 perempuan yang menjabat sebagai General Manager hotel di Daerah Istimewa Yogyakarta, selaras dengan semangat Ibu Kartini,

Dikatakan, pameran seni rupa yang dihelat juga mengusung tajuk “Aku Mau” diadopsi dari semboyan RA Kartini: “Aku mau!’ Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung dan membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata ‘aku tiada dapat!’ melenyapkan rasa berani. Kalimat ‘aku mau!’ membuat kita mudah mendaki puncak gunung.”

Sebanyak 36 karya lukisan dari lima perupa perempuan Indonesia masing-masing, Dyan Anggraini, Astuti Kusumo, Mola, Rina Kurniyati, dan Ulfah Yulaifah berlangsung pada 26 April 2022 hingga 6 Mei 2022 dengan pembukaan diwarnai dengan melukis on the spot diiringi tari “Walang Kekek” oleh maestro tari Didik Nini Thowok.

Dyan Aggraini, salah satu perupa yang ditemui Impessa.id melalui karya lukisannya berjudul “Dialog”, menuturkan, “Dialog itu sebuah kebutuhan ya, kita tidak bisa menyimpan dan memendam sendiri, jadi dialog ini antara dua sosok yang satu mewakili type sosok sekarang, sedangkan yang satunya sosok Cangik, dari dunia pewayangan, kita tahu dia orang tua yang arif, tetapi dia kritis. Jadi sebagai abdi dalem, dia suka memberikan pemikiran, masukan, tapi dia juga mengkritisi sesuatu yang dia anggap itu tidak pada tempatnya, nah Dialog ini selalu diperlukan dalam kehidupan saat ini,” jelasnya.

Lewat karya lukisannya itu, Dyan Aggraini menggambarkan bahwa dilaog dimana kita selalu mengkomunikasikan banyak hal, bisa berbagi, dan kehadiran Bunga Sedap Malam yang harum dan Lebah, itu bagaimana sebuah dialog itu diwarnai dengan pemikiran-pemikiran yang positip, yang selalu memberikan energi, dan itu akan menjadi magnet bagi siapapun untuk selalu sadar memberikan manfaat dan berbagi kepada siapapun.

Sedangkan perupa Astuti Kusumo melalui karya lukisan berjudul “Life Is Motion” menuturkan bahwa, “Saya itu kan aware untuk persoalan waktu, perubahan, gerak, itu kan saling berkaitan. Jadi saya ambil visual penari-penari itu sebagai stimulur dari konsep-konsep gagasan yang saya sampaikan bahwa perkembangan jaman semaju apapun kita sih tetep senantiasa mengedepankan kultur ataupun kebudayaan sehingga bagaimana caranya kebudayaan Indonesia yang kita miliki itu bisa kita combine tanpa harus menghilangkan ciri dari budaya kita sendiri, tapi masih tetap relevan dengan kemajuan jaman.”

Perupa yang memiliki studio bernama ‘Astuti Kusumo’ di kawasan Ngeksigondo-Kotagede, Yogyakarta, ketika dikonfirmasi Impessa.id terkait pameran bertajuk “Aku Mau” yang dihelat Grand Ambarrukmo mengakui sangat bagus. “Memang idealnya ada sinergi antara pemangku kebijakan, kemudian dengan pihak swasta, apresiasi seni, kemudian juga pelaku seni, sehingga dengan adanya ekosistem tersebut seni dan budaya itu bisa berkembang,” tutur Astuti sebagai tokoh di Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta yang dalam kesempatan itu memajang lima karyanya.

Lebih lanjut disebutkan “Sesuai dengan tema memperingati Hari Kartini, bukan seremonial semata, tapi kita punya harapan agar perjuangan para wanita termasuk disini yang diharapkan Ibu Kartini membawa dampak positip bagi wanita Indonesia untuk senantiasa mau bergerak maju, mempunyai kebebasan berekspresi, berani, tetapi tentu saja dengan mengikuti kaidah sebagai Wanita Timur yang beradab, berbudaya dan berkepribadian Indonesia.”

Pendapatnya tentang karya on the spot melukis hanya dalam tempo beberapa menit mengikuti gerak tari ‘Walang Kekek’ yang diperagakan oleh maestro penari Didik Nini Thowok, Astuti Kusumo menjelaskan, “Memang saya banyak mengadop penari-penari sebagai basic culture kemudian dengan gaya ekspresif dengan warna-warna kekinian yang memang sengaja saya pilih dengan maksud tujuan bahwa semaju-majunya jaman, kita sebagai wanita Indonesia masih harus menjunjung tinggi kebudayaan Indonesia,”

Perupa berikutnya yang ditemui Impessa.id yakni Mola yang menyampaikan pesan dibalik karya serialnya berjudul “Monolog”, “Ini cerita tentang kekuatan, tentang sesuatu yang bisa kita lakukan sebagai perempuan, bagaimanapun kita tidak bisa lepas dari harkat kita sebagai perempuan dan sebagai ibu. Tapi disatu sisi kehalusan itu kita bisa berbicara tentang kekuatan. Jadi ada kekuatan yang bisa kita share, bisa kita sebarkan kesemuanya tentang energi dari positip itu. Dengan spirit Kartini tantangannya ya saya ingin sebagai perempuan itu lebih melihat dunia lebih terbuka, kemudian bisa merangkul punya rasa keibu-an kan, nah dengan welas asih, dengan cinta, dengan semangat, mungkin dengan cara seperti itu bisa menghaluskan semua rasa yang jaman sekarang itu sedang heboh-hebohnya dengan emosi yang tidak terkendali, nah kita bisa menetralisirnya dengan cara-cara kita sebagai seorang perempuan dan seorang ibu.”

