Feature

Bangunan Cagar Budaya Lawang Sewu, Semarang, Masih Menyisakan Misteri

Bangunan Cagar Budaya Lawang Sewu, Semarang, Masih Menyisakan Misteri

Bangunan Cagar Budaya Lawang Sewu Semarang

Impessa.id, Jogja : Destinasi wisata Cagar Budaya Lawang Sewu, bahasa Jawa yang berarti Pintu Jumlahnya Banyak, karena bagi orang Jawa kalau segala sesuatu itu banyak, maka disebut sewu atau seribu, padahal jumlah pintu yang terdapat di Gedung Heritage bekas Kantor Jawatan Kereta Api NIS (Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatscappij) tersebut tercatat ada 425 pintu.

Lawang Sewu yang dikelola oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi 4 Semarang, buka setiap harinya mulai pukul 7 pagi hingga pukul 21 malam, dengan tiket masuk seharga lima ribu Rupiah untuk anak-anak (berumur 3 s.d. 12 tahun) dan pelajar, serta 10-ribu rupiah untuk dewasa, tersedia pula pemandu yang siap menjelaskan mengenai sejarah dan seluk-beluknya.

Haryono, pemandu wisata yang menemani Impessa.id, Selasa (15/05/18) menjelaskan bahwa sejarah Lawang Sewu tak lepas dari sejarah perkeretaapian di Indonesia. “Lawang Sewu dibangun sebagai Het Hoofdkantoor van de Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatscappij (NIS), Kantor Pusat Perusahaan Kereta Api Swasta yang pertamakali membangun jalur kereta api di Indonesia, menghubungkan Semarang dengan Vorstenlanden (Surakarta dan Yogyakarta) dengan jalur pertama Semarang menuju Tanggung p.p. di tahun 1867”, ujarnya.

Dikatakan, pada masa perancangan, Direksi NIS di Den Haag, Belanda, menyerahkan perencanaan dan pembangunannya kepada Profesor Jacob F, Klinkhamer dan BJ Ouendag, arsitek dari Amsterdam. Pelaksanaan pembangunan dimulai pada 27 Februari 1904, dan selesai Juli 1907. Perluasan kantor dilakukan pada tahun 1916 hingga 1918.

“Disaat pendudukan Jepang di tahun 1942-1945, bangunan tersebut digunakan sebagai Kantor Jawatan Transportasi Jepang, Riyuku Sokyuku. Tersebar berita memilukan, ruang bawah tanah yang berisi air sebagai pendingin temperatur gedung, oleh Jepang disalahgunakan untuk merendam pejuang-pejuang Republik secara berdesakan hingga tewas mengenaskan. Kini akses menuju ke ruang bawah tanah itu ditutup karena dianggap membahayakan pengunjung, selain gelap dan pengap, juga kadar oksigen-nya sangat rendah”, imbuh Haryono.

Lebih lanjut Haryono menuturkan, pada tahun 1945 Lawang Sewu digunakan sebagai Kantor Djawatan Kereta Api Republik Indonesia – DKRI. “Saat agresi militer Belanda di tahun 1946, gedung itu digunakan sebagai markas tentara Belanda. Di tahun 1949 digunakan sebagai KODAM IV Diponegoro hingga tahun 1994, yang selanjutnya diserahkan kembali ke Perumka yang kini menjadi PT KAI (Kereta Api Indonesia) dan dilakukan pemugaran di tahun 2009”, jelasnya.

Didalam kompleks terdapat lima gedung masing-masing Gedung A untuk Pameran, Gedung B untuk komersial, Gedung C Lantai 1 sebagai Ruang Informasi Pemugaran dan Gedung C Lantai 2 sebagai Kantor Pengelola. Adapun Gedung D sebagai Ruang Tunggu, dan Gedung E adalah Ruang Perpustakaan.

Mengutip keterangan dari sumber yang ada di perpustakaan setempat, setelah perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, dan telah menguras banyak kekayaan dipihak kolonial Belanda, maka Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch menerapkan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Tanah Jawa, semua pemilik tanah harus menyerahkan 2/3 lahannya untuk Cultuurstelsel sedangkan rakyat yang tidak mempunyai tanah menjadi kuli di areal pertanian itu.

Melimpahnya hasil pertanian dari Cultuurstelsel seperti, Kopi, Karet, Kina, Coklat, Kapas, Pala, Lada dan Teh, menuntut adanya transportasi modern yang cepat. Sehingga Kereta Api menjadi pilihan yang tepat, maka oleh Kolonel JHR van Der Wijk pada 15 Agustus 1840, mengajukan usulan ke Den Haag untuk membangun jalur kereta api dari Semarang menuju Surakarta dan Yogyakarta yang kaya akan hasil Cultuurstelsel Tebu, Kayu Jati dan Tembakau. Usulan tersebut terwujud pada tahun 1862 melalui NIS Maatscappij. Pada hari Jum’at 17 Juni 1864, Gubernur Jenderal Hindia Belanda LAJ Baron Sloet van den Beele, meletakkan batu pertama pembangunan jalur rel kereta api di desa Kemijen, Semarang. Tiga tahun berikutnya pada 10 Agustus 1867, jalur rel sepanjang 26 Kilometer selesai dibangun menghubungkan Semarang dengan Tanggung, Grobogan.

Panen melimpah dari sistem Tanam Paksa itu semakin meningkatkan pembangunan jalur kereta api di Jawa, bahkan kemudian melebar hingga ke Madura, Sumatera dan Sulawesi, sehingga panjangnya mencapai 6.811 Kilometer di tahun 1939. Namun saat zaman pendudukan Jepang lebih dari 900 Kilometer rel kereta api itu dibongkar dan diangkut ke Burma (Myanmar) untuk membuat jalur kereta api baru di sana.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, pada 28 September 1945 karyawan Kereta Api mengambil alih kekuasaan perkeretapian dari pihak Jepang dengan pernyataan sikap bahwa sejak saat itu urusan perkeretaapian menjadi milik Bangsa Indonesia. Sehingga momentum 28 September, ditetapkan sebagai Hari Kereta Api Indonesia. (ant)