Mengenai pilihan karyanya yang monokrom Mola menjelaskan, “Kebetulan saya lagi seneng ber-eksplor, ada water color, ada acrylic, oil sama charchoal. Kebetulan saya ingin menghadirkan hitam-putih ini. Disini saya menghadirkan dua karya masing-masing berjudul ‘Monolog1’ dan ‘Monolog2’. Dimana setiap berkarya itu saya ber-monolog. Ber-monolog dulu karena saya merasa bahwa apa pesan saya yang saya tuangkan di kanvas akan sampai. Jadi saya ber-monolog dulu apa yang saya inginkan. Apa yang saya pikirkan, imajinasi saya seperti apa, apalagi Kartini ya, semua orang pasti energinya dapat. Mudah-mudahan bisa menjadi inspirasi buat banyak orang.”

Sedangkan perupa Rina Kurniyati menguraikan makan dari karya lukis kacanya untuk seri Flora dalam lembaran kaca berukuran kecil yang berisi satu jenis bunga disetiap lembar kacanya, “Saya itu merasa belum berhasil untuk menggambar bunga, sesuai yang saya inginkan, kalau karya mobil itu saya seneng, saya puas gitu. Beberapa kali saya menggmbar bunga itu kok nggak sreg ya dihati saya, hasilnya kok tidak seperti yang saya inginkan, tetapi di sisi lain ketika beberapa pameran termasuk di Gallery Nasional Jakarta, orang gak percaya kalau saya menggambar mobil, Ketika pembukaan nya ada yang bertannya, mbak ini pelukisnya yang mana, gitu, nanya-nya ke saya, terus saya bingung, mo bilang saya kok kayaknya sombong banget, gitu, mohon maaf pak, nanti kalau ketemu pelukisnya saya beritahu. Lalu saya pergi, nah dari situ saya lalu mikir lagi, saya harus menantang diri saya, kok saya menggambarnya gak ada feminim-feminim-nya sama sekali, mungkin bapaknya gak percaya kalau melihat ibu-ibu berkerudung gambar mobil.”

“Karya 16 bunga-bunga ini adalah sebagian dari 40 frame bunga. Menggambar dengan bidang yang kecil buat saya bisa menjadi lebih maksimal, kalau kecil juga tidak terlalu menghabiskan waktu, rata-rata empat-lima hari sudah selesai. Kalau bidang besar kan saya bisa sampai dua-tiga bulan selesainya. Nah ini menantang diri saya sendiri, bisa gak saya menggambar bunga dan menggambarnya seperti yang saya inginkan. Ya ini ke-16 frame bunga karya tahun 2017, yang dipamerkan di Grand Ambarrukmo Yogyakarta. “Karena tema-nya Kartini, bolehlah saya memajang karya yang sesekali berbau feminim gitu,” kilahnya.

Dari ke-16 frame bunga yang dipamerkan Rina tetap merasa dirinya belum puas. “Dari semuanya ini hanya tiga yang bleh dikata memuaskan, yakni Crissant, Dessy dan Kembang Sepatu, Kembang Sepatu Kuning ini yang paling lama mengerjakannya lebih dari seminggu, karena saya harus menggambarkan layer-nya tipis, sesuai karakter kelopak Kembang Sepatu yang tipis, dan gradasi warnanya beragam lumayan banyak, ini yang paling sulit, saya mengeluarkan banyak energi untuk ini dan saya puas dengan ini,” akunya.

Dalam pameran “Aku Mau” Rina memajang lima judul karya, Pada karya ber-bau iklan rokok yang disamarkan, berjudul “Santai Bro”, Rina menuturkan karya posternya itu sebagai kritik sosial, sewaktu sebelum pandemi, di perempatan Monjali terjadi kemacetan, iseng motret, tampak titik-titik air menempel di kaca mobilnya, dirinya ditantang, bisa gak melukis titik-titik air, wow jangan nantang saya, alhasil selama pandemi, dirinya berhasil menuntaskan tulisan di baliho ‘Lo Yang Salah, Lo Yang Galak’ tersebut yang banyak ditemui di dunia nyata, menjadi karya seri posternya. Rina juga memajang karya seri Dynamic Sign berupa otomotif, seri Potret dan seri Uang. Seluruhnya dia lukis diatas kaca, karena itu Rina dijuluki perupa spesialis kaca. (Features of Impessa.id by Antok Wesman